Prof. Dr. Anhar Gonggong, MA (lahir 14 Agustus 1943) adalah seorang sejarawan dan akademikus Indonesia. Ia dikenal luas atas kontribusinya dalam bidang sejarah Indonesia, terutama mengenai periode kolonial dan pascakemerdekaan.[1]
Keluarga
Atas nama "penumpasan pemberontakan", pasukan Depot Speciale Troepen yang dipimpin Raymond Westerling menyisir desa-desa di Sulawesi Selatan. Hanya sekitar tiga bulan dari Desember 1946 hingga Februari 1947, ribuan nyawa melayang dan darah tertumpah di sana.[2]
Termasuk keluarga sejarawan, Anhar Gonggong. "Ayah saya dibunuh bersama dua kakak saya. Satu kakak dikubur bersama ayah, yang lain di kota berbeda, Parepare," kata Anhar.[2]
Ayahnya, Andi Pananrangi adalah mantan raja di kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, Kerajaan Alitta. Ia memang sudah lama jadi incaran Belanda, dicap sebagai musuh.[2]
Kala itu, Anhar yang anak bungsu baru berusia 3 tahun. Ia dan ibunya mengungsi ketika ayahnya ditangkap dalam Kampanye Sulawesi Selatan.[2]
Itu baru keluarga intinya. "Paman saya, sepupu juga dibantai. Kalau dihitung secara keseluruhan di lingkungan keluarga dekat, ayah, kakak, paman, sepupu, mungkin sampai 20-an orang," kata Anhar.[2]
Soal pastinya jumlah korban Westerling memang belum diketahui. Pihak Indonesia menyebut 40 ribu orang tewas dibantai, meski versi Belanda menyebut angka sekitar 3.000. Sedangkan Westerling mengaku, korban 'hanya' 600 orang.[2]
Pendidikan
Karier
Karya
- Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (1984).
- MGR. Sugijopranoto SJ: Antara Gereja dan Negara (1993).
- Abdul Qahhar Mudzakkar: Dari Patriot hingga Pemberontak (1992 dan 2004).
- Amendemen, Konstitusi, Otonomi Daerah dan Federalisme, Solusi untuk Masa Depan (2001).
- Indonesia, Demokrasi dan Masa Depan Pergumulan antara Masyarakat Warisan dengan Masyarakat Merdeka-Ciptaan (2002).
Referensi
|
---|
Umum | |
---|
Perpustakaan nasional | |
---|
Basis data ilmiah | |
---|
Lain-lain | |
---|