Budakeling, Bebandem, Karangasem

8°25′42.5309″S 115°34′17.2031″E / 8.428480806°S 115.571445306°E / -8.428480806; 115.571445306

Budakeling
Prégina Gambuh ring Budakeling
Negara Indonesia
ProvinsiBali
KabupatenKarangasem
KecamatanBebandem
Kode pos
80861
Kode Kemendagri51.07.06.2002 Edit nilai pada Wikidata
Luas2,15 km²[1]
Jumlah penduduk4.650 jiwa (2016)[1]
3.784 jiwa (2010)[2]
Kepadatan1.760 jiwa/km²(2010)
Jumlah KK1.147 KK[3]
Peta
PetaKoordinat: 8°25′42.5309″S 115°34′17.2031″E / 8.428480806°S 115.571445306°E / -8.428480806; 115.571445306


Desa Budakeling atau Bude Keling merupakan salah satu dari dari Desa yang terletak di Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali, Indonesia.[4]

Geografis

Secara Geografis, Desa Budakeling tergolong sebagai desa perbukitan yang terletak disebelah selatan Gunung Agung dengan ketinggian kurang lebih 400 meter dari permukaan laut dan suhu udara rata-rata mencapai 27 °C.

Batas Wilayah

Batas wilayah administratif sebagai berikut:

Utara Desa Bhuana Giri
Timur Desa Ababi
Selatan Kelurahan Padang Kerta
Barat Desa Bebandem

Sejarah Desa

Pada masa pemerintahan Dalem Sri Waturenggong yang bertahta di Puri Swecapura (Gelgel) disekitar Abad ke-15, Desa Budakeling masih merupakan hutan dan dikelilingi desa-desa, yaitu: Desa Komala di sebelah Utara, Desa Tohpati di sebelah Barat, Desa Saren di sebelah Selatan dan Desa Ababi di sebelah Timur.

Semua desa tersebut dibawah kekuasaan I Gusti Ngurah Sidemen Sakti yang bertahta di Sidemen, daerah sebelah timur Sungai Unda sampai ke Tianyar. Pada waktu itu, datanglah seorang Pandita Budha ke Bali, yang bernama Danghyang Astapaka, yaitu Putra Danghyang Nata Angsoka dari Majapahit yang berasal dari daerah Keling (Jawa Tengah). Kedatangan iya ke Bali ingin bertemu dangan paman iya, yang Pasraman bertempat Tinggal di Desa Mas, Gianyar, yaitu seorang Pandita Siwa, yang bernama Danghyang Nirartha, adik dari Danghyang Nata Angsoka, dengan membawa pesan dari ayah iya agar Karya Homa dapat terlaksana. Setelah kedua Pandita itu bertemu, ditanyalah kepada Pandita Siwa tersebut, sebab belum terlaksananya Karya Homa itu. Pandita Siwa tersebut menyatakan dengan terus terang karena belum ada ijin (Anugrah) untuk iya melaksanakan Upacara tersebut, maka Danghyang Astapaka yang selanjutnya mengijinkan, sehingga Karya Homadapat berjalan dengan baik.

Setelah Dalem Sri Waturenggong mendengar berita kedatangan seorang Pandita Budha yang tersohor itu, Dalem mengirim utusan memanggil kedua Pandita Budha dan Siwa yang sedang berada di Desa Mas Gianyar, guna menghadap kepada Dalem di Puri Swecapura. Sebagaimana biasanya perlakuan dari seorang Raja Maha Agung, Dalem Waturenggong inginlah mencoba keahlian Pandita yang baru dikenal itu, guna memperoleh fakta siapa sesungguhnya kedua Pandita ini. Untuk keperluan itu maka dibuatlah sebuah lubang dihalaman Puri dan diisi seekor Angsa kemudian lubang itu ditutup. Keesokan harinya setelah Pandita Budha itu datang bersama Paman iya, Danghyang Nirartha dan dipersilahkan duduk bersama pengiring Paseban, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari lubang itu. Kemudian Dalem bertanya kepada Pandita Budha itu,Suara apa itu sebenarnya? Jawab sang Pandita Budha: Itu adalah suara naga.

Mendengar jawaban Pandita Budha, semua pengikut paseban tertawa. Oleh karena Sang Pandita Budha yakin akan jawaban itu, maka oleh Dalem diperintahkan agar membuktikan kebenaran dari suara itu. Kenyataan setelah lubang itu dibuka, keluarlah seekor Naga, sehingga pengikut Paseban menjadi kagum dan ketakutan menyaksikannya. Selanjutnya Pandita Budha mengambil serta memangku Naga tersebut dan menghaturkan kepada Dalem, bahwa Naga ini adalah Naga Bandha yang akan menghatarkan Dalem nanti pada saat akan pulang ke Wisnu Loka. Kemudian Naga tersebut disucikan oleh Pandita Budha itu sendiri.

Sejak saat itu Danghyang Astapaka diangkat oleh raja menjadi Bagawanta (Penasihat/Peguruan), serta dipersembahkan seorang Putri untuk dijadikan istri, keturunan Danghyang Nirartha yang sebelumnya telah diminta oleh Dalem. Tujuan persembahan Putri tersebut supaya Danghyang Astapaka tetap tinggal di Bali serta mempunyai keturunan (Makadon Putra) dan diberi tempat di Pasraman di Banjar Ambengan, Gianyar. Untuk selanjutnya disanalah lahir seorang putra laki-laki yang diberi nama Ida Banjar.

Kemudian diceritakanlah wafatnya Dalem Sri Waturenggong, dengan meninggalkan 2 orang putra mahkota yang masih kanak-kanak, yaitu:I Dewa Bekungdan I Dewa Seganing. Kedua Putra Mahkota inilah yang menggantikan Ayahnya menjadi Raja yang pelaksanaannya diemban oleh Patih Manggala Utama, I Gusti Batan Jeruk, yaitu seorang murid atau sisia kesayangan Danghyang Astapaka.

Karena kehendak sejarah, I Gusti Batan Jeruk sama sekali tidak menghiraukan nasihat-nasihat gurunya. Atas keinginan akan kekuasaan Dalem, dimana sebelumnya sudah menjadi kecurigaan oleh para Patih dan Arya-arya lainnya, maka terjadilah pertikaian dan pemberontakan terhadap I Gusti Batan Jeruk, yang menyebabkan iya terbunuh di Jungutan, Desa Bungaya. Mengingat tragedi yang menimpa murid/sisia kesayangannya itu, lalu Danghyang Astapaka bersama Putranya Ida Banjar meninggalkan Pasramannya di Banjar Ambengan, Gianyar, berangkat menuju ke Timur melalui Desa Singaraja (Sidemen). Sesampainya pada sebuah Bukit yang bernama Bukit Penyu disanalah iya istirahat karena kemalaman.

Sedang iya menikmati keindahan Alam, tiba-tiba terlihatlah oleh iya seberkas sinar yang seakan-akan memancar dari Bumi ke Angkasa. Oleh karenanya, iya bersama Putranya segera melaksanakan semedhi (bertapa). Di dalam semedhinya, iya mendapat ilham yang menunjukan sinar tersebut adalah tempat yang terpilih untuk iya mendirikan sebuah Pasraman, dan tempat yang suci bagi iya untuk suatu jalan kembali pulang ke Buddha Laya. Maka segeralah iya melanjutkan perjalanannya diiringi Putranya menuju dimana tempat sinar itu. Sesampainya ditempat itu, maka sinar tadi menjadi hilang lenyap. Lalu disanalah iya menancapkan Teteken (Tongkat) kayu Tanjung, suatu pertanda bahwa disanalah Danghyang Astapaka akan mendirikan Pasraman.

Tercatat kira-kira Tahun Caka 1416, iya mendirikan Pasraman dengan nama Pasraman Taman Tanjung, nama yang diambil dari nama Kayu Teteken (Tongkat) yang tumbuh. Pasraman tersebut kini menjadi PURA TAMAN TANJUNG dan juga tidak jauh disebelah timur lautnya, iya mendirikan Balai Pemujaan (Pemerajan) dan kini tempat tersebut dinamakan yaitu PURA TAMAN SARI.

Setelah Danghyang Astapaka moksa, Pasraman Taman Tanjung dtempati dan dpelihara oleh Putra iya PEDANDA MADE BANJAR bersama istrinya. Pandita PEDANDA MADE BANJAR berputra PEDANDA WAYAN TANGEB. Pedande Wayan Tangeb, mempunyai 3 (Tiga) Orang Istri yaitu: 1. Brahmana Kemenuh - berputra 2 Orang. 2. Satria Beng Gianyar - berputra 3 Orang. 3. Wesia Ngurah Jelantik - berputra 2 Orang.

Pada saat itu, lebih kurang Tahun Caka 1634 (1702 M), terjadilah letusan Gunung Agung, yang mengakibatkan iya beserta keturunannya yang tinggal ditempat itu dengan semua pengiringnya berpindah tempat menuju ke barat di sebelah selatan Bukit Hyang Pinggan, lebih kurang 500 meter dari Pasraman Taman Tanjung. Disanalah iya bersama-sama pengiringnya mencari perlindungan serta mendirikan perumahan.

Mengingat hubungan baik antara Pedanda Wayan Dangin dengan I Gusti Ngurah Sidemen Sakti (karena salah satu saudara I Gusti Ngurah Sidemen Sakti, menjadi Istri Pedanda Wayan Dangin, maka I Gusti Ngurah Sidemen Sakti yang masih memiliki serta mewenangkan wilayah tersebut, dengan hati tulus iklas menghaturkan kepada Pedanda Wayan Dangin, dengan maksud agar tempat itu menjadi tempat tinggal iya bersama Keluarganya serta pengiring-pengiringnya. Hal demikian ini menambah hasrat iya bermufakat untuk mendirikan bangunan-bangunan dalam satu ikatan DESA.

Adapun bangunan-bangunan Desa yang didirikan adalah sebagai berikut: 1. Dibangun Kuburan di sebelah Barat Desa Budakeling. 2. Di sebelah Utara Setra dibangun Pura Dalem. 3. Didirikan Pura Batur,sebagai suatu peringatan atas PETUNON (Tempat pembakaran mayat /Jenazah) PEDANDA MADE BANJAR dan PEDANDA WAYAN TANGEB yang terletak di kaki Bukit Hyang Pinggan. 4. Di bangun pula Pasar Desa dan Pembagian Pekarangan serta lainnya, guna memenuhi kelengkapan dari suatu DESA. Dan sebagai suatu penghormatan kepada Danghyang Astapaka, yang dianggap penemu tempat itu dan dengan menghubungkan daerah asalnya dari Keling. Maka bermufakatlah Desa tersebut diatas diberi nama: Desa Budakeling.

Seorang Brahmana dari Aliran Siwa berasal dari Geria Pasekan dekat Desa Demung Tabanan yang bernama Ida Bagus Pasekan datang ke Budakeling untuk dapat diterima sebagai sisia oleh Ida Pedanda Gede Wayan Tangeb di Geria Tanjung Sari Budakeling. Akhirnya Ida Bagus Pasekan dapat diterima sebagai sisia/murid menekuni Ajaran Budha Kasogatama, dan akhirnya iya diangkat Putra dan Madiksa menjadi Pedanda Budha dengan Bhiseka Ida Pedanda Gede Wayan Demung serta diberi tempat Pemukiman atau Geria yang diberi nama Geria Demung. Geria Demung Budakeling akhirnya berkembang sampai ke Lombok dan Culik, karena ada di antara Keturunannya yang hijrah ke Lombok dan Culik melanjutkan Ajaran Budha Kasogatan sampai sekarang.

Seorang Pandita Siwa berasal dari Sanur yang bernama Ida Pedanda Sidemen yang kemudian lebih kenal sebagai Pegawai dan Seniman besar Abad XX di Bali telah sempat memohon ijin kepada Ida Pedanda Kerta di Budakeling untuk dapat diijinkan Puja Wedha Kasogatan (Sridanta) dan hal ini dikabulkan. Lanjut dikisahkan seorang Kiyai Islam bernama Raden Kiyai Abdul Djalil dari Demak (Jawa Tengah) diutus ke Puri Gelgel oleh Raja Demak untuk mengislamkan Raja Gelgel dimasa itu yang bernama Dalem Watu Renggong. namun karena tidak berhasil membujuknya maka iya memutuskan untuk tidak kembali ke Jawa. Raja Gelgel memerintahkan untuk membantu warga yang ada didekat Desa Budakeling, yang dalam kesulitan menghadapi serangan seekor Sapi Warak, yang suka mengamuk, pengganggu tanaman bahkan tak segan-segan untuk membunuh warga masyarakat Sang Sege (Sekarang bernama Saren) yang bercocok tanam dilingkungan bukit Kemetug.

Akhirnya, iya berhasil membunuh Sapi Warak tersebut. Adapun daging, kulit, serta tulang belulang sapi warak dibagi-bagi bersama warga Kampung Saren Jawa dengan Saren dikala itu. (sumber: Jero Mangku Rayu- Almarhum, 1991) Hal ini disampaikan oleh Tokoh masyarakat dari kedua kampung bahwa membenarkan adanya kejadian tersebut. Sehingga dibangunlah Pura Jati sebagai wujud pembenaran dari kisah tersebut oleh warga Saren.

Selanjutnya atas keberhasilan Raden Kiyai Abdul Djalil membunuh Sapi Warak tersebut maka diberikan hadiah tempat pemukiman. Pemukiman ini diberi nama Kampung Saren Jawa yang bersebelahan dengan Desa Saren, tepatnya disebelah timur jalan raya (Timur Daya). Pemberian nama Kampung Saren Jawa karena untuk menghormati jasa Raden Kiyai Abdul Djalil yang asalnya dari Jawa Tengah (Demak). Hingga kini Masyarakat Hindu di Budakeling, Saren dan masyarakat Islam yang tinggal menetap di pemukiman Saren Jawa, tetap menjalin hubungan harmonis dan toleran menjaga agama, adat dan budaya yang sangat tinggi dan mulia. Tradisi ini tetap terpelihara dengan baik, terwariskan, tumbuh dan berkembang tetap harmonis.

Bukti peninggalan Sejarah Kampung Saren Jawa masih terawat dengan baik sampai sekarang, yaitu berwujud: Dua Masjid Keramat, dan sebuah Maqam Raden Kiyai Abdul Djalil.

Penduduk

Monografi tahun 2016 menunjukkan bahwa jumlah penduduk desa Budakeling adalah 4.650 jiwa (1.147 KK), terdiri dari 2.362 Laki-laki dan 2.288 Perempuan dengan sex ratio 103.[1] Tingkat pendidikan penduduk ini rata-rata tamat Sekolah Menengah. Jumlah Sarjana 42 orang, D1 9 Orang, D2 27 Orang, tamat SMU 81 orang, SMP 92 orang, tamat SD 136 Orang dan tidak berpendidikan 252 orang. Jumlah penduduk miskin di desa ini 569 KK.

Kondisi sarana dan prasarana umum Desa Budakeling secara garis besar adalah sebagai berikut:

No Bangunan Jumlah Keterangan
1 Kantor Desa 1 unit Baik
2 Puskesmas Pembantu 1 unit
3 Pura 40 Unit
4 Masjid 2 unit
5 Pos Kamling 8 unit
6 PAUD 1 unit
7 Taman Kanak-kanak 1 unit
8 SD Negeri 3 unit
9 MI / Swasta 1 unit
10 Perpustakaan Desa Budakeling 1 unit Belum punya bangunan
11 Taman Pengajian Al-Quran (TPQ) 1 unit Belum punya bangunan
12 Balai Pertemuan Dusun 8 unit
13 Balai Sasana Budaya 1 unit Kurang layak
14 Kuburan 3 unit
15 Sungai 4.500 m
16 Jalan tanah 3.500 m
17 Jalan beton 4.000 m
18 Jalan aspal 1.500 m
19 Jalan Hotmix 2.500 m

Keadaan Ekonomi

Kondisi ekonomi masyarakat Desa Budakeling dengan mata pencaharian dominan penduduk adalah Petani 689 Orang, Peternak 319 orang, Pedagang 210 orang, Pegawai Negeri 83 orang, Karyawan Swasta 108 orang, dll. Sebagai Desa Perdesaan potensi Sumber Daya Alam yang dominan di Desa ini adalah lahan Pertanian. Hasil Pertanian, Palwija, Peternakan merupakan produk Kabupaten Karangasem yang sudah dikenal sampai keluar Daerah. Desa Budakeling berpotensi sebagai daerah produsen hasil-hasil bumi dan kerajinan. Selain itu juga karena kebudayaannya, yaitu banyaknya kelompok-kelompok Seni dan kelompok-kelomok Industri Kerajinan, maka Desa Budakeling juga berpotensi sabagai daerah Wisata Budaya. Hasil-hasil bumi yang diproduksi di Desa Budakeling dan Desa- desa sekitarnya adalah Padi, Palwija (Singkong, Jagung & Kacang-kacangan) dan hasil Ternak (Sapi, Kambing, Babi, Ayam, Itik, dan Kuir). Disamping itu juga Desa Budakeling memiliki sentra kelompok-kelompok Petani Ikan (Udang Galah, Gurami, Nila, Lele, dll) yang mana pada tahun 2010 sebagai Duta Provinsi dan maju ke Tingkat Nasional dan masuk nominasi 10 besar.

Pemerintahan

Pembagian Wilayah

Luas wilayah Desa Budakeling mencapai 215.280 Km2. Secara Administratif, Desa Budakeling tersusun dari 8 (Delapan) Banjar Dinas yaitu:

  1. Banjar Dinas Triwangsa
  2. Banjar Dinas Budakeling
  3. Banjar Dinas Saren Kauh
  4. Banjar Dinas Saren Kangin
  5. Banjar Dinas Saren Anyar
  6. Banjar Dinas Dukuh
  7. Banjar Dinas Pesawan
  8. Banjar Dinas Saren Jawa

Secara adat, Desa Budakeling terdiri dari 10 (Sepuluh) Banjar Adat, yaitu:

  1. Banjar Gede Jina Murti
  2. Banjar Tilem
  3. Banjar Pande Mas
  4. Banjar Pande Besi
  5. Banjar Saren Kauh
  6. Banjar Saren Kangin
  7. Banjar Saren Anyar
  8. Banjar Dukuh
  9. Banjar Pesawan
  10. Banjar Saren Jawa

Secara Adat pula Desa Budakeling memiliki 2 (Dua) Desa Adat/Pakraman,yaitu:

  1. Desa Adat / Pakraman Budakeling, terdiri dari terdiri dari 4 Banjar adat yaitu: Banjar Tilem, Banjar Gede Jina Murti, Banjar Pande Mas, Banjar Pande Besi. 2. Desa Adat Saren, terdiri dari: Banjar Saren Kauh, Banjar Saren Kangin, Banjar Saren Anyar, Banjar Dukuh, Banjar Pesawan.
  2. Desa Adat Muslim yaitu Desa Adat Saren Jawa.

Penggunaan lahan di Desa Budakeling yaitu untuk pemukiman, fasilitas umum (Pura, Kuburan, Jalan Desa, Lapangan dan lainnya) seluas 322 Ha. Dan untuk kegiatan ekonomi seperti untuk sektor perkebunan/tegalan 60.185 Ha, Desa Budakeling memiliki jalan sepanjang 3,300 Km yang terdiri dari 2 Km jalan Kabupaten dan 1,300 Km jalan desa.

Referensi

  1. ^ a b c "Kecamatan Bebandem dalam Angka 2017". Badan Pusat Statistik Indonesia. 2017. Diakses tanggal 16 Desember 2018. 
  2. ^ "Penduduk Indonesia Menurut Desa 2010" (PDF). Badan Pusat Statistik. 2010. hlm. 1385. Diakses tanggal 14 Juni 2019. 
  3. ^ "Prodeskel Binapemdes Kemendagri". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-01. Diakses tanggal 2018-03-20. 
  4. ^ "Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan". Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 Desember 2018. Diakses tanggal 3 Oktober 2019. 

Pranala luar