Suku Aceh
Suku Aceh (bahasa Aceh: اورڠ اچيه) merupakan suatu kelompok etnis yang berasal dari ujung utara pulau Sumatra, khususnya di wilayah Provinsi Aceh, Indonesia. Mereka terikat dalam kebudayaan, bahasa, dan latar belakang sejarah yang sama. Suku Aceh memiliki beberapa eksonim yang bervariasi, diantaranya yaitu Lam Muri, Lambri, Achin, Achen , Asji, A-tse dan Atse.[5][6] Pada masa modern ini, suku Aceh terkenal sebagai para pedagang yang ulung, suku Aceh saat ini 100% merupakan pemeluk agama Islam.[7] Secara tradisional, suku Aceh hidup secara matrilokal dan komunal, mereka tinggal di permukiman yang disebut gampong. Masa keemasan peradaban suku Aceh berpuncak sekitar abad ke-16 hingga abad ke-17, seiring dengan masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam.[7] Sejarah
Bukti-bukti arkeologis terawal penghuni Aceh adalah dari masa pasca Plestosen, di mana mereka tinggal di pantai timur Aceh (daerah Langsa dan Tamiang), dan menunjukkan ciri-ciri Australomelanesid.[8] Mereka terutama hidup dari hasil laut, terutama berbagai jenis kerang, serta hewan-hewan darat seperti babi dan badak.[9] Mereka sudah memakai api dan menguburkan mayat dengan upacara tertentu.[9] Selanjutnya terjadi perpindahan suku-suku asli Mantir[10] dan Lhan (proto Melayu), serta suku-suku Champa, Melayu, dan Minang (deutro Melayu) yang datang belakangan turut membentuk penduduk pribumi Aceh. Bangsa asing, terutama bangsa India, serta bangsa Arab, Persia, Turki, dan Portugis juga adalah komponen pembentuk suku Aceh. Posisi strategis Aceh di bagian utara pulau Sumatra, selama beribu tahun telah menjadi tempat persinggahan dan percampuran berbagai suku bangsa, yaitu dalam jalur perdagangan laut dari Timur Tengah hingga ke Cina. Asal Usul Suku AcehLegenda rakyat Aceh menyebutkan bahwa penduduk Aceh pertama berasal dari suku Mante & Suku Lhan, Suku Mante merupakan etnis lokal yang merupakan bagian dari Suku Alas & Suku Karo, sedangkan suku Lhan diduga masih berkerabat dengan suku Semang yang bermigrasi dari Semenanjung Malaya atau Hindia Belakang (Champa, Burma).[11] Suku Mante pada mulanya mendiami wilayah Aceh Besar dan kemudian menyebar ke tempat-tempat lainnya. Ada pula dugaan secara etnologi tentang hubungan suku Mante dengan bangsa Funisia di Babilonia atau Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, namun hal tersebut belum dapat ditetapkan oleh para ahli kepastiannya.[12] Ketika Kerajaan Sriwijaya memasuki masa kemundurannya, diperkirakan sekelompok suku Melayu mulai berpindah ke tanah Aceh.[13] Di lembah sungai Tamiang yang subur mereka kemudian menetap, dan selanjutnya dikenal dengan sebutan suku Tamiang.[14] Setelah mereka ditaklukkan oleh Kerajaan Samudera Pasai (1330), mulailah integrasi mereka ke dalam masyarakat Aceh, walau secara adat dan dialek tetap terdapat kedekatan dengan budaya Melayu. Etnis Minangkabau yang bermigrasi ke Aceh banyak yang menetap di sekitar Meulaboh dan lembah Krueng Seunagan.[15] Umumnya daerah subur ini mereka kelola sebagai persawahan basah dan kebun lada, serta sebagian lagi juga berdagang.[15] Penduduk campuran Aceh-Minang ini banyak pula terdapat di wilayah bagian selatan, yaitu di daerah sekitar Susoh, Tapaktuan, dan Labuhan Haji. Mereka banyak yang sehari-harinya berbicara baik dalam bahasa Aceh maupun bahasa Aneuk Jamee, yaitu dialek khusus mereka sendiri. Akibat politik ekspansi dan hubungan diplomatik Kesultanan Aceh Darussalam ke wilayah sekitarnya, maka suku Aceh juga bercampur dengan suku-suku Gayo, Nias, dan Kluet. Pengikat kesatuan budaya suku Aceh yang berasal dari berbagai keturunan itu terutama ialah dalam bahasa Aceh, agama Islam, dan adat-istiadat khas setempat, sebagaimana yang dirumuskan oleh Sultan Iskandar Muda dalam undang-undang Adat Makuta Alam.[16] IndiaBanyak pula terdapat keturunan bangsa India di tanah Aceh, yang erat hubungannya dengan perdagangan dan penyebaran agama Hindu-Buddha dan Islam[17] di tanah Aceh. Bangsa India kebanyakan dari Tamil[18] dan Gujarat,[19] yang keturunannya dapat ditemukan tersebar di seluruh Aceh. Pengaruh bangsa India terlihat antara lain dari penampilan budaya dan fisik pada sebagian orang Aceh, serta variasi makanan Aceh yang banyak menggunakan kari.[20] Banyak pula nama-nama desa yang diambil dari bahasa Hindi, (contoh: Indra Puri), yang mencerminkan warisan kebudayaan Hindu masa lalu. Arab, Persia, dan Turki
Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Di antara para pendatang tersebut terdapat antara lain marga-marga al-Aydrus, al-Habsyi, al-Attas, al-Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier, dan lain-lain, yang semuanya merupakan marga-marga bangsa Arab asal Yaman.[22] Mereka datang sebagai ulama penyebar agama Islam dan sebagai perdagang.[17] Daerah Seunagan misalnya, hingga kini terkenal banyak memiliki ulama-ulama keturunan sayyid, yang oleh masyarakat setempat dihormati dengan sebutan Teungku Jet atau Habib.[15] di Seunagan banyak keturunan dari ulama besar Al Qutb Wujud Habib Abdurrahim bin Sayid Abdul Qadir Al-Qadiri Al-Jailani yang dikenal dengan Habib Seunagan. Demikian pula, sebagian Sultan Aceh adalah juga keturunan sayyid.[23] Keturunan mereka pada masa kini banyak yang sudah kawin campur dengan penduduk asli suku Aceh, dan menghilangkan nama marganya. Terdapat pula keturunan bangsa Persia yang umumnya datang untuk menyebarkan agama dan berdagang,[17] sedangkan bangsa Turki umumnya diundang datang untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit, dan serdadu perang kerajaan Aceh.[24][25] Saat ini keturunan bangsa Persia dan Turki kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar.[butuh rujukan] Nama-nama warisan Persia dan Turki masih tetap digunakan oleh orang Aceh untuk menamai anak-anak mereka, bahkan sebutan Banda dalam nama kota Banda Aceh juga adalah kata serapan dari bahasa Persia (Bandar artinya "pelabuhan"). PortugisKeturunan bangsa Portugis terutama terdapat di wilayah Kuala Daya, Lam No (pesisir barat Aceh).[26] Pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan nakhoda Kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka, sempat singgah dan berdagang di wilayah Lam No, di mana sebagian di antara mereka lalu tinggal menetap di sana. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat itu Lam No di bawah kekuasaan kerajaan kecil Lam No, pimpinan Raja Meureuhom Daya. Hingga saat ini, masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa. Budaya
Kebudayaan Aceh adalah warisan budaya yang kaya dan kompleks yang telah ada sejak zaman dahulu. Karena letaknya yang strategis dan menjadi jalur perdagangan, banyak budaya dari pedagang yang singgah ikut memberikan pengaruh pada kebudayaan Aceh, antara lain budaya Arab, India/Gujarat, dan sebagian kecil budaya tionghoa. Pengaruh ini terlihat sebagian besar pada rempah yang digunakan dalam masakan, bentuk masakan, hingga pakaian adat. Budaya Aceh sangat terkenal karena kekayaan keseniannya. Seni Aceh terutama ditunjukkan dalam bentuk seni pertunjukan dan seni rupa. Seni pertunjukan Aceh antara lain tarian, musik, dan teater, yang biasanya disajikan dalam acara-acara adat, perayaan keagamaan, dan perayaan kebudayaan. Beberapa tarian khas Aceh antara lain Tari Ratoh Duek, dan Tari Seudati. Tarian-tarian ini biasanya dilakukan dalam rangkaian upacara adat, pernikahan, dan acara keagamaan. Selain itu, musik tradisional Aceh juga sangat terkenal. Bentuk musik khas Aceh adalah lagu yang biasanya dinyanyikan oleh seorang penyanyi dengan diiringi oleh alat musik tradisional seperti rebab, serune kalee, dan gendang. Selain seni pertunjukan, Aceh juga memiliki seni rupa yang unik. Seni rupa Aceh biasanya ditemukan dalam bentuk ukiran, sulaman, dan anyaman. Kain tenun khas Aceh, yang sejenis dengan songket juga terkenal karena keindahannya dan banyak digunakan dalam berbagai upacara adat dan keagamaan. Budaya Aceh juga terkenal karena tradisi adat dan agama yang kuat. Agama Islam telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Aceh, dan Aceh dikenal sebagai “Daerah Istimewa” di Indonesia karena hukum syariah yang diterapkan di sana. Adat istiadat juga masih dijaga dengan baik di Aceh, terutama dalam upacara perkawinan dan pemakaman. Selain budaya yang berbentuk fisik, ada pula tradisi upacara adat yang masih berlangsung hingga kini, di antaranya Upacara Peusijuek, Meugang, Kenduri Beureuat, Ritual Sawah Suku Kluet, Upacara Reuhab, Upacara Uroe Tulak Bala, hingga Kenduri Pang Ulee. Semua upacara tersebut memiliki keunikan dan tujuannya sendiri. Bahasa
Bahasa Aceh termasuk dalam kelompok bahasa Aceh-Chamik, cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun bahasa Austronesia.[27] Bahasa-bahasa yang memiliki kekerabatan terdekat dengan bahasa Aceh adalah bahasa Cham, Roglai, Jarai, Rhade, Chru, Utset dan bahasa-bahasa lainnya dalam rumpun bahasa Chamik, yang dipertuturkan di Kamboja, Vietnam, dan Hainan.[27] Adanya kata-kata pinjaman dari bahasa bahasa Mon-Khmer menunjukkan kemungkinan nenek-moyang suku Aceh berdiam di Semenanjung Melayu atau Thailand selatan yang berbatasan dengan para penutur Mon-Khmer, sebelum bermigrasi ke Sumatra.[28] Kosakata bahasa Aceh banyak diperkaya oleh serapan dari bahasa Sanskerta dan bahasa Arab, yang terutama dalam bidang-bidang agama, hukum, pemerintahan, perang, seni, dan ilmu.[29] Selama berabad-abad bahasa Aceh juga banyak menyerap dari bahasa Melayu.[29] Bahasa Melayu dan bahasa Minangkabau adalah kerabat bahasa Aceh-Chamik yang selanjutnya, yaitu sama-sama tergolong dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat. Sekelompok imigran berbahasa Chamik tersebut mulanya diduga hanya menguasai daerah yang kecil saja, yaitu pelabuhan Banda Aceh di Aceh Besar.[30] Marco Polo (1292) menyatakan bahwa di Aceh saat itu terdapat 8 kerajaan-kerajaan kecil, yang masing-masing memiliki bahasanya sendiri.[30] Perluasan kekuasaan terhadap kerajaan-kerajaan pantai lainnya, terutama Pedir atau Pidie, Pasai, dan Daya, dan penyerapan penduduk secara perlahan selama 400 tahun, akhirnya membuat bahasa penduduk Banda Aceh ini menjadi dominan di daerah pesisir Aceh.[30] Para penutur bahasa asli lainnya, kemudian juga terdesak ke pedalaman oleh para penutur berbahasa Aceh yang membuka perladangan.[30] Dialek-dialek bahasa Aceh yang terdapat di lembah Aceh Besar terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Tunong untuk dialek-dialek di dataran tinggi dan Barôh untuk dialek-dialek dataran rendah.[29] Banyaknya dialek yang terdapat di Aceh Besar dan Daya, menunjukkan lebih lamanya wilayah-wilayah tersebut dihuni daripada wilayah-wilayah lainnya.[29] Di wilayah Pidie juga terdapat cukup banyak dialek, walaupun tidak sebanyak di Aceh Besar atau Daya.[29] Dialek-dialek di sebelah timur Pidie dan di selatan Daya lebih homogen, sehingga dihubungkan dengan migrasi yang datang kemudian seiring dengan peluasan kekuasaan Kerajaan Aceh pasca tahun 1500.[29] Pemerintah daerah Aceh, antara lain melalui SK Gubernur No. 430/543/1986 dan Perda No. 2 tahun 1990 membentuk Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), dengan mandat membina pengembangan adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat dan lembaga adat di Aceh.[31] Secara tidak langsung lembaga ini turut menjaga lestarinya bahasa Aceh, karena pada setiap kegiatan adat dan budaya, penyampaian kegiatan-kegiatan tersebut adalah dalam bahasa Aceh.[31] Demikian pula bahasa Aceh umum digunakan dalam berbagai urusan sehari-hari yang diselenggarakan oleh instansi-instansi pemerintahan di Aceh.[31] Agama dan Kepercayaan
Islam bagi Masyarakat AcehSuku Aceh sangat erat kaitannya terhadap agama Islam, nilai-nilai Islam sendiri dalam kehidupan masyarakat Aceh menunjuk kepada sebuah proses historis dari fenomena inkulturisasi Islam di Tanah Aceh, yang secara berkesinambungan tetap hidup bersama masyarakat Aceh itu sendiri. Dengan kata lain, nilai-nilai Islam sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh. adapun Islam menurut pemahaman dan pengalaman masyarakat Aceh, Islam yang berperan dalam masyarakat dan budaya Aceh, atau istilah-istilah lain yang sejenis, tentunya dengan penekanan-penekanan tertentu yang bervariasi antara istilah yang satu dengan lainnya. Inti dari nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh adalah terdapatnya karakteristik khas yang dimiliki agama Islam dalam proses sejarahnya di Tanah Aceh. Ciri khas itu adalah terdapatnya kombinasi pada level kepercayaan antara kepercayaan Islam, kepercayaan kelompok, dan kepercayaan lingkungan. Kombinasi itulah yang membentuk sistem kepercayaan Islam di Aceh Di antara beberapa sub kepercayaan itu, yang paling tua dan lebih asli dalam konteks masyarakat Aceh adalah kepercayaan lingkungan, karena unsur-unsurnya lebih merujuk pada pola-pola agama. Oleh karena itu, dibandingkan kepercayaan kelompok , kepercayaan lingkungan ini tampak lebih fleksibel dan terbuka bagi upaya-upaya modifikasi ketika dihubungkan dengan kepercayaan Islam. Sejarah Islam di tanah Aceh dimulai seiring dengan sejarah pembentukan entitas suku Aceh itu sendiri. Menurut kebanyakan peneliti, Islam telah berkembang jauh sebelum berdirinya Kerajaan Samudra Pasai meskipun dalam kondisi yang relatif lambat lantaran belum menjadi kekuatan sosial-politik. Kerajaan Samudra Pasai, dengan demikian, menjadi tonggak sejarah pertama perkembangangan Islam di wilayah Utara pulau Sumatra. TarianTarian tradisional Aceh menggambarkan warisan adat, agama, dan cerita rakyat setempat.[32] Tari-tarian Aceh umumnya dibawakan secara berkelompok, di mana sekelompok penari berasal dari jenis kelamin yang sama, dan posisi menarikannya ada yang berdiri maupun duduk.[33] Bila dilihat dari musik pengiringnya, tari-tarian tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua macam; yaitu yang diiringi dengan vokal dan perkusi tubuh penarinya sendiri, serta yang diiringi dengan ensambel alat musik.[33] Arsitektur
Rumah AcehArsitektur khas Aceh tidak hanya berupa ukiran tetapi juga berupa bangunan rumah adat. Rumah adat Aceh lebih dikenal dengan nama Rumoh Aceh. Ada berbagai macam jenis rumah aceh, adapun rumah adat aceh yang terkenal adalah jenis rumah Krong Bade. Konsep bangunannya memakai rumah panggung, yang tingginya mencapai 2 sampai 3 meter. Lalu hampir seluruh material bangunannya memakai bahan alami, yaitu berbagai jenis kayu. Lalu untuk atapnya banyak memakai daun rumbia. Pada kolong rumah panggung, pemilik rumah biasa menyimpan bahan makanan di sana. Lalu kegiatan masyarakat terutama ibu-ibu di sana juga banyak dilakukan di bawah rumah panggung, seperti saat menenun. Ketika hendak masuk ke rumoh Aceh, akan ada tangga. Adapun jumlah tangganya sesuai dengan aturan pembuatannya, harus berjumlah ganjil. Setelah Anda menaiki tangga, nantinya akan ada beberapa hiasan seperti lukisan yang dipasang di dinding. Jumlahnya bisa satu atau lebih. Jumlah hiasan di dinding inilah yang menunjukkan status sosial pemilik rumah Krong Bade ini. Semakin banyak hiasan atau lukisan yang dipajang, artinya semakin tinggi pula golongan pemilik Krong Bade tersebut. Begitu juga sebaliknya. Makanan khasMasakan Aceh terkenal banyak menggunakan kombinasi rempah-rempah sebagaimana yang biasa terdapat pada masakan India dan Arab, yaitu jahe, merica, ketumbar, jintan, cengkih, kayu manis, kapulaga, dan adas.[34] Berbagai macam makanan Aceh dimasak dengan bumbu gulai atau bumbu kari serta santan, yang umumnya dikombinasikan dengan daging, seperti daging kerbau, sapi, kambing, ikan, dan ayam.[35] Beberapa resep tertentu secara tradisional ada yang memakai ganja sebagai bumbu racikan penyedap; hal mana juga ditemui pada beberapa masakan Asia Tenggara lainnya seperti misalnya di Laos,[36] namun kini bahan tersebut sudah tidak lagi dipakai.[37] Makanan Kudapan Tokoh Publik
Lihat pulaReferensiCatatan kaki
Bacaan lanjutan
|
Portal di Ensiklopedia Dunia