Bendera dan lambang Majapahit mengacu pada warna kebesaran dan simbol yang digunakan untuk merepresentasikan kerajaan Majapahit.[1] Akan tetapi, sifat dari bagaimana warna dan lambang itu digunakan dan direpresentasikan masih menjadi subjek studi dan perbedaan pendapat di antara para sejarawan.[2]
Paduan warna merah-putih dikibarkan oleh TNI-AL dalam Kapal Republik Indonesia (KRI) sebagai bendera maritim (lencana perang dan tanda/pennon), dengan masing-masing nama "Lencana Perang" dan panji "Ular-Ular Perang".[3]
Sejarah
Panji merah putih tercatat dalam prasasti Kudadu dengan angka tahun 1294 M. Dalam prasasti tersebut diceritakan bahwa panji-panji merah putih dikibarkan oleh pasukan Jayakatwang dari Daha yang sedang mengejar pasukan Raden Wijaya.[4] Piagam Merah Putih adalah sebutan nama lain dari prasasti Kudadu.[5] Disebutkan bahwa Raden Wijaya sedang dikejar oleh pasukan Jayakatwang yang membawa bendera tersebut, ketika tiba-tiba "panji-panji musuh terlihat di sebelah timur Hanyiruh, warnanya merah dan putih" (hana ta tuṅgulniṁ atru layū-layū katon·vetani hañiru[h], bāṁ lāvan putiḥ varṇnanya). Ini terdapat pada prasasti Kudadu 4v baris ke-3.[6]
Saat raja Hayam Wuruk melakukan lawatan ke seluruh negeri Majapahit, warna merah putih dicatat digunakan sebagai penanda rombongan. Dicatat pada Nagarakretagama pupuh 18 bait 2–4:[7]
Hitam putih, merah putih, laka (merah), mas (emas)
Warna merah dan putih digunakan sebagai warna kajang—berarti tirai samping kereta atau atap berbentuk setengah silinder, terbuat dari daun lontar yang direkatkan atau dianyam. Kombinasi merah-putih dianggap sebagai yang paling mulia.[12]
Lobheng lewih adalah nama motif hiasan untuk lukisan, gambar, atau tekstil.[9] Motif ini berwarna merah dan putih, kombinasinya disebut gula-kalapa, yang merupakan lawan dari pare-anom, yaitu warna hijau dan emas, yang digunakan Daha. Kombinasi merah dan putih dianggap paling agung di Jawa.[12]
Gringsing juga merupakan nama dari motif dekorasi, terutama untuk tenunan dan batik. Mungkin warnanya putih dan hitam, berbintik-bintik atau bertitik.[12]
Pada Nagarakretagama pupuh 84 bait 4 juga disebutkan panji-panji (bahasa Jawa kuno: dwaja atau dhwaja). Warnanya tidak disebutkan, Pigeaud berpendapat panji-panji seperti itu memiliki warna simbolis, dengan merah-putih (gula-klapa) menjadi kombinasi yang paling luhur.[13][14][15]
Soekarno menggambarkan panji maritim Majapahit dengan garis selang-seling warna merah dan putih, dengan nama Sang Getih-Getah.[16]
Lambang negara
Lambang negara Majapahit (rajasa lancana) disebutkan dalam Nagarakretagama pupuh 18 bait 4. Dicatat bahwa saat raja Hayam Wuruk pergi ke Lumajang, kereta sang raja memiliki cihna, yakni tanda pengenal.[17] Lambangnya adalah wilwa (bahasa Sanskerta untuk buah maja—Aegle marmelos). Bentuk buah maja yang bulat mungkin diasosiasikan dengan posisi raja dan ibukota Majapahit sebagai pusat dari mandala Majapahit.[12]
Catatan
^H. Kern menulis mawan. Menurut Pigeaud, pinten digunakan dengan angka sehingga mawan tidak tidak masuk akal disini. Beliau menggantinya dengan kawan, berarti "empat" (dari "sekawan", ungkapan resmi).[8]
^H. Kern menulis diwaśaśri, yang menurut Pigeaud tidak masuk akal. Perbaikan katanya adalah handiwaśri, handiwa adalah nama dari aren.[8]
^N.J. Krom menulis sadahakusuma, yang menurut Pigeaud tidak masuk akal. Bacaan aslinya mungkin adalah sadak akusuma, daun sirih berbunga.[9]
Muljana, Raden Benedictus Slamet (2005), Al-Fayyadl, Muhammad, ed., Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara
Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1960a), Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume I: Javanese Texts in Transcription (edisi ke-3 (revisi)), The Hague: Martinus Nijhoff
Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1960b), Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume II: Notes on the Texts and the Translations (edisi ke-3 (revisi)), The Hague: Martinus Nijhoff, ISBN978-94-011-8774-9
Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1960c), Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume III: Translations (edisi ke-3 (revisi)), The Hague: Martinus Nijhoff, ISBN978-94-011-8772-5
Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1962), Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume IV: Commentaries and Recapitulations (edisi ke-3 (revisi)), The Hague: Martinus Nijhoff, ISBN978-94-017-7133-7
Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1963), Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume V: Glossary, General Index (edisi ke-3 (revisi)), The Hague: Martinus Nijhoff, ISBN978-94-011-8778-7
Prapanca, Mpu (2018), Isidora, ed., Kakawin Nagarakertagama: Teks Asli dan Terjemahan, diterjemahkan oleh Saktiani, Damaika; Widya, Kartika; Aminullah, Zakaria Pamuji; Marginingrum, Novi; Septi, Neda (edisi ke-2 (revisi)), Yogyakarta: Narasi, ISBN978-979-168-553-5
Yamin, Mohammad (1954), 600 Tahun Sang Merah-Putih, jaitu Uraian Tentang Hasil-Penjelidikan Sedjarah dan Arti jang dikandung Sang Merah-Putih Sebagai Warna-Kebangsaan, Penerbit Siguntang
Wasitaatmadja, Fokky Fuad (2018). Spiritualisme Pancasila. Prenada Media. ISBN9786024222673.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)