Sutarno atau yang lebih dikenal dengan Cak Tarno adalah pendiri Cak Tarno Institute. Ia juga dikenal sebagai penjual buku-buku filsafat humaniora di Fakultas Ilmu Budaya di Univeritas Indonesia.[1]
Tarno lahir di Mojokerto, 16 April 1970. Ia lahir dan besar dalam keluarga petani. Tamat dari SMP tahun 1987, ia tak melanjutkan sekolah, melainkan jadi buruh macul di sawah dengan penghasilan masih Rp 1.200 sehari, mulai jam 7 pagi sampai jam 4 sore disaat yang bersamaan dia juga menjadi kenek tukang bangunan. Pada 1995, ketika usianya menginjak 25 tahun, Cak Tarno ikut kakaknya bekerja sebagai penarik kabel listrik di Cirebon, Jawa Barat. Karena terbelit krisis moneter, perusahaan itu pun bangkrut.
Pada 1997, Tarno merantau ke Jakarta, dan bergabung dengan Yusuf Agency.[2] Hanya sekitar setahun ikut Yusuf, dia beranikan diri berjualan buku bekas di sekitar kampus UI Depok. Di sana ia bertugas menyusuri lapak-lapak barang bekas dari Depok Lama hingga Pasar Minggu untuk mencari buku bekas layak jual. Kemudian, pada 1999, Cak Tarno membuka lapak sendiri, berjualan buku-buku bekas dan bajakan di daerah Kwitang, Senen, Jakarta Pusat.[3]
Setelah berkenalan dengan seorang distributor buku sosial humaniora pada 2002, Cak Tarno berhenti berjualan buku bajakan. Ia juga memutuskan untuk mengkhususkan kiosnya menjual buku-buku filsafat, budaya, serta cultural studies. Satu tahun berjualan di Kwitang, ia kemudian pindah ke dekat Stasiun UI, Depok. Di sana Cak Tarno mengalami penggusuran yang mengharuskannya berjualan di emperan dekat Stasiun UI dari 2002 hingga 2008.[4]
Pada 2008 akibat penggusuran pengembang, Cak Tarno memindahkan tempatnya berjualan buku lagi. Ia berpindah lapak di Gang Sawo samping Stasiun UI di dekat Jalan Margonda, Depok. Di sinilah awal mula Cak Tarno mulai dikenal semua kalangan civitas akademi FIB Universitas Indonesia. Kiosnya bukan lagi sebatas toko buku. Kios Cak Tarno kerap dijadikan tempat diskusi dengan tema-tema kebudayaan dan filsafat.[5]Selain kios offline, Cak Tarno juga melayani pembelian jarak jauh. Bukan melalui e-commerce seperti penjual buku pada umumnya, namun melalui pelanggannya yang sudah kembali ke daerahnya masing-masing.
Awal Mula Berdirinya Cak Tarno Institute
Beberapa tahun terakhir, Kios Buku Cak Tarno pindah ke Gedung Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI.[6] Lokasinya persis di Taman FIB yang bersebelahan dengan kantin. Di situlah kemudian Cak Tarno mendirikan CTI (Cak Tarho Institute) sebagai ruang dialog dan dikusi ilmu pengetahuan hingga karya sastra.[7]Diskusi itu menghadirkan akademisi dan praktisi yang ahli dalam bidangnya. CTI dan kios buku itu pun menjadi titik temu banyak mahasiswa dan ilmuan sosial, tak hanya dari UI, tapi juga dari kampus-kampus lain, termasuk dari luar Jakarta.
Bahkan CTI pernah mengundang 5 antropolog masa depan Jepang dari Universitas Kyoto, Tohoku, dan Tokyo untuk mempersentasikan hasil penelitian mereka yang dilakukan selama bertahun-tahun di Indonesia. CTI juga sudah banyak membantu akademisi untuk menyelesaikan skripsi, tesis, dan disertasi.
Sebagai komunitas yang berfokus dalam dunia pendidikan, CTI seringkali dijadikan sarana diskusi oleh kalangan akademisi di luar maupun dalam UI, seperti Rocky Gerung (pemerhati filsafat), Dr Robertus Robert (aktivis HAM), Dr Dony Gahral Adian (dosen filsafat UI), Alm Prof Sarlito Wirawan (guru besar psikologi UI), Alm Prof Dedy Nur Hidayat (guru besar komunikasi UI), Dr Bagus Takwin (dosen psikologi UI), Tommy F.Awuy (budayawan dan dosen UI), Saras Dewi (dosen dan pemerhati lingkungan), dan bahkan banyak nama-nama besar seperti Romo Haryatmoko, Dr Thamrin Amal Tomalgola, Romo Setyo, Tmantan Menkumham Yusril Ihza Mahendra, dan pakar politik Indra J Piliang hingga budayawan Muchtar Pabotingi.
Toko Buku Cak Tarno Terancam Tutup
Pada 2019 lalu Toko Buku Cak Tarno hampir tutup karena ketidakmampuan Cak Tarno membayar uang sewa. Mahalnya sewa di lokasi FIB menjadi biang keladi Cak Tarno harus pindah dari tempat itu. Kenaikan sewa dari Rp 9 juta naik Rp 17 juta per tahun tak mampu ia sanggupi, mengingat hasil penjualan buku yang hanya mencapai Rp 5 juta per bulan.[8] Sebelumnya ia juga pernah hampir tutup karena terpinggirkan oleh pembangunan apartemen yang menjadi prioritas tata ruang kota Depok.
Menanggapi hal tersebut, demi menghindari tutupnya toko buku ini, seorang alumi FISIP UI dArie Putra, melakukan penggalangan dana melalui Kitabisa.com. Campaign tersebut ditujukan untuk mendukung agar toko buku ini bisa terus ada dan berkontribusi dalam perkembangan intelektual. Campaign yang menargetkan sumbangan sebesar Rp 40 juta ini untuk medukung Cak Tarno berevolusi agar bisa memiliki unit usaha yang lain, seperti menjual makanan dan minuman (dan UI sudah memberikan izin).