Bundengan atau Bundhengan adalah sebuah alat musik berbasis Kowangan. Kowangan adalah tudung yang lazim digunakan penggembala bebek (dalam bahasa Jawa disebut sontoloyo) untuk melindungi diri dari paparan matahari dan hujan. Bagi orang kebanyakan, membayangkan sebuah alat musik yang bernama sama dengan tutup kepala, dengan bunyi yang mirip alat musik logam, tentu akan menjadi proses imajinatif yang cukup menantang. Di Wonosobo, Bundengan mulai diekspos sejak periode Barnawi 2008.
Alat musik Bundengan secara teknis berasal dari kowangan yang telah dipasangi elemen-elemen tambahan berupa ijuk (di masa awal) dan sekarang beralih menjadi senar sebagai dawai yang menimbulkan resonansi dan biasanya mengiringi tari Lengger ataupun Tayub. Jumlah senar yang umum dipakai adalah 4 buah, dengan tiga buah bilah bambu di sisi kiri bawah yang menyerupai bunyi kendang.
Sejarah
Dari catatan sejarah yang ada di dua karya sastra Jawa kenamaan dari masa Hindu-Buddha, yaitu kakawin Bhāratayuddha (abad XII, era Kaḍiri) dan Wṛttasañcaya (abad XV, era Majapahit). Masing-masing kitab menyebutkan keberadaan sebuah alat musik yang bernama unik: Tuḍung. Nama ini sendiri memang tak banyak memberi penjelasan.
Selain kata sifat angarangin (B. Jawa Baru: ngrangin;‘merdu, perihal bunyi gamelan’), tak ada keterangan rinci dari para pujangga mengenai jatidiri alat musik tersebut. Namun menariknya, dalam Bahasa Jawa Baru, kata tuḍung dapat diartikan sebagai ‘caping’ atau ‘tutup kepala’.
Penggunaan tutup kepala sebagai alat musik bukanlah hal yang aneh bagi sebagian masyarakat Jawa. Setidaknya sejak tahun 1931, keberadaan caping kowangan merangkap alat musik petik telah dicatat dengan baik oleh para seniman dan peneliti seperti Jaap Kunst, Walter Spies, Johann S. Brandts-Buys, dan Anne van Zijp. Pemakainya tersebar di wilayah tengah dan timur pulau Jawa, terutama daerah-daerah pegunungan. Dalam sebuah penelitian di kawasan lereng Merbabu, Brandts-Buys dan van Zijp mendapati mayoritas pemain kowangan yang telah berusia lanjut. Bagi para pemain tersebut, musik kowangan adalah permainan anak gembala, sehingga memainkannya terasa seperti bernostalgia dengan masa kecil. Hal ini kontras dengan kenyataan (yang mengkhawatirkan) pada masa itu, bahwa anak muda yang dapat memainkan kowangan sudah sulit dijumpai. Namun hal tersebut bukanlah kasus yang terjadi di Wonosobo. Sempat dicap marginal dan hampir punah, alat musik kowangan justru tetap ngrembaka hingga saat ini.
Pada mulanya, masyarakat umum di Wonosobo memang lebih mengenal kowangan sebagai caping penggembala, bukan sebagai alat musik. Bagaimanapun, pengetahuan tentang permainan musik ini masih terus diwariskan secara internal di kalangan penggembala. Marginalitas ini mencapai titik baliknya pada dekade ’80-an, ketika beberapa pemain mencoba mengangkat musik Kowangan ke dalam format seni pertunjukan. Sejak itulah alat musik kowangan tak hanya menjadi hiburan privat dalam penggembalaan, namun bertransformasi menjadi raja panggung, point of interest dalam kesenian Bunḍengan di Wonosobo. Kesenian Bunḍengan sendiri merupakan bentuk musik kowangan yang berkembang dalam khazanah dan citarasa musikal masyarakat Wonosobo.
Berbagai aspek seperti warna suara, pola instrumentasi, serta permainan vokalnya cenderung mengadopsi musik gamelan kerakyatan, terutama pengiring tari Topèng Lènggèr khas Wonosobo. Maka tak heran jika dalam beberapa kesempatan, alih-alih menggunakan perangkat gamelan, tarian tersebut justru diiringi dengan musik Bunḍengan. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat bahwa baik kesenian Bunḍengan maupun Topèng Lènggèr sama-sama berangkat dari kultur agraris masyarakat Wonosobo.
Periodisasi
Kesenian Bunḍengan di Wonosobo juga mengalami pasang surut hingga masa hampir punah. Kesenian ini pernah mencapai popularitasnya lewat petikan musik Alm. Tomo (Siyono, Bojasari, Kec. Kertek) dan Alm. Barnawi (Ngabean, Maduretno, Kec. Kalikajar); yang disebut terakhir merupakan putra Alm. Damiri, serta berasal dari keluarga pemain Bunḍengan di Ngabean. Meninggalnya beberapa pemain (terakhir Barnawi, 2008), sempat menyurutkan geliat kesenian Bunḍengan di Wonosobo. Namun tak sampai satu dekade setelahnya, generasi penerus telah bermunculan kembali, seperti Munir (adik Barnawi), Henky Chrisnawan (Sruni, Jaraksari), Ferry (putra Munir), serta Sundiyah (putri Barnawi).
Periode sekitar 2016 dapat dikatakan sebagai titik awal perkembangan Bunḍengan di era milenial. Periode ini tak hanya ditandai dengan kembalinya Bunḍengan ke panggung pertunjukan di Wonosobo, namun juga munculnya berbagai workshop, kolaborasi lintas bidang, termasuk propagasi melalui media digital. Tak hanya menarik peminat dari dalam negeri, Bunḍengan juga mampu memikat Palmer Keen (Amerika Serikat, pemerhati musik Nusantara dan Ethnomusicologist), untuk mengulas Bunḍengan secara panjang lebar di auralarchipelago.com. Ada pula sosok Rosie H. Cook (Australia, ahli konservasi), yang turut mengangkat Bunḍengan dalam tesisnya yang berjudul This Is Not a Kowangan (2016); judul tersebut mengacu pada fungsinya yang tak semata-mata sebagai penutup kepala, namun juga sebagai instrumen musik. Sebagai inisiator program Bundengan Connections, ia juga bekerjasama dengan berbagai pihak dalam mengadakan sejumlah workshop pembuatan dan permainan Bunḍengan di Wonosobo.
Kepunahan Bundengan
Pertunjukan musik dan tari di panggung dengan bundengan.
Kesenian Bunḍengan turut memberi sumbangsih dalam mencegah kepunahan tudung kowangan. Sebagai benda pakai, fungsi kowangan kini telah banyak digantikan oleh payung dan jas hujan dengan alasan kepraktisan. Namun setidaknya, turunnya permintaan pasar terhadap tudung kowangan dapat diimbangi dengan naiknya permintaan terhadap kowangan musikal. Adanya pembuat kowangan yang sudah uzur dan tidak lagi produktif seperti Mahrumi (Sibenda, Purwojati, Kec. Kertek) telah diimbangi munculnya generasi muda pembuat kowangan seperti Yatno (Lamuk, Kec. Kaliwiro), serta beberapa perajin kowangan dan cinderamata berbentuk kowangan di dusun Ngabean (Maduretno, Kecamatan Kalikajar).
Selain diversifikasi produk fisik (kreasi souvenir kowangan), pengayaan ragam juga dilakukan melalui kolaborasi lintas bidang. Bekerjasama dengan musisi Bianca Gannon, musik Bunḍengan dipadukan dengan musik post-minimalist dan wayang kontemporer dalam rangkaian pertunjukan The Sound of Shadows, yaitu Entrée (Februari 2018) dan Sugar Coated (Desember 2018)Diarsipkan 2021-02-26 di Wayback Machine. di Australia. Beberapa komposer Indonesia juga telah bereksperimen dengan musik Bunḍengan, seperti Syahrul Nuryansyah (Bandung) dan Supriyanto (Klaten). Dari Wonosobo, koreografer Mulyani banyak memasukkan unsur Bunḍengan dalam komposisi tarinya, merintis pertunjukan wayang kreasi dengan medium kowangan, serta memasukkan Bunḍengan sebagai kegiatan ekstrakurikuler di sekolah asuhannya.
Dokumentasi Musik
Dari bidang rekam data, Komunitas Tudhung Angin telah merekam sekurangnya tiga puluh jenis tembang Lènggèran dalam format kesenian Bunḍengan. Namun ada satu hal yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi para aktivis Bunḍengan, yakni mengumpulkan dan melakukan penataan berbagai data baik audio, visual, maupun tertulis. Pengarsipan yang baik mutlak diperlukan, untuk memberikan akses pengetahuan yang baik bagi generasi mendatang. Sementara itu, pengenalan Bundengan kepada generasi muda dilakukan beberapa seniman dengan membuat cover lagu dari lagu-lagu populer dan diunggah ke Youtube. Dilakukan oleh Luqmanul Chakim, Said Abdullah, dan beberapa seniman lainnya dalam karya musik Lir-ilir yang dipadukan dengan Gamelan, Electronic Dance Music, dan Beatbox. Lagu berbahasa inggris juga dimainkan dengan bundengan seperti En Gallop karya Joanna Newsom.
Pada Mei 2020, sebuah lagu bertajuk Bunyi Sembunyi oleh Luqmanul Chakim juga mengangkat kisah tentang bundengan sekaligus memasukan unsur bundengan dalam komposisinya.