Angklung padaengAngklung padaeng adalah alat musik dari bambu yang merupakan varian modern dari angklung. Dulunya, angklung tradisional memakai tangga nada slendro, pelog atau madenda. Pada tahun 1938, Daeng Soetigna melakukan inovasi agar angklung dapat memainkan nada diatonis. Untuk menghargai karya dia, angklung bernada diatonis ini kemudian diberi nama angklung padaeng. TerminologiAngklung adalah sebutan bagi alat musik yang terbuat dari bambu. Ada yang mengatakan bahwa istilah ini berasal dari kata angkleung-angkleungan (artinya gerakan bergoyang) dan klung (bunyi bambu dipukul). Sementara itu kata padaeng jelas berasal dari kata Pa (tuan, orang laki-laki dewasa yang dihormati) dan Daeng (nama pencipta angklung diatonis). SejarahSekitar tahun 1930-an, Pak Daeng sedang menjadi guru di HIS (sekolah dasar zaman Belanda) di Kuningan Jawa Barat, dan bertugas mengajar Seni Musik. Alat yang dipakai waktu itu diantaranya: Mandolin, biola, atau piano. Semuanya dibawa dari negeri Belanda, sehingga jumlahnya terbatas dan harganya mahal. Dengan demikian, Pak Daeng ingin sekali mencari alternatif alat musik yang lebih mudah dan murah. Inspirasi datang ketika ada dua orang pengemis memainkan lagu cis kacang buncis di depan rumah Pak Daeng dengan memakai angklung. Pak Daeng sangat tertarik dan langsung membeli angklung dari pengemis itu. Angklung tersebut bernada pentatonis (nada tradisionil sunda). Padahal, agar dapat digunakan untuk mengajar seni musik barat, maka diperlukan alat musik bernada diatonis. Karena itulah Pak Daeng bertekad membuat angklung diatonis. Pak Daeng kemudian bertemu dengan Pak Djaja, seorang empu pembuat angklung yang mumpuni. Walau sudah tua dan sebelumnya hanya tahu musik pentatonis, Pak Djaja dengan senang hati membantu Pak Daeng membuat angklung diatonis. Atas kerjasama mereka berdua, terciptalah alat musik pribumi yang mudah dibuat, dan murah. Hal itu terjadi pada tahun 1938. Selanjutnya Pak Daeng mengajarkan angklung diatonis ini pada anak didiknya di kepanduan. Dengan sabar Pak Daeng melatih mereka sehingga musik angklung bisa ditampilkan dengan sangat apik. Delapan tahun kemudian, pada saat pertemuan perjanjian Linggarjati tahun 1946, presiden Soekarno meminta Pak Daeng dan anak asuhnya untuk tampil memberi hiburan. Merekapun membawakan lagu-lagu Indonesia modern dan Belanda dihadapan para utusan, dan membuktikan bahwa alat musik tradisionil Indonesia kini mampu berkiprah di musik Internasional, sekaligus mengangkat harkat alat musik angklung dari alat musik pengemis, ke alat musik konser antar negara. Pada tahun 1989, berlangsung Seminar Seni Angklung Se Jawa Barat di AUla Timur ITB. Pak Prof. Sudjoko Danoesoebroto, MA, Ph.D (guru besar ITB) menyampaikan makalah berjudul "Memperkaya Angklung Daeng". Sementara itu Prof. Dr. Oteng Sutisna, MSc. (guru besar IKIP Bandung) menulis makalah berjudul "Musik Angklung Padaeng Sebagai Alat Pendidikan Musik". Sejak itulah istilah angklung padaeng melekat sebagai nama bagi angklung diatonis yang diciptakan oleh Daeng Soetigna. Pendidikan musikDari awalnya, angklung Padaeng diciptakan untuk mengajar ilmu seni musik barat. Pada era itu, hal ini merupakan terobosan karena untuk pertama kalinya, alat musik Nusantara digunakan untuk tujuan tersebut, menggantikan alat musik Eropa. Kekhasan angklung Padaeng sehingga cocok untuk mengajarkan imu musik adalah:
Menyadari potensi itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mengeluarkan peraturan pemerintah no 082/1968 yang menetapkan angklung sebagai alat pendidikan musik.[1] Perjuangan dan DiplomasiPada zaman Belanda berkuasa di Indonesia, angklung sempat dilarang karena dianggap sebagai musik rakyat yang bisa mengobarkan semangat pemberontakan. Ditengah-tengah kondisi itulah, Daeng Soetigna mulai mengajarkan angklung kepada para pandu muda di HIS Kuningan. Setelah zaman revolusi tahun 1945, terbukti bahwa para pandu ini menjadi pejuang dan menggunakan angklung sebagai hiburan bagi para gerilyawan Indonesia, dengan melantunkan lagu-lagu perjuangan. Kemudian, beberapa kiprah angklung dalam perjuangan Indonesia adalah:
Karena begitu khas Indonesia inilah, angklung menjadi salah satu barang wajib yang harus ada di kedutaan luar negeri Indonesia, dan sering menjadi duta kesenian dalam berbagai acara antar negara. Pada tahun 2010, akhirnya UNESCO mengakui angklung sebagai warisan budaya tak benda Indonesia.[2] Selanjutnya pada tahun 2017, UNESCO menerima angklung klungbot (klungbot) sebagai salah satu karya seni yang dipamerkan di museum UNESCO Paris.[3] Di dalam klungbot, terdapat angklung padaeng produksi Handiman. Ekonomi rakyatSetelah dunia mulai pulih dari suasana perang dunia, ekonomi pun tumbuh pesat. Angklung berperan besar dalam memajukan ekonomi rakyat, khususnya dari sektor pariwisata. Pada saat ini muncul sentra-sentra budaya angklung dimana yang paling terkenal adalah Saung Angklung Udjo. Di sentra-sentra tersebut, bisa kita lihat peran angklung sebagai:
Ini adalah bukti nyata peran angklung sebagai penghela ekonomi kreatif, karena berhasil mempekerjakan para seniman, pengrajin, maupun jasa pariwisata. Dengan demikian, sudah sepatutnya pada tahun 2010 muncul koin Rp1.000 dengan gambar angklung. Pendidikan karakterSalah satu keistimewaan angklung adalah, alat ini harus dimainkan beramai-ramai oleh banyak orang. Hal ini membuat angklung sangat cocok untuk melatih kekompakan dan disiplin dalam suatu kelompok. Saat ini, makin banyak pelatihan motivasi yang menggunaka angklung sebagai medianya. Institusi pendidikan seperti UPI, juga sedang mulai menyusun kurikulum agar angklung dapat menjadi alat pendidikan karakter. Salah satunya adalah dengan menerapkan prinsip Pak Daeng Soetigna yang ditulis dalam skripsi B1-nya, yaitu bahwa dalam melatih anak sebaiknya diberi petunjuk "Bukan begini ..... tapi begitu".[4] AnatomiAngklung dibuat dari bambu, dan sedikit rotan sebagai pengikat. Bagian-bagian alat musik ini adalah:
Tabung suaraTabung Suara adalah bagian yang mengeluarkan nada tertentu. Hal tersebut bisa dicapai dengan cara:
Karena prinsip yang mudah ini, banyak pengrajin yang belajar membuat angklung secara otodidak, tanpa perlu mengacu pada standar tertentu. Akibatnya angklung karya pengrajin satu dengan lainnya bisa berbeda ukuran maupun bentuk, walau nadanya sama. Kenyataaanya, ukuran tabung suara memang tak perlu sama, karena sedikit banyak perlu disesuaikan dengan bahan bambunya yaitu:
Sejauh ini standar ukuran angklung yang beredar di kalangan pengrajin adalah:
Jenis AngklungMenurut jumlah dan konfigurasi tabung suaranya, angklung padaeng bisa dibagi menjadi dua jenis besar. Angklung MelodiAngklung melodi adalah angklung yang ditujukan untuk memainkan melodi utama suatu lagu. Angklung ini memiliki dua atau lebih tabung suara yang dikombinasikan dengan prinsip oktaf.[5] Angklung ini dibagi menurut rentang nadanya:
Angklung AkompanimenAngklung akompanimen bertugas menjadi pengiring lagu, biasanya dimainkan dengan di-centok. Angklung ini memiliki tiga atau lebih tabung suara yang dikombinasikan dengan prinsip akord.[6] Angklung ini dibagi menurut jenis akord maupun rentang nadanya:
Unit Angklung PadaengUntuk memainkan suatu lagu tertentu, diperlukan sejumlah angklung yang disesuaikan dengan:
Guna memenuhi hal tersebut, para pengrajin menyediakan berbagai macam unit angklung. Standar yang cukup umum dipasarkan adalah: [7]
Musik angklung padaengDitinjau dari segi tata musiknya (aransemen, alat musik lain), sejauh ini musik angklung padaeng telah berkembang:
Referensi
|
Portal di Ensiklopedia Dunia