Ambazonia
Ambazonia, secara resmi Republik Federal Ambazonia atau yang biasa disebut Amba Land, adalah sebuah negara di Afrika Barat yang mendeklarasikan kemerdekaannya secara sepihak dari Kamerun. Secara historis, negara ini dikenal dengan Kamerun Selatan. Tidak ada negara yang secara resmi mengakui kemerdekaan Ambazonia, dan saat ini menjadi lokasi konflik bersenjata antara separatis Ambazonia dan militer Kamerun yang dikenal sebagai Krisis Anglophone. Ambazonia terletak di barat Kamerun dan tenggara Nigeria di Teluk Guinea. Hingga tahun 1961, Kamerun Selatan merupakan jajahan inggris dan Kamerun menjadi jajahan Perancis. Saat kemerdekaan, sebuah referendum diadakan dan Kamerun Selatan memilih bergabung dengan Kamerun sebagai negara bagian dari republik federal. Seiring waktu, kekuasaan pemerintah pusat, yang didominasi oleh orang-orang Prancis, diperluas dengan mengorbankan otonomi daerah. Banyak penduduk mengidentifikasi hal tersebut sebagai anti Anglophone dan membenci apa yang mereka anggap sebagai diskriminasi dan upaya untuk menghilangkan lembaga hukum, administrasi, pendidikan, dan budaya Anglophone oleh pemerintah Kamerun. Pada tahun 2016 dan 2017, gerakan protes meluas yang disambut tindakan kekerasan oleh pemerintah dan menyebabkan kerusuhan dan kekerasan terhadap pasukan keamanan. Pada tahun 2017, pemimpin Ambazon mendeklarasikan secara sepihak kemerdekaannya.[2] Akibatnya, kekerasan berkembang menjadi perang gerilya dan pada 2021 bentrok berpusat pada tempat padat penduduk dan lokasi strategis dengan desa-desa sebagai pusat strategi milisi.[3] Pasukan Ambazonia telah berjuang untuk membentuk front persatuan, dan konflik internal telah menghambat upaya untuk bernegosiasi dengan Kamerun atau membangun kendali atas berbagai kelompok milisi yang terlibat dalam pertempuran.[4] Kekerasan yang sedang berlangsung telah menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan secara luas oleh kedua belah pihak, termasuk pembunuhan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan berbasis gender, serta penahanan dan penculikan yang tidak dapat dibenarkan.[5] Etimologi dan TerminologiIstilah "Ambazonia" berasal dari kata Ambozes, nama lokal untuk teluk di muara sungai Wouri, yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Ambas Bay.[6] Nama itu diciptakan oleh Fon Gorji Dinka pada tahun 1984 sebagai bagian dari kampanye untuk pemulihan otonomi dan pelestarian institusi Anglophone di wilayah tersebut.[7] Istilah Ambazonia lebih sering dikaitkan dengan separatis atau faksi pencari kemerdekaan. Sedangkan pemerintah Kamerun dan sumber resmi lainnya, seperti PBB, terus merujuk pada "Wilayah Barat Laut" dan "Wilayah Barat Daya", nama resmi dari dua divisi administratif Ambazonia sejak 1972.[8][9] Atau biasa juga disebut "Kamerun Selatan", "Kamerun Anglophone" atau "Wilayah Anglophone Kamerun". SejarahKolonisasi awal dan Jerman KamerunPara pedagang Eropa dari beberapa negara mengunjungi Teluk Ambas mulai dari Portugis pada tahun 1470-an. Pemukiman permanen Eropa pertama di daratan utama di wilayah tersebut didirikan pada tahun 1858 oleh Misionaris Baptis Inggris Alfred Saker sebagai surga bagi budak yang dibebaskan. Pemukiman ini yang kemudian diberi nama Victoria (sekarang Limbe, Kamerun). Hingga tahun 1880-an, aktivitas Eropa didominasi oleh perusahaan dagang dan misionaris. Namun, pada tahun 1880-an, Perebutan Afrika mencapai puncaknya dari orang-orang Eropa untuk mendapatkan kendali diplomatik atau militer atas Afrika untuk mengamankan klaim kolonial. Jerman, yang telah mendirikan pusat perdagangan besar di tenggara delta Sungai Wouri (Douala modern), dan Inggris, yang memiliki kepentingan luas di barat Nigeria, keduanya berlomba untuk menandatangani perjanjian dengan penguasa lokal. Penjelajah Jerman Gustav Nachtigal menandatangani perjanjian penting dengan beberapa raja terkemuka. Ketidakpuasan dengan perjanjian ini menyebabkan Perang Douala singkat pada tahun 1884, di mana Jerman membantu sekutu lokalnya untuk menang. Hal ini pada dasarnya memperkuat posisi kolonialnya di Kamerun dan pada tahun 1887 Inggris telah meninggalkan klaimnya di wilayah tersebut.[10][11] Jerman terus mengkonsolidasikan kendalinya atas pesisir melalui perjanjian dengan para pemimpin lokal yang didukung oleh ekspedisi militer. Jerman menaklukkan Buea pada tahun 1891 setelah beberapa tahun berperang, memindahkan ibukota kolonial di sana pada tahun 1892 dari Douala. Pada tahun 1914, Jerman telah membangun kontrol baik secara langsung atau melalui pemimpin lokal hingga ke pedalaman wilayah yang sekarang diklaim oleh Ambazonia, menaklukkan komunitas seperti Nkambe dan mendirikan benteng garnisun di Bamenda pada tahun 1912. Namun, banyak kota dan desa di pedalaman tidak menemui tentara pemerintahan Jerman dan mungkin hanya melihat tentara Jerman beberapa kali. Pemerintah Jerman berfokus pada pembangunan perkebunan untuk tanaman komersial, dan meningkatkan infrastruktur transportasi dan komunikasi untuk membawa produk dan sumber daya alam dengan cepat ke pelabuhan dan kemudian ke Eropa. Medan yang kasar di garis Kamerun dan kurangnya sungai yang dapat dilayari di sebagian besar interior wilayah yang diklaim oleh Ambazonia membatasi aktivitas kolonial di luar wilayah pesisir. Periode kolonial Inggris (1914–1961)Pada tahun 1914, saat Perang Dunia I dimulai, pasukan Inggris dari Nigeria Kolonial dan pasukan Prancis dari Afrika Khatulistiwa Prancis dan Gabon menyerang Kamerun Jerman. Superioritas angkatan laut Sekutu memungkinkan pengepungan pesisir Kamerun dan memblok pengiriman tentara atau pasokan untuk Jerman. Pada awal 1916, Jerman terakhir mundur dari Kamerun ke Guinea Spanyol yang netral. Pada tahun 1919, Jerman menandatangani Perjanjian Versailles, dan secara resmi menyerahkan koloninya kepada Sekutu. Beberapa minggu kemudian, Inggris dan Prancis mengeluarkan pernyataan yang dikenal sebagai Deklarasi Simon-Milner, yang menggambarkan perbatasan antara Kamerun Inggris dan Kamerun Prancis.[12] Batas ini diakui secara internasional pada tahun 1922 dan Inggris dan Prancis diberi kendali atas wilayah mereka masing-masing sebagai Mandat Liga Bangsa-Bangsa.[13] Peraturan administrasi Kamerun Inggris, 1924, membagi Kamerun Inggris menjadi Kamerun Utara (dikelola sebagai bagian dari Nigeria Utara) dan Kamerun Selatan (dikelola sebagai bagian dari Nigeria Timur). Ketika sistem mandat Liga Bangsa-Bangsa diubah menjadi sistem perwalian PBB pada tahun 1946, pengaturan ini kembali diatur dalam Order-in-Council tanggal 2 Agustus 1946 yang mengatur administrasi Protektorat Nigeria dan Kamerun di bawah mandat Inggris.[14] Pada tahun 1953, perwakilan Kamerun Selatan di Legislatif Nigeria Timur menuntut pemerintah daerah yang terpisah untuk Kamerun Selatan dengan kursi di Buea. Di bawah Konstitusi Lyttleton Nigeria pada tahun 1954, Kamerun Selatan memperoleh otonomi terbatas sebagai Daerah Kuasi dalam Federasi Nigeria dengan E.M.L. Endeley muncul sebagai pemimpin Quasi-Region of Southern Kamerun, dengan gelar resminya sebagai Leader of Government Business.[15] Pada tahun 1957, Resolusi 1064 (XI) Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 26 Februari 1957 dan 1207 (XII) tanggal 13 Desember 1957 meminta Otoritas Pengelola untuk mempercepat pengaturan wilayah Perwalian untuk mencapai pemerintahan sendiri atau kemerdekaan. Pada tahun 1958, Kamerun Selatan memperoleh status wilayah otonomi penuh Federasi Nigeria dan gelar resmi Endeley diubah menjadi Premier.[16] Terlepas dari seruan para pemimpin Kamerun Selatan untuk kemerdekaan penuh sebagai negara yang terpisah, resolusi PBB 1350 (XIII) tanggal 13 Maret 1959 dan 1352 (XIV) tanggal 16 Oktober 1959 menyerukan referendum di Kamerun Selatan dan Kamerun Utara dengan dua alternatif untuk mengakhiri perwalian: bergabung dengan Nigeria atau bergabung dengan Kamerun.[17] Kemerdekaan dan Referendum (1961)Meskipun ada seruan dari para pemimpin Kamerun Selatan untuk kemerdekaan penuh, resolusi PBB 1350 (XIII) tanggal 13 Maret 1959 dan 1352 (XIV) tanggal 16 Oktober 1959 meminta Inggris, Otoritas Penyelenggara untuk mengatur referendum terpisah di Kamerun Selatan dan Kamerun Utara di bawah pengawasan PBB berdasarkan dua 'alternatif' berikut: kemerdekaan dengan bergabung dengan Nigeria atau bergabung dengan Kamerun.[17] Dua laporan oleh ekonom Inggris, Laporan Phillipson pada tahun 1959 dan Laporan Berrill pada tahun 1960 keduanya menyimpulkan bahwa Kamerun Selatan tidak akan dapat terus membiayai pembangunan dan pertumbuhan sebagai negara merdeka.[18] Perserikatan Bangsa-Bangsa memulai diskusi dengan Kamerun Prancis tentang persyaratan asosiasi Kamerun Selatan jika hasil referendum mendukung federasi kedua negara.[19][20][21] Sementara banyak orang Kamerun Selatan membenci kurangnya pilihan pro kemerdekaan. Kekecewaan dengan pemerintah Nigeria yang telah mendorong otonomi lebih lanjut dan harapan bahwa federasi yang lebih setara dapat dimiliki dengan Kamerun menyebabkan mayoritas mendukung "penyatuan kembali" dengan Kamerun.[22] Pada tanggal 21 April 1961, resolusi PBB 1608 (XV) menetapkan 1 Oktober 1961 sebagai tanggal kemerdekaan Kamerun Selatan.[23] Pada bulan Juli 1961, delegasi Kamerun Selatan dan Republik Kamerun Prancis bertemu di Foumban, sebuah kota di Kamerun Prancis dekat perbatasan dengan Kamerun Selatan. Delegasi Kamerun Selatan tidak memiliki banyak pengaruh karena kepentingan PBB dan fokus utama kolonial adalah untuk mempercepat penyatuan daripada menjamin otonomi Kamerun Selatan.[24] Hasilnya adalah sebuah konstitusi yang menyediakan struktur federal dengan dua negara bagian,[25] Kamerun Timur (bekas Kamerun Prancis) dan Kamerun Barat (bekas Kamerun Selatan), tetapi yang memberikan kekuasaan atas isu-isu paling kritis kepada pemerintah nasional (didominasi oleh Francophone). Salah satu konsesi penting adalah mengharuskan undang-undang yang berlaku untuk kedua negara bagian hanya dapat diadopsi oleh majelis federal jika mayoritas deputi di kedua negara bagian federasi memilih mereka.[24] Republik Federal Kamerun dan Konstitusi 1972 (1961–1972)Pada tahun 1961, pemerintah Kamerun, dengan bantuan berkelanjutan dari Prancis, berperang melawan sisa-sisa pejuang pro-kemerdekaan yang masih tidak puas dengan pengaruh Prancis yang berlanjut di Kamerun atau berharap untuk menggulingkan pemerintah pro-Barat dan melaksanakan program Marxis. Presiden Ahmadou Ahidjo menggunakan perang yang terus berlanjut dan ketidakjelasan banyak ketentuan Konstitusi, untuk mengkonsolidasikan kekuasaan. Pada tahun 1962, ia menangkap dan memenjarakan sejumlah lawan politik (Francophone) terkemuka dengan tuduhan subversi dan mengkritik negara. Pada tahun 1966, ia berhasil melarang partai politik oposisi, mendirikan negara satu partai. Selama waktu ini, para pemimpin Kamerun Barat kritis terhadap upaya untuk mengurangi otonomi mereka melalui perluasan penegasan otoritas federal oleh administrator berbahasa Prancis di Kamerun Barat. Anglophones juga membenci pengenalan sekolah bilingual di Kamerun Barat sebagai upaya untuk mengasimilasi Anglophones.[26] Setelah mencapai kendali penuh atas Kamerun Timur, pada musim semi 1972 presiden Ahidjo menargetkan kekuatan otonom Kamerun Barat. Menempatkan kesalahan atas keterbelakangan Kamerun dan kebijakan publik yang diterapkan dengan buruk pada struktur federal serta dengan alasan bahwa mengelola pemerintah yang terpisah di negara miskin terlalu mahal, ia mengumumkan referendum tentang konstitusi baru, yang menyingkirkan struktur federal demi kesatuan negara dan memberikan kekuasaan lebih kepada Presiden. Referendum diadakan pada tanggal 20 Mei 1972 dan di negara satu partai, hasilnya tidak pernah diragukan. Hasil resmi mengklaim 98,2% jumlah pemilih dan 99,99% suara mendukung konstitusi baru.[27] Nasionalis Ambazonian telah mengklaim bahwa referendum itu tidak bebas dan adil.[28] Mereka juga berpendapat bahwa konstitusi baru tidak sah secara hukum karena perubahan Konstitusi 1961 memerlukan persetujuan dari mayoritas anggota Majelis Federal (legislatif) dan dari masing-masing dari dua negara bagian, dan bahwa konstitusi baru tidak pernah disetujui oleh mayoritas legislator Kamerun Barat.[24] Seiring dengan konstitusi baru, nama negara diubah dari 'Republik Federal Kamerun' menjadi 'Republik Bersatu Kamerun'. Kamerun Barat dibagi menjadi dua wilayah administratif, yang bertahan hingga saat ini: wilayah "Barat Laut" dan "Barat Selatan".[29] Negara kesatuan dan ketidakpuasan Anglophone yang berkembang (1972–2015)Pada tahun 1975, pemerintah menghapus salah satu dari dua bintang dari bendera (simbol lain dari federasi antara dua negara bagian) dan menciptakan bendera baru dengan satu bintang.[30] Pada tanggal 6 November 1982, Ahidjo mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan kepada Paul Biya yang melanjutkan kebijakan Ahidjo. Biya mengkonsolidasikan kekuasaanya setelah berselisih dengan Ahidjo dan upaya kudeta oleh pendukung Ahidjo,[31] Pada bulan Februari 1984, Biya mengubah nama resmi negara dari Republik Bersatu Kamerun (nama yang diadopsi setelah penyatuan dengan Kamerun Selatan) kembali menjadi Republik Kamerun.[32] Biya menyatakan bahwa dia telah mengambil langkah untuk menegaskan kedewasaan politik Kamerun dan untuk menunjukkan bahwa orang-orang telah mengatasi hambatan bahasa dan budaya mereka, tetapi banyak orang di Kamerun Selatan melihatnya sebagai langkah lain untuk menghapus budaya dan sejarah mereka yang terpisah. Sejak pertengahan 1980-an, perpecahan antara elit Kamerun Selatan dan pemerintah pusat yang didominasi bahasa Prancis menjadi semakin jelas. Eksklusi politik, eksploitasi ekonomi dan asimilasi budaya dikritik semakin terbuka. Pada awal 1985, pengacara Anglophone dan Presiden Asosiasi Pengacara Kamerun Fon Gorji Dinka mengedarkan sejumlah esai dan pamflet yang menyatakan bahwa pemerintah Biya tidak konstitusional dan menyerukan Republik Ambazonia yang merdeka. Gorji Dinka menjadi kepala pertama Dewan Restorasi Ambazonia. Pada Mei 1985, dia ditangkap, dipenjara, dan kemudian dimasukkan ke dalam tahanan rumah selama tiga tahun sebelum melarikan diri pertama ke Nigeria dan kemudian ke Inggris.[33] Pada tahun 1990, partai politik oposisi disahkan dan John Ngu Foncha, Anglophone terkemuka di pemerintahan Kamerun, mengundurkan diri dari partai yang memerintah dan merangkum banyak ketidak puasan dengan sikap pemerintah pusat terhadap wilayah Anglophone dalam surat pengunduran dirinya di depan umum:
Pada tahun 1993, Konferensi All Anglophone berlangsung di Buea menyatukan semua warga Kamerun Selatan yang menyerukan pemulihan sistem federal.[34] Pada Konferensi All Anglophone kedua yang diadakan di Bamenda, seruan kepada pemerintah Kamerun untuk menerima kembalinya federasi dua negara bagian ditegaskan, dan beberapa suara yang secara eksplisit menyerukan pemisahan diri. Pada tahun 1995, atas keberatan beberapa orang Kamerun Anglophone, Kamerun diterima di Persemakmuran Bangsa-Bangsa yang mengakui sejarah Kamerun Selatan sebagai koloni Inggris. Selama periode ini berbagai faksi kemerdekaan dan federal bergabung untuk membentuk Dewan Nasional Kamerun Selatan, sebuah kelompok penekan yang melakukan inisiatif di PBB, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Rakyat Afrika, Persemakmuran, dan dengan kedutaan besar nasional untuk menarik perhatian ke wilayah dan masalah Anglophone di Kamerun. Pada tahun 2005, Kamerun Selatan/Republik Ambazonia menjadi anggota Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO) dan diperbarui pada tahun 2018.[35][36] Karena pelecehan dan penangkapan oleh pemerintah, banyak pemimpin SCNC dan organisasi lainnya meninggalkan negara tersebut.[22] Akibat meningkatnya tekanan untuk otonomi atau kemerdekaan sehingga mengurangi kepercayaan dan keterlibatan antara pemerintah dan minoritas Anglophone, pada tahun 2017 hanya ada satu Anglophone di antara 36 menteri yang memiliki portofolio di pemerintahan Kamerun.[24] Protes dan perang saudara (2016–sekarang)Pada bulan November 2016, sejumlah protes dan pemogokan besar diselenggarakan. Awalnya oleh pengacara, siswa, dan guru Anglophone yang menganggap semakin terpinggirkannya institusi Inggris dan Anglophone dalam hukum dan pendidikan.[37] Beberapa demonstrasi dibubarkan dengan kekerasan oleh pasukan keamanan, yang menyebabkan bentrokan antara demonstran dan polisi yang menewaskan beberapa orang. Kekerasan oleh kedua belah pihak merusak negosiasi pada awal 2017, yang berantakan tanpa kesepakatan.[38] Kekerasan tersebut menyebabkan demonstrasi tambahan, pemogokan umum (disebut "lockdown"), dan tindakan keras lebih lanjut oleh pemerintah hingga awal 2017, termasuk pelarangan organisasi masyarakat sipil, pemutusan sambungan telepon dan internet dari Januari hingga April,[39] dan penangkapan demonstran.[40] Meskipun pemerintah membentuk Komisi untuk fokus pada keluhan Anglophone dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah kesetaraan bahasa di pengadilan dan sekolah, namun karena ketidak percayaan yang terus berlanjut dan tanggapan keras terhadap protes, mencegah penyelesaian konflik yang signifikan. Pada akhir tahun 2017, dengan upaya dialog yang hampir mati dan kekerasan yang terus berlanjut di kedua belah pihak, gerakan nasionalis Ambazonian terkemuka mengorganisir organisasi payung Front Persatuan Konsorsium Ambazonia Selatan Kamerun (SCACUF). SCACUF secara sepihak mendeklarasikan kemerdekaan wilayah tersebut sebagai Ambazonia pada 1 Oktober, hari peringatan kemerdekaan Kamerun Selatan dari Inggris. SCACUF berusaha untuk mentransisikan dirinya menjadi pemerintahan sementara dengan pemimpinnya, Sisiku Ayuk Tabe Julius, sebagai presiden sementara.[41] Setidaknya 17 orang tewas dalam protes setelah deklarasi kemerdekaan, sementara empat belas tentara Kamerun tewas dalam serangan yang diklaim oleh Pasukan Pertahanan Ambazonia.[42] Pemerintah Kamerun menyatakan bahwa deklarasi tersebut tidak sah secara hukum[43] dan pada 30 November 2017, Presiden Kamerun memberi peringatan keras terhadap serangan separatis dengan mengerahkan polisi dan tentara.[44] Pengerahan militer besar-besaran disertai dengan jam malam dan evakuasi paksa seluruh desa.[45] Akibatnya untuk sementara mengakhiri harapan melanjutkan dialog dan memulai perang gerilya penuh di Kamerun Selatan. Beberapa faksi bersenjata yang berbeda telah muncul seperti Naga Merah, Macan, ARA, Tujuh Kata, ABL, dengan berbagai tingkat koordinasi dan kesetiaan kepada para pemimpin politik Ambazon.[46] Dalam praktiknya, milisi pro-kemerdekaan sebagian besar beroperasi secara otonom dari para pemimpin politik, yang sebagian besar berada di pengasingan.[47] Pada tanggal 5 Januari 2018, anggota Pemerintah Sementara Ambazonia di pengasingan di Abuja, Nigeria, termasuk Presiden Sisiku Julius Ayuk Tabe, ditangkap dan dideportasi ke Kamerun dan dimasukkan dalam tahanan pasukan pemerintah untuk menghadapi tuntutan pidana.[48] Pada tanggal 4 Februari 2018, diumumkan bahwa pengkhotbah yang berbasis di AS Dr. Samuel Ikome Sako akan menjadi Presiden Sementara Republik Federal Ambazonia, menggantikan Ayuk Tabe untuk sementara.[49] Namun, meskipun menerima hukuman seumur hidup atas tuduhan terorisme dari pengadilan Kamerun,[50] pada 2 Mei 2019, Ayuk Tabe menyatakan dari penjara pembubaran kabinet sementara Sako dan pemulihan kabinetnya sendiri.[51] Sako menolak, yang mengarah ke krisis kepemimpinan Ambazonia 2019. Semakin meningkatnya kekerasan, dunia internasional berupaya untuk menyelesaikan krisis tersebut. Pada 13 Mei 2019, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadakan pertemuan informal untuk membahas Krisis Anglophone.[52][53] Pembicaraan damai yang dimediasi oleh pemerintah Swiss telah gagal berkali-kali, terutama karena perpecahan faksi dan kurangnya kontrol nyata atas milisi oleh para pemimpin separatis yang membuat langkah-langkah awal menjadi sulit.[54] Perang tersebut ditandai dengan serangan gerilya oleh milisi separatis terhadap pasukan keamanan dan terhadap warga sipil yang dicurigai bekerja sama atau sekadar gagal mematuhi boikot sekolah dan pemilu yang dinyatakan milisi atau "penguncian" yang mencegah semua perjalanan dan aktivitas. Banyak milisi telah berusaha untuk memberlakukan pemogokan sekolah total sejak 2017 karena kekhawatiran akan kurangnya guru dan kurikulum Anglophone. Guru dan siswa telah diculik dan dibunuh dan banyak sekolah dan peralatan sekolah dibakar sementara banyak anak tidak bersekolah sejak krisis dimulai. Lainnya menuduh bahwa beberapa milisi telah terlibat dalam serangan uang tebusan terhadap warga sipil untuk mendanai kegiatan lanjutan mereka. Sementara itu, aparat pemerintah telah membakar seluruh desa yang diduga menampung separatis, menghilangkan dan mengeksekusi warga sipil tanpa proses hukum, dan menyiksa para tahanan. Laporan pembunuhan tanpa pandang bulu, penyiksaan, dan pemerkosaan dan kekerasan berbasis gender lainnya oleh kedua belah pihak telah banyak dilaporkan.[55][40][56] Pemerintah Amerika Serikat dan Jerman telah menyatakan keprihatinan atas pelanggaran hak asasi manusia dan mengurangi atau membatalkan kerja sama militer dengan Kamerun atas pelanggaran yang dilaporkan.[57] Prancis, Inggris, serta Parlemen Eropa juga telah menyatakan keprihatinan dan mendorong negosiasi di antara para pihak untuk menyelesaikan krisis.[5] MiliterAngkatan Pertahanan Ambazonia adalah angkatan bersenjata de facto dari negara Ambazonia. GeografiAmbazonia dicirikan oleh dua lanskap utama. Di sebelah barat menuju perbatasan ke Nigeria dapat ditemukan dataran rendah cekungan Mamfe. Daerah ini ditutupi dengan hutan hujan lebat. Ada kawasan lindung seperti Taman Nasional Korup[58] atau Taman Nasional Takamanda. Lebih jauh ke timur menuju Kamerun serangkaian gunung berapi seperti Gunung Manengouba atau Kupe dapat ditemukan. Mereka membentang dari Selatan di sepanjang perbatasan Kamerun ke Utara di mana mereka mengarah ke dataran tinggi Bamenda. Sedikit terisolasi dari gunung berapi lainnya adalah Gunung Fako (Gunung Kamerun) di dekat Ujung Selatan Ambazonia, yang memiliki tinggi 4.040 m (13.250 kaki) menjadikannya gunung tertinggi di Afrika Barat dan tertinggi ke-28 di Afrika secara keseluruhan. IklimKarena sebagian besar Ambazonia berada di Dataran Tinggi Barat, mereka memiliki iklim yang agak lebih dingin daripada daerah sekitarnya, Kamerun dan Nigeria. Dataran rendah di sepanjang pantai dan lembah sungai Manyu, yang keduanya merupakan bagian dari Palung Benue, beriklim lebih hangat. Sebagian besar Ambazonia memiliki iklim muson tropis, dengan dataran pantai yang memiliki beberapa tempat paling hujan di dunia (seperti desa Debundscha).[59] Bagian timur laut Wilayah Barat Laut (termasuk kota Bamenda) memiliki iklim sabana tropis, dengan musim hujan dan kemarau yang berbeda. Di ketinggian yang lebih tinggi, seperti Massif Oku dan Gunung Kamerun, terdapat kantong-kantong yang suhunya cukup turun untuk diklasifikasikan sebagai iklim Mediterania, musim panas yang hangat. Puncak Gunung Kamerun memiliki iklim kutub varian tundra, unik di Afrika Barat dan sangat langka begitu dekat dengan Khatulistiwa.[60] Struktur administrasiAmbazonia dibagi dalam 13 kabupaten [61] dan 61 Wilayah Pemerintah Lokal (LGA).
Referensi
Pranala luar
|