Berita palsu di SingapuraBerita palsu di Singapura mulai ditangani secara hukum oleh Pemerintah Singapura sejak bergabung dalam Federasi Malaysia pada tahun 1963. Setelah memperoleh kemerdekaan dari Malaysia pada tahun 1965, Pemerintah Singapura tetap menangani permasalahan berita palsu melalui sejumlah undang-undang yaitu Undang-Undang Pencemaran Nama Baik (1965), Undang-Undang Penghasutan (1985), Undang-Undang Penyiaran Singapura dengan Kode Etik Internet (1997), revisi Undang-Undang Pencemaran Nama Baik (2014), dan Undang-Undang Perlindungan dari Pelecehan (2014). Pada tanggal 11 Januari 2018, Parlemen Singapura membentuk Komite Khusus tentang Kepalsuan Dalam Jaringan yang Disengaja untuk menangani persoalan berita palsu di Singapura. Penugasan Komite Khusus tentang Kepalsuan Dalam Jaringan yang Disengaja menghasilkan Undang-Undang Perlindungan dari Kepalsuan dan Manipulasi Dalam Jaringan (POFMA) yang disahkan oleh Parlemen Singapura pada tanggal 3 Juni 2019. POFMA menetapkan denda paling banyak US$ 540.000 dan hukuman penjara paling lama 10 tahun untuk pelaku penyebar berita palsu yang dibedakan menjadi pelaku individu, pelaku pengguna bot dan pelaku non-individu. Inisiatif hukumPemerintah Singapura telah memulai inisiatif menangani berita palsu sejak masih bergabung dengan Federasi Malaysia. Pada tahun 1963, Ordonansi Penghasutan Malaysia 1948 diperluas penerapannya ke Singapura. Setelah memperoleh kemerdekaan dari Malaysia pada tahun 1965, Singapura mempertahankan Ordonansi Penghasutan Malaysia 1948. Selain itu, Pemerintah Singapura juga membuat Undang-Undang Pencemaran Nama Baik pada tahun 1965. Pada tahun 1985, Ordonansi Penghasutan Malaysia 1948 diperbarui oleh Pemerintah Singapura menjadi Undang-Undang Penghasutan. Pada tahun 1997, inisiatif melawan berita palsu juga dilakukan dalam Undang-Undang Penyiaran dengan memberlakukan Kode Etik Internet. Di dalam Kode Etik Internet ditetapkan bahwa penyedia layanan dan konten internet harus bertanggung jawab untuk memastikan standar konten sejalan dengan kepentingan publik, kesopanan, dan kerukunan nasional Singapura. Kemudian pada tahun 2013, Pemerintah Singapura menetapkan Skema Lisensi Berita Dalam Jaringan berdasarkan Undang-Undang Penyiaran. Pada tahun 2014, Pemerintah Singapura melanjutkan inisiatif melawan berita palsu dengan merevisi Undang-Undang Pencemaran Nama Baik dan memberlakukan Undang-Undang Perlindungan dari Pelecehan. Perundang-undangan spesifikPada tanggal 11 Januari 2018, Parlemen Singapura membentuk Komite Khusus tentang Kepalsuan Dalam Jaringan yang Disengaja.[1] Komite khusus ini ditugaskan untuk melakukan pembahasan tentang dampak penyebaran kepalsuan dalam jaringan terhadap kepentingan umum di Singapura.[2] Tugas utama komite khusus ini untuk menangani persoalan berita palsu di Singapura.[3] Komite Khusus tentang Kepalsuan Dalam Jaringan yang Disengaja telah menerbitkan laporan berisi rekomendasi untuk pemerintah, industri, dan media di Singapura. Di dalam laporan tersebut terdapat sebanyak 22 rekomendasi.[1] Salah satu rekomendasnya berupa usulan pembuatan kebijakan mengenai kepalsuan dalam jaringan yang disengaja. Rekomendasi ini ditujukan kepada Parlemen Singapura.[4] Perancangan Undang-Undang Perlindungan dari Kepalsuan dan Manipulasi Dalam Jaringan (POFMA) akhirnya diadakan oleh Komite Khusus tentang Kepalsuan Dalam Jaringan yang Disengaja.[5] Pada tahun 2019, Parlemen Singapura mengesahkan rancangan POFMA sebagai rancangan undang-undang yang ke-10.[4][6] Pada tanggal 1 April 2019, pembacaan pertama atas rancangan POFMA diadakan oleh Parlemen Singapura. Kemudian pada tanggal 7 Mei 2019, Parlemen Singapura melakukan pembacaan kedua.[1] Parlemen Singapura meloloskan POFMA sebagai sebuah undang-undang di Singapura pada tanggal 8 Mei 2019.[7] Pada tanggal 3 Juni 2019, POFMA sah sebagai undang-undang di Singapura.[8] PemidanaanPengesahan POFMA membuat Pemerintah Singapura memiliki kekuasaan untuk mencegah dan menghentikan penyebaran berita palsu dan disinformasi dalam jaringan. POFMA dapat diterapkan untuk menghukum pelaku penyebar berita palsu dan disinformasi dalam jaringan yang menggunakan akun dalam jaringan maupun bot jika berita palsu tersebut mengakibatkan kerugian bagi kepentingan publik.[9] POFMA menetapkan denda dan hukuman penjara untuk pelaku penyebar berita palsu dengan tiga jenis pelaku yaitu pelaku individu, pengguna bot dan pelaku non-individu. Individu yang menyampaikan pernyataan berupa fakta palsu didenda paling banyak US$ 37.000 atau pemenjaraan paling lama 5 tahun. Jika pelaku menyebarkan pernyataan palsu menggunakan bot, maka hukumannya berupa denda paling banyak US$ 73.000 atau pemenjaraan paling lama 10 tahun. Sementara itu, pelaku non-nidividu yang menyebarkan pernyataan palsu dikenakan denda paling banyak US$ 540.000.[10] ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
|