Istilah banjir minyak 1980-an merujuk pada surplus minyak mentah pada 1980-an yang disebabkan oleh menurunnya permintaan setelah Krisis Energi 1970-an. Harga minyak dunia–yang mencapai puncaknya pada tahun 1980 dengan harga US$35 per barrel ($106 per barrel saat ini)–jatuh pada tahun 1986 dari $27 menjadi di bawah $10 ($62 ke $23 saat ini).[2][3] "Banjir minyak" ini dimulai pada awal 1980-an sebagai akibat dari melambatnya kegiatan perekonomian di negara-negara industri (disebabkan oleh krisis pada 1970-an, terutama Krisis energi 1973 dan 1979), dan konservasi energi yang didorong oleh tingginya harga bahan bakar.
[4] Penyesuaian inflasi atas nilai riil minyak jatuh dari rata-rata $78,2 pada 1981 ke rata-rata $26,8 per barel pada 1986.[5]
Pada bulan Juni 1981, The New York Times menulis: "Banjir minyak! ... ada di sini",[6] dan Majalah Time menyatakan: "dunia untuk sementara mengapung dalam banjir minyak."[7] Namun, pada minggu berikutnya, sebuah artikel di The New York Times memperingatkan bahwa kata "banjir" ini menyesatkan, dan pada kenyataannya, surplus sementara ini telah menjatuhkan harga, harga minyak masih jauh di atas harga pra-krisis energi.[8] Sentimen ini bergema pada bulan November 1981, saat CEO Exxon Corp juga menganggap bahwa peristiwa ini hanyalah surplus sementara, dan bahwa kata "banjir" ini adalah contoh dari perilaku "warga Amerika yang gemar melontarkan bahasa yang berlebihan". Ia menyatakan bahwa penyebab utama banjir minyak ini adalah menurunnya konsumsi. Di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, konsumsi minyak menurun 13% dari 1979 hingga 1981 "sebagai reaksi terhadap kenaikan harga minyak yang sangat besar yang diterapkan oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) dan eksportir minyak lainnya", melanjutkan tren yang sudah dimulai sejak kenaikan harga minyak pada 1973.[9]
Setelah tahun 1980, permintaan minyak berkurang dan produksi minyak yang melimpah membanjiri pasar dunia, hal ini menyebabkan menurunnya harga minyak, yang mencapai puncaknya pada 1986 dengan penurunan harga sebesar 46 persen.
Latar Belakang
Krisis minyak 1973 dan krisis minyak 1979 menjadikan minyak sebagai sumber energi yang sebelumnya berharga murah menjadi sangat mahal. Selama krisis energi 1973, harga minyak melonjak empat kali lipat.[10] Harga minyak tidak pernah kembali pada tingkat pra-1973, baik secara riil ataupun nominal, bahkan selama banjir minyak 1980-an.
Harga nominal minyak terus meningkat secara perlahan setelah krisis berakhir. Enam tahun kemudian, harga melonjak dua kali lipat selama krisis energi 1979.[10]OPEC dan Arab Saudi secara artifisial menaikkan harga minyak beberapa kali pada 1979 dan 1980. Pada saat yang sama, beberapa anggota OPEC lainnya secara signifikan menurunkan tingkat produksi mereka, yang diiringi dengan terjadinya krisis sandera Iran dan dimulainya Perang Irak-Iran.
Ada kekhawatiran bahwa sedikitnya pasokan minyak di pasar dunia[11] akan mengakibatkan naiknya harga minyak,[12] dan bahwa OPEC akan menerapkan harga yang sangat tinggi karena kurangnya pasokan.[butuh rujukan]
Produksi
Non-OPEC
Selama 1980-an, produksi minyak negara-negara non-OPEC meningkat secara global.[13]
Amerika Serikat
Pada bulan April 1979, Jimmy Carter mengesahkan sebuah perintah eksekutif yang menghapus kontrol pasar terhadap produk minyak bumi pada bulan Oktober 1981, sehingga harga akan sepenuhnya ditentukan oleh pasar bebas. Ronald Reagan juga menandatangani sebuah perintah eksekutif pada 28 Januari 1981,Kesalahan pengutipan: Parameter dalam tag <ref> tidak sah; yang memungkinkan pasar bebas untuk menyesuaikan harga minyak di AS.Kesalahan pengutipan: Parameter dalam tag <ref> tidak sah; Kebijakan ini mengakhiri penarikan minyak-minyak lama dari pasar dan juga mengakhiri kelangkaan, yang pada akhirnya mendorong meningkatnya produksi minyak.[butuh rujukan] Pajak minyak di AS diturunkan pada bulan Agustus 1981 dan dihapus pada 1988, mengakhiri disinsentif terhadap produsen minyak AS. Selain itu, Ladang Minyak Prudhoe Bay di Alaska memasuki puncak produksi, yang memasok Pantai Barat AS dengan produksi minyak mentah hingga 2 juta barel per hari.
OPEC
Dari 1980 hingga 1986, OPEC menurunkan produksi minyak mereka beberapa kali untuk mempertahankan harga minyak dunia yang sedang tinggi. Namun, cara ini gagal, dan pada tahun 1981, produksi minyak negara-negara OPEC dikalahkan oleh negara-negara Non-OPEC.[butuh klarifikasi] OPEC dihadapkan pada fakta bahwa pangsanya terhadap pasar dunia menurun menjadi kurang dari sepertiga pada tahun 1985, dari yang sebelumnya hampir setengah dari pangsa dunia selama 1970-an.[14] Pada bulan Februari 1982, Boston Globe melaporkan bahwa produksi OPEC, yang sebelumnya mencapai puncaknya pada 1977, berada di level terendah sejak 1969. Pada saat itu, negara-negara non-OPEC memasok hampir sebagian besar konsumsi minyak bagi negara-negara Barat.[15]
Negara-negara OPEC mulai berbeda pendapat terkait dengan solusi apa yang akan dilakukan. Pada bulan September 1985, Arab Saudi berusaha untuk menguasai kembali pangsa pasar dengan meningkatkan produksi, menciptakan "surplus besar yang membuat marah rekan-rekannya di OPEC".[16]
Impor Amerika Serikat
Amerika Serikat mengimpor 28 persen produksi minyaknya pada tahun 1982 dan 1983, mengalami penurunan dari yang sebelumnya 46,5 persen pada tahun 1977, diduga karena konsumsi minyak yang sedang rendah. Ketergantungan negara-negara lainnya pada Timur Tengah dalam hal konsumsi minyak mulai menurun; Britania Raya, Meksiko, Nigeria dan Norwegia mengikuti jejak Kanada dengan memercayakan pasokan minyak mereka pada Amerika Serikat.[14]
Penurunan permintaan
OPEC bergantung pada elastisitas harga permintaan minyak untuk mempertahankan tingginya konsumsi, tetapi meremehkan sumber daya lainnya yang akan diuntungkan karena naiknya harga minyak. Pembangkit listrik dari tenaga nuklir dan gas alam;[17] pemanas rumah dari gas alam; dan etanol yang dicampur dengan bensin, kesemuanya ini turut mengurangi permintaan terhadap minyak. Mobil penumpang berbahan bakar ekonomis naik dari 17 mpg pada tahun 1978 menjadi lebih dari 22 mpg pada tahun 1982, meningkat lebih dari 30 persen.[18]
Dampak
Jatuhnya harga minyak pada 1986 menguntungkan negara-negara konsumen minyak seperti Amerika Serikat, Jepang, Eropa, dan negara-negara Dunia Ketiga, tetapi di sisi lain juga menyebabkan kerugian bagi negara-negara produsen minyak di Eropa Utara, Uni Soviet, dan OPEC.
Pada tahun 1981, Majalah Time menulis bahwa pada umumnya, "banjir minyak mentah disebabkan oleh ketatnya anggaran pembangunan" di beberapa negara-negara pengekspor minyak.[7] Bagi negara-negara miskin berpenduduk padat yang perekonomiannya bergantung pada produksi minyak–termasuk Meksiko, Nigeria, Aljazair, dan Libya–, pemimpin pemerintahan dan bisnis gagal untuk mempersiapkan pembalikan pasar.[butuh rujukan]
Dengan jatuhnya harga minyak, OPEC kehilangan kesatuannya. Perekonomian negara-negara eksportir minyak seperti Meksiko, Nigeria, dan Venezuela–yang perekonomiannya berkembang sepanjang 1970-an–berada diambang kebangkrutan. Bahkan kekuatan ekonomi Arab Saudi-pun secara signifikan melemah akibat penurunan harga minyak.[butuh rujukan]
Irak telah menghabiskan biaya mahal dalam peperangan panjang melawan Iran, tetapi faktanya Irak memiliki pendapatan yang sangat kecil.[butuh rujukan] Irak dikecewakan oleh Kuwait yang ikut berkontribusi dalam fenomena banjir minyak,[20] yang diduga telah memompa minyak dari ladang Rumaila di perbatasan kedua negara ini.[21] Irak menginvasi Kuwait pada tahun 1990, berencana untuk meningkatkan cadangan minyaknya, yang memicu meletusnya Perang Teluk pertama.[21]
Uni Soviet telah menjadi produsen minyak sebelum terjadinya fenomena banjir minyak. Penurunan harga minyak dunia turut memberikan kontribusi terhadap keruntuhan negara ini.[22]
Di AS, eksplorasi minyak di dalam negeri menurun drastis, dan jumlah rig pengeboran aktif menurun hampir setengah pada tahun 1982.[butuh rujukan] Produsen-produsen minyak kembali mencari ladang minyak baru karena takut kehilangan investasi mereka.[23] Kota-kota yang mengalami pertumbuhan luar biasa ketika harga minyak tinggi, terutama Houston dan New Orleans, mengalami resesi parah karena jatuhnya harga minyak.[24]
^ abChristopher Byron (1981-06-22). "Problems for Oil Producers". Time Magazine. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-01-05. Diakses tanggal 19 January 2008.
^DANIEL YERGIN (1981-06-28). "The Energy Outlook; LULLED TO SLEEP BY THE OIL GLUT MIRAGE". Section 3; Page 2, Column 3. The New York Times.
^C. C. Garvin Jr. (November 9, 1981). "The oil glut in perspective". Annual API Issue; Pg. 151. Oil & Gas Journal.
^David Warsh (1982-02-28). "The economy: the oil glut deepens; OPEC's grip loosens; but a boom or a bomb could spur prices back up". Boston Globe.
^Stephen Koepp (1986-04-14). "Cheap Oil!". Time Magazine. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-01-11. Diakses tanggal 19 January 2008.
^Ferenc L. Toth, Hans-Holger Rogner, (2006). "Oil and nuclear power: Past, present, and future"(PDF). Energy Economics. 28 (1–25): pg. 3. Diarsipkan(PDF) dari versi asli tanggal 2007-12-03. Diakses tanggal 4 January 2008.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Paul R. Portney, Ian W.H. Parry, Howard K. Gruenspecht, and Winston Harrington (November 2003). "The Economics of Fuel Economy Standards"(PDF). Resources For The Future. Diarsipkan(PDF) dari versi asli tanggal 2007-12-01. Diakses tanggal 4 January 2008.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)