Piek Ardijanto Soeprijadi
Piek Ardijanto Soeprijadi (12 Agustus 1929 – 22 Mei 2001) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Piek merupakan salah satu sastrawan angkatan 1966. Sejak tahun 1970, puisi-puisinya telah dimuat di berbagai media massa di Indonesia. Selain itu dia juga menulis esai sastra, mengulas karya-karya para penyair muda saat itu. Piek juga salah satu pelopor perintis Komunitas Negeri Poci (tahun 1993).[1][2][3][4][5] Kehidupan pribadiKebiasaannya menulis dimulai ketika duduk di bangku SGA. Sering mengikuti lomba-lomba mengarang, memenangi mekejuaraan, lalu mencoba mengirimkan karya-karyanya ke majalah. Tahun 1950, ketika menjadi guru SMP di Gombong, ia menghasilkan beberapa karya lagu berkat bimbingan guru musik di SGA, Pak Daldjono (pencipta lagu). Di antaranya termuat dalam buku Puspa Ragam, (Jakarta, 1950). Ada 14 penghargaan yang ia terima dari berbagai lomba/sayembara mengarang puisi, prosa, dan esei sastra sepanjang hayatnya. Karena sejak lulus SR dia masuk SGB, lalu dengan seleksi ketak memasuki SGA yang hidup dalam asrama, maka jadilah dia guru berkepribadian agak kuno, tertib, hati-hati, tegas tetapi tidak galak. Perjalanan hidupnya lurus meski banyak keprihatinan. Hampir seluruh hidupnya diabdikan untuk sekolah, selebihnya menulis. Sering merasa kekurangan waktu untuk menulis. Sajak-sajaknya bayak lahir justru ketika mengikuti penataran, liburan sekolah, atau saat mengawasi ujian. Selama masa kerjanya, tak sehari pun ia pernah membolos, tetapi kadang kalau sakit agak lama. Hal ini disebabkan oleh kondisi fisiknya yang lemah sejak lahir. Konon ketika dalam kandungan, ibunya hanya terbaring dan hanya dapat kemasukan tetes-tetesan air tajin selam 9 bulan. Anehnya, saat akan lahir, ibunya mendapat kekuatan, dan Piek lahir normal. Masa bocahnya di desa membuatnya dekat dengan alam dan banyak memuja kebesaran Tuhan. Kiprah kesenianAntara tahun 1950—1960 ia mengikuti kurus PGSLP dan B1 di Semarang. Di sela kesibukannya belajar, lahirlah karya-karya puisi, cerpen, fragmen yang dimuati di berbagai media massa antara lain: Gelora, Basis Indonesia, Sastra, Horison, dan lain-lain. Tahun 1961, Piek pindah tugas ke SMA 1 Kota Tegal. Sejak itu ia tak pernah tinggal diam/santai. Ia makin produktif menulis puisi, esei sastra, dan mengisi rubrik kebudayaan di Harian Tempo setiap pekan untuk membicarakan/mengulas sajak-sajak penyair muda yang bermunculan di Nusantara. Tak heran jika akhirnya ia punya banyak teman-teman penyair di mana-mana yang mau menyambangi rumahnya. Puisi memang aneh, kecintaannya pada puisi dapat menjalin keakraban mendalam antarpenyair yang saling tertaut jiwanya. Sampai berpuluh tahun lamanya, hubungan batin dengan Adri Darmadji Woko, Hendrawan Nadesul, Kurniawan Gunadi, Oey Sien Tjwan tetap terjaga. Oleh Piek mereka sudah dianggap seperti anaknya, meski bukan berarti mereka berguru pada Piek. Piek bersyukur karena pernah melawat ke Belanda selama beberapa hari atas undangan Radio Nederland Wereldomrroep di Hilversum dengan tugas sebagai Juri Sayembara Menulis Cerpen “Kincir Emas”. Di situ ia bersama Asbari Nurpatria Krisna. Oleh-olehnya adalah beberapa kumpulan puisi yang belum pernah diterbitkan. Dari kiprah dan kegiatannya, oleh HB Jassin memasukkan nama Piek Ardijanto Soeprijadi ke dalam Sastrawan Angkatan 66. Bibliografi
Antologi Bersama
Antologi yang belum diterbitkan
Buku yang memuat nama Piek
Penghargaan
Referensi
|
Portal di Ensiklopedia Dunia