PT Berau Coal Energy adalah produsen batu bara terbesar kelima di Indonesia.[1]
Sejarah
Berau Coal Energy dibentuk pada tahun 1983, pasca penandatanganan kontrak dengan pemerintah Indonesia sebagai kontraktor pertambangan tunggal di Berau, Kalimantan Timur. Produksi pun dimulai pada tahun 1994.[2]
Produksi
Berau Coal mengoperasikan limatambang aktif, yakni Lati, Sambarata, Binungan, Gurimbang,dan Parapatan yang terletak di satu konsesi di [[Kalimantan Timur]. Kandungan batu bara di konsesi seluas sekitar 118.400 hektar tersebut[3] diperkirakan sekitar 2,6 milyar ton, dengan cadangan mungkin dan cadangan terbuktinya saat ini diperkirakan sebesar 512 juta ton,[4]
Berau Coal pernah menjadi bagian dari Asia Resource Minerals, yang kemudian berganti nama menjadi Bumi Plc, dan sahamnya dibeli pada bulan Juli 2010 oleh Vallar, tempurung uang senilai £700 juta milik Nat Rothschild.
Setelah serangkaian konflik internal, perdebatan di ruang direksi, dan tuntutan di pengadilan atas "ketidakwajaran keuangan" di Berau Coal, Amir Sambodo pun setuju untuk mengundurkan diri pada bulan Maret 2015 dari jabatan presiden direktur Berau Coal. Namun, ia tidak mau menyerahkan jabatannya dan menolak untuk memperbolehkan direktur pertambangan, direktur keuangan Asia Resource, ataupun presiden direktur Berau Coal yang baru untuk berkantor di Berau. Selama beberapa waktu, pimpinan Bumi yang bertindak atas nama Rothschild, pun hanya memiliki akses terbatas ke sistem akuntansi dan informasi bank dari Berau Coal.[7]
Pada tahun 2010, Asia Resource Minerals menuduh mantan presiden direktur Berau Coal yang lain, yakni Rosan Roeslani, atas penggelapan. Selama persiapan penyusunan laporan tahunan Berau Coal untuk tahun 2012, ditemukan pembayaran misterius dengan total $201 juta selama tahun 2011 dan 2012.[8] Pada bulan Desember 2015, Roeslani pun diperintahkan untuk menyerahkan lebih dari $173 juta ditambah biaya terkait oleh sebuah pengadilan di Singapura.
Sebagai bagian dari upaya untuk merestrukturisasi dan menguasai perusahaan ini, Rothschild berniat menyuntikkan dana sebesar USD100 juta ke Berau Coal[9] dan menandatangani perjanjian dukungan restrukturisasi dengan para kreditur pada bulan Februari 2015,[10] namun akhirnya dikalahkan oleh tawaran yang diajukan oleh keluarga Widjaja.
Anak usaha Sinar Mas milik Widjaja, Asia Coal Energy Ventures, yang dipimpin oleh Fuganto Widjaja, bersama dengan Argyle Street Management Ltd., kemudian mengajukan tawaran tunai dan rencana rekapitalisasi alternatif pada tanggal 7 Mei 2015, yang meliputi suntikan dana sebesar $150 juta, serta perjanjian dukungan restrukturisasi, mirip seperti yang diajukan oleh Rothschild.[9] Sebagai hasilnya, Rothschild pun mundur dan setuju untuk menjual 17,2% saham yang dipegangnya pada bulan Juni 2015.[11]
Perusahaan induk milik Rothschild kemudian menyatakan bahwa, "Ini akan menjadi investasi pertama dan terakhir kami di sektor batu bara Indonesia"[12]
Gagal bayar
Berau Capital Resources Pte menerbitkan 12,5% utang senior ssnilai US$450 juta pada tahun 2015. PT Berau Coal Energy juga menerbitkan 7,25% utang senior senilai US$500 juta pada tahun 2017. Kedua utang senior tersebut seharusnya direstrukturisasi melalui sebuah perjanjian dengan para pemenangnya,[13] namun Berau Coal kemudian tidak melanjutkan penyusunan perjanjian tersebut. Utang senior tahun 2015 dan 2017 pun saat ini berstatus gagal bayar. Sejak bulan Juli 2015, Berau Group telah mengajukan empat[14] skema pengaturan ataupun prosiding moratorium,[14] dengan klausa yang dideskripsikan sebagai "terang-terangan menghina", karena saat itu harga batu bara global sedang naik dua kali lipat.[15][16] Pada akhirnya, tidak ada skema yang berhasil disepakati.[17]
Penghentian perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia
Berau Coal Energy telah dikeluarkan dari Bursa Efek Indonesia sejak tanggal 16 November 2017, pasca sejumlah penghentian dalam dua tahun terakhir, serta karena gagal menyerahkan laporan tahunan dan pernyataan keuangan secara tepat waktu sejak tahun 2014.[18]
Kasus Pengadilan New York
Pada bulan April 2019, pasca gagal terbayarnya dua utang senior yang bernilai sekitar USD 1 milyar, keluarga Widjaja pun dibawa ke pengadilan di New York oleh para investor Berau Coal, untuk meminta ganti rugi sebesar USD 165 juta ditambah bunga. Penasehat hukum para penggugat, yakni sebuah pengelola investasi global asal New York, mengklaim di pengadilan bahwa sejumlah taktik digunakan oleh keluarga Widjaja selama proses restrukturisasi APP. Financial Times[19] mencatat bahwa kasus ini terjadi saat "kekhawatiran mulai muncul terhadap kondisi ekonomi dan politik di Indonesia".
Pada bulan April 2019, para juri di Pengadilan Tinggi New York setuju untuk mengabulkan tuntutan para penggugat, yakni ganti rugi dengan total lebih dari $170 juta.