Lir-ilirWikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Tembang Lir-ilir diciptakan oleh Sunan Kalijaga pada awal abad ke 16 ketika runtuhnya kerajaan Majapahit dan mulai masuknya Islam para adipati Kadipaten di Majapahit terutama di pesisir pulau Jawa. Tembang Lir-ilir dikenal sebagai tembang dolanan atau lagu daerah Jawa Tengah, dalam liriknya menggunakan kata perumpamaan yang memiliki arti ganda, hal ini yang mencerminkan kedalaman ilmu Sunan Kalijaga dalam berdakwah. Sunan Kalijaga dengan tembang Lir-ilir mencoba untuk mengajak masyarakat Jawa memeluk, meyakini, dan mengamalkan agama Islam secara perlahan tanpa menabrak tradisi yang sudah lama berkembang. Upaya Sunan Kalijaga ini mencontoh Nabi Muhammad SAW dalam dakwahnya, yakni bi al-hikmah wa al-mauidhati al-hasanah.[1] Sejarah tembang Lir-ilirPencipta tembang Lir-ilir adalah Sunan Kalijaga, meskipun anggota Walisongo yang lain juga memiliki tembang untuk media dakwah. Alasan mendasar dakwah menggunakan media tembang adalah untuk tidak mencoba melawan arus adat istiadat yang sudah lama berkembang yaitu Hindu-Buddha, hal tersebut mencoba memberikan makna tersirat yang terkesan sederhana namun mengandung makna yang dalam bila dicermati. Pada awal mulanya Sunan Kalijaga menyebarluaskan kepada rakyat saat bersamaan mementaskan wayang purwa. Sunan Kalijaga bekerja sama dengan wali yang lain, seperti Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Giri dalam menciptakan wayang sebagai sarana menyebarkan agama Islam. Wayang diciptakan berwujud empat tokoh Punakawan. Sunan Ampel menciptakan tokoh Semar, Sunan Bonang menciptakan Petruk, dan Sunan Giri menciptakan Gareng. Sedangkan Sunan Kalijaga sendiri menciptakan tokoh yang diberi nama Bagong. Strategi dakwah ini sesuai dengan prinsip Walisongo Kenå iwake ora buthek banyune artinya menangkap ikan harus dilakukan tanpa membuat air menjadi keruh. Filsafat inilah yang diterapkan Walisongo dalam dakwahnya begitupun Sunan Kalijaga dengan tembang Lir-ilir. Sunan Kalijaga pada masa itu mencoba untuk mengajak masyarakat untuk memperbaiki kualitas moral namun upaya tersebut dikemas untuk tidak menimbulkan konflik terhadap Raja dan Nara Praja. Ajaran Islam diajarkan pelan-pelan melalui adat budaya yang ada. Syariat Islam diajarkan tanpa dikonfrontasikan dengan cara-cara beragama yang biasa dilakukan oleh orang Jawa. Dengan runtuhnya Majapahit pada penghujung Abad ke-15 membuat kehidupan masyarakat saat itu teramat suram. Di mana-mana terjadi kerusuhan, perampokan, dan pembegalan. Korupsi merajalela sehingga ajaran agama yang telah subur kehilangan substansinya. Sehingga pada saat itu banyak Adipati yang kemudian memeluk Islam yang kemudian diikuti oleh rakyat luas terutama di Kadipaten pesisir utara Jawa. Pada awal abad ke-16 ini yang kemudian disebut oleh Sunan Kalijaga situasi yang terang dan lapang yang termaktub dalam bait mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane. Maka Sunan Kalijaga menyampaikan kondisi ini kepada segenap Adipati sudah saatnya memperbaiki perilaku dan moral menurut syariat Islam. Sunan Kalijaga melakukan itu dengan sarana seni budaya tembang hingga berhasil. Dalam bahasa Jawa
Lir-ilir lir-ilir tandure wus sumilir
Tak ijo royo royo
Tak sêngguh têmantèn anyar
Cah angon cah angon peneknå blimbing kuwi
Lunyu lunyu peneknå kanggo mbasuh dodot-irå (dodot sirå)
Dodot-irå (dodot sirå) dodot-irå (dodot sirå) kumitir bêdhah ing pinggir
Dondomånå jlumatånå kanggo sebå mêngko sore
Mumpung padhang rêmbulane
Mumpung jêmbar kalangane
Yå surakå surak-iyå Dalam bahasa Indonesia
Referensi
Pranala luar |