Allah jang Palsoe

Allah jang Palsoe
PenulisKwee Tek Hoay
Tokoh
  • Tan Kioe Lie
  • Tan Kioe Gie
Pementasan perdana1919 (1919)
Bahasa asliMelayu Rendah

Allah jang Palsoe ([aˈlah ˈjaŋ palˈsu]; EYD: Allah yang Palsu) adalah drama panggung enam bagian tahun 1919 karya penulis etnis Tionghoa Kwee Tek Hoay. Lakon berbahasa Melayu ini berkisah tentang dua bersaudara, satu taat dengan moral dan kehormatan pribadinya, satu lagi mencintai harta dan mengutamakan keuntungan pribadi. Selama lebih dari satu dasawarsa, keduanya akhirnya tahu bahwa uang (Allah yang palsu) bukanlah jalan menuju kebahagiaan. Bagian lakon yang lain menunjukkan identitas nasionalis Cina dan penggambaran sifat-sifat negatif wanita.

Lakon panggung pertama Kwee Tek Hoay, Allah jang Palsoe, ditulis sebagai tanggapan realis terhadap teater bangsawan dan stambul. Pertunjukan perdananya sukses secara komersial, namun versi terbitannya merugi. Pada tahun 1930, meski dianggap sulit, lakon ini dipentaskan oleh sejumlah grup sandiwara Tionghoa. Allah jang Palsoe juga menginspirasi dua karya terakhir Kwee Tek Hoay, lakon panggung Korbannja Kong-Ek (1926) dan novel Boenga Roos dari Tjikembang (1927). Tahun 2006, naskahnya diterbitkan kembali dengan ejaan baru oleh Yayasan Lontar.

Alur

Kakak beradik Tan Kioe Lie dan Tan Kioe Gie bersiap-siap meninggalkan rumah mereka di Cicuruk dan bekerja di kota: Lie hendak pergi ke Bandung dan bekerja di sebuah perusahaan di sana, sedangkan Gie pergi ke Batavia (sekarang Jakarta) dan menjadi penata cetak. Ketika mereka mengepak barang, tunangan Kioe Lie, Gouw Hap Nio, bertamu. Ia meninggalkan makanan ringan untuk ayahnya, petani miskin Tan Lauw Pe, sebelum pulang. Ayahnya berjanji mengasuh Pe ketika kedua putranya sedang merantau. Lie dan Gie sudah bersiap-siap, berpisah dengan ayahnya, dan berangkat ke stasiun kereta api.

Tiga tahun kemudian, Lie mengunjungi Gie di rumahnya di Batavia. Gie menjadi wakil kepala editor surat kabar Kamadjoean dan dikenal sebagai dermawan di seluruh kota. Sementara itu, Lie menjadi manajer sebuah pabrik tapioka, tetapi berencana meninggalkan bosnya Lie Tjin Tjaij dan pindah ke pesaingnya, Tjio Tam Bing, yang menawarkan Lie dua kali lipat gajinya. Gie meminta Lie mempertimbangkan ulang atau setidaknya berusaha tidak merebut semua pelanggan Tjaij. Lie sudah kukuh dengan tujuannya sambil mengatakan bahwa Tuhan membantu siapapun yang berusaha. Sebelum Lie keluar makan siang dengan Bing, keduanya membahas pernikahan. Karena Lie tidak berencana menikahi Hap Nio secepatnya, Gie meminta izin menikah duluan. Meski Lie tidak suka dengan tambatan hati Gie, seorang gadis yatim miskin bernama Oeij Ijan Nio, ia merestui Gie.

Empat tahun berlalu dan Gie menjadi kepala editor Kamadjoean dan menikahi Ijan Nio. Ia khawatir dengan orientasi politik baru pemiliknya. Alih-alih pro-Cina seperti sebelumnya, sang pemilik, Oeij Tjoan Siat, bertujuan menjadikan koran ini pro-Hindia Belanda, sikap yang dianggap Gie mengkhianati etnis Tionghoa. Ketika Siat datang ke rumah Gie untuk memintanya mengikuti sikap politiknya yang baru, dipengaruhi dana bulanan sebesar 2.000 gulden dari partai politik anonim, Gie menolak. Ia justru mengundurkan diri dari kantor berita ini.

Selama minggu berikutnya, keluarga Gie menjual barang-barang mereka dan bersiap pulang ke Cicuruk. Kedatangannya tertunda oleh kunjungan dari Lie yang mengatakan akan menikahi janda Bing, Tan Houw Nio. Bing sudah meninggal setahun sebelumnya. Gie terkejut, karena janda tersebut memiliki marga yang sama[a] dan dua tahun sebelumnya Lie berjanji kepada ayahnya di pembaringan akan menikahi Hap Nio. Setelah bertikai panjang, Lie pulang dan mengatakan tidak lagi menganggap Gie sebagai saudaranya.

Lima tahun kemudian, pernikahan Lie dan Houw Nio memburuk. Akibat investasi yang jelek (beberapa di antaranya didanai oleh uang hasil penggelapan), diperparah oleh hobi judi Houw Nio dan sifat selingkuh Lie, mereka kehilangan banyak kekayaannya. Lie mencoba meyakinkan Houw Nio untuk menjual perhiasannya agar bisa membayar uang yang sudah ia curi. Houw Nio menolak dan menyuruhnya untuk menjual rumah dan perhiasan yang ia belikan untuk selingkuhannya sebelum pulang ke rumah keluarganya. Sesaat kemudian, teman Lie Tan Tiang An datang untuk memberitahu bahwa Lie akan ditahan polisi jika tidak meninggalkan negara ini secepatnya. Mereka bersama-sama menyewa mobil dan Lie berangkat ke pelabuhan di Batavia.

Dalam perjalanannya melewati Cicuruk, mobil Lie mogok. Ketika si pengemudi berusaha memperbaikinya, Lie berlindung di rumah terdekat dan mengetahui dari si pembantu bahwa rumah tersebut adalah milik Gie. Gie dan Lauw Nio telah membangun pertanian, taman, dan kebun luas dari hasil kerja keras mereka. Pendapatannya lebih dari cukup untuk memungkinkan hidup nyaman. Keduanya, yang terus menjadi dermawan (filantropis), berteman dengan tokoh-tokoh penting di daerah tersebut. Selain itu, Hap Nio sudah menikah dengan pengurus kebun yang tajir. Setelah Gie dan teman-temannya pulang dari bermain tenis, mereka menemukan Lie bersembunyi di bawah piano karena malu dilihat orang. Lie mengaku salah karena rakus. Ketika seorang polisi datang untuk menangkapnya, Lie mengaku telah meracuni Bing, lalu berlari ke luar dan menembak dirinya sendiri.

Penulisan

Gaya Allah jang Palsoe terinspirasi oleh realisme Henrik Ibsen.

Allah jang Palsoe ditulis oleh jurnalis Kwee Tek Hoay. Ia lahir dari pasangan pedagang tekstil Tionghoa dan istri pribuminya.[1] Ia dibesarkan di budaya dan sekolah Cina yang berfokus pada modernitas. Pada saat pembuatan novelnya tersebut, Kwee Tek Hoay adalah pendukung aktif teologi Buddha. Ia juga sering menulis tentang pribumi Indonesia[2] dan merupakan pengamat sosial yang baik.[3] Ia sering membaca buku berbahasa Belanda, Inggris, dan Melayu, dan terinspirasi oleh buku-buku tersebut setelah menjadi penulis.[4]

Allah jang Palsoe adalah lakon panggung pertama besutan Kwee Tek Hoay[5] sekaligus drama panggung pertama berbahasa Melayu karya penulis Tionghoa menurut sejarawan Nio Joe Lan.[6] Alurnya didasarkan pada cerita pendek "The False Gods" karya E. Phillips Oppenheim.[7] Karya enam bagian ini ditulis dalam bahasa Melayu Pasar, lingua franca Hindia Belanda waktu itu. Sumardjo memuji pemakaian bahasa ini oleh Kwee Tek Hoay karena tertata dengan rapi.[8]

Ketika Allah jang Palsoe ditulis, pertunjukan panggung sangat dipengaruhi oralitas. Teater-teater kontemporer seperti bangsawan dan stambul tidak memiliki naskah dan umumnya memiliki latar dan alur yang tidak realistis.[9] Kwee Tek Hoay sangat tidak setuju dengan teknik semacam itu dan berpendapat "lebih baik menuturkan keadaan yang sebenarnya daripada menciptakan yang ada dalam angan-angan, meskipun lebih menyenangkan dan memuaskan para pembaca atau penonton tapi palsu dan dusta, bertentangan dengan keadaan yang benar."[b][10] Setelah mencerca pementasan lakon kontemporer yang hanya mengambil cerita-cerita yang sudah ada, Kwee Tek Hoay mengungkapkan harapannya bahwa suatu saat jenis teater Melayu Cina yang unik dapat dikembangkan.[11]

Dalam pengantar dramanya tahun 1926, Korbannja Kong-Ek, Kwee Tek Hoay menulis bahwa ia terinspirasi oleh penulis lakon realis Norwegia Henrik Ibsen. Ia membaca dan membaca ulang karya-karya Ibsen. Kritikus sastra indonesia Sapardi Djoko Damono menemukan tanda-tanda pengaruh Ibsen di Allah jang Palsoe. Ia membandingkan pengarahan panggung Hedda Gabler dan Allah jang Palsoe dan menemukan kemiripan instruksi rinci di kedua drama tersebut.[10]

Tema

Judul lakon ini mengacu pada uang[12] dengan pesan didaktis tersirat bahwa uang bukanlah segalanya di dunia dan keinginan yang tidak terpuaskan akan mengubah seseorang menjadi "budak uang".[13] Sepanjang dialognya, uang disebut sebagai Tuhan (Allah) yang palsu. Lie menjadi tokoh yang mendewakan uang sampai-sampai mengabaikan tugasnya dan baru menyadarinya ketika semua sudah terlambat. Gie, meski menjadi orang kaya, tetap tidak menuhankan uang, namun justru menjadi seorang dermawan dan berpegang pada nilai moral. Damono menulis bahwa permasalahan seperti ini lazim ditemukan di kalangan etnis Tionghoa waktu itu di Hindia Belanda dan tema ini akan membuat lakon ini digandrungi organisasi-organisasi sosial.[14]

Kritikus sastra Indonesia Jakob Sumardjo juga menyebut uang sebagai masalah utama Allah jang Palsoe. Ia menulis bahwa lakon ini menunjukkan seseorang dapat melakukan segalanya, bahkan sampai mengorbankan nilai-nilainya, untuk mendapatkan uang. Ia menulis bahwa kondisi semacam ini dapat ditemukan di setiap zaman[13] dan menganggap pesan Kwee Tek Hoay terlalu didasarkan pada moralitas alih-alih pertimbangan faktor sosial dan manusia. Akibatnya, pembaca digiring untuk memahami bahwa cinta uang adalah penyakit kemanusiaan yang harus diatasi: berperilakulah seperti Tan Kioe Gie, bukan Tan Kioe Lie.[15] John Kwee dari University of Auckland, mengutip mundurnya Gie dari Kamadjoean, berpendapat bahwa ini adalah tantangan yang ditujukan pada pers Melayu Cina yang semakin bersifat komersial.[11]

Pembaca lainnya lebih beragam. Sinolog Thomas Rieger mengangkat masalah identitas nasional Cina sambil menunjuk Gie sebagai pemuda yang "menguasai semua nilai Konfusianis", meninggalkan pekerjaannya alih-alih menunjukkan sikap pemaaf terhadap pemerintah kolonial Belanda hingga mengecewakan teman-teman Tionghoanya.[16] Sinolog lainnya, Myra Sidharta, melihat pandangan Kwee Tek Hoay terhadap wanita. Sidharta menulis bahwa penggambaran wanita ideal oleh Kwee tidak sepenuhnya dikembangkan di Allah jang Palsoe, namun ia menganggap Houw Nio sebagai gambaran bagaimana wanita tidak bersikap sepantasnya: egois dan suka berjudi.[17]

Rilis dan tanggapan

Iklan lakon yang disertakan dalam cetakan Boenga Roos dari Tjikembang tahun 1930

Walaupun awalnya dikritik karena tidak ada kostum yang menarik dan menekankan kostum sehari-hari, lakon ini mendapat tanggapan baik.[18] Kwee Tek Hoay mencatat ada satu pertunjukan penggalangan dana untuk Tiong Hoa Hak Tong yang berhasil mengumpulkan 10.000 gulden. Pertunjukan penggalangan dana sering dilakukan di Hindia Belanda tahun 1910-an, terutama di kalangan masyarakat Tionghoa.[18] Setelah pertunjukan usai, Kwee Tek Hoay mendapat banyak surat penggemar yang memaksanya untuk terus berkarya.[19] Grup sandiwara lain diizinkan mementaskan drama ini dan keuntungannya diteruskan ke cabang Tiong Hoa Hwe Koan di Bogor.[20]

Naskahnya dirilis dalam bentuk buku oleh penerbit asal Batavia Tjiong Koen Bie pada pertengahan 1919.[21] Kwee Tek Hoay membiayai pencetakannya sendiri sebanyak 1.000 kopi dan rugi besar.[7] Lakon panggung ini diterbitkan kembali tahun 2006 dengan Ejaan yang Disempurnakan sebagai bagian dari volume pertama antologi drama panggung Indonesia oleh Yayasan Lontar.[22] Pada tahun 1926, Kwee Tek Hoay menulis bahwa setelah Allah jang Palsoe, kualitas pementasan panggung di Hindia Belanda semakin bagus.[23] Sumardjo menulis bahwa meski Allah jang Palsoe diterbitkan tujuh tahun sebelum Bebarsari karya Rustam Effendi (umumnya dianggap sebagai drama panggung kanonik pertama Indonesia), tulisan Kwee Tek Hoay memiliki semua unsur terhebat dalam suatu karya sastra.[24]

Walaupun menurut sebuah iklan Allah jang Palsoe telah dipentaskan puluhan kali pada tahun 1930[5] dan populer di kalangan grup teater Cina,[7] drama ini dianggap sulit dipentaskan. Kwee Tek Hoay menganggapnya sulit dipentaskan grup pribumi. Ketika grup teater Union Dalia Opera meminta izin untuk mementaskannya, ia malah menulis cerita baru untuk mereka. Cerita baru ini kelak menjadi novel terlaris Kwee Tek Hoay, Boenga Roos dari Tjikembang.[25] Karya Kwee Tek Hoay lainnya, Korbannja Kong-Ek, terinspirasi oleh surat seorang penonton yang meminta lakon yang lebih nyaman dan didaktis secara moral.[26]

Catatan

  1. ^ Dalam tradisi Cina, hubungan semacam itu dianggap hubungan sedarah (inses) (Sidharta 1989, hlm. 59).
  2. ^ Teks asli: "... lebih baek tuturkan kaadaan yang sabetulnya, daripada ciptaken yang ada dalem angen-angen, yang meskipun ada lebih menyenangken dan mempuasken pada pembaca atau penonton, tapi palsu dan justa, bertentangan dengan kaadaan yang benar."

Referensi

  1. ^ Sutedja-Liem 2007, hlm. 273.
  2. ^ JCG, Kwee Tek Hoay.
  3. ^ The Jakarta Post 2000, Chinese-Indonesian writers.
  4. ^ Sidharta 1996, hlm. 333–334.
  5. ^ a b Kwee 1930, hlm. 99.
  6. ^ Nio 1962, hlm. 151.
  7. ^ a b c Sumardjo 2004, hlm. 140.
  8. ^ Sumardjo 2004, hlm. 142.
  9. ^ Damono 2006, hlm. xxii.
  10. ^ a b Damono 2006, hlm. xvii, xvix.
  11. ^ a b Kwee 1989, hlm. 167.
  12. ^ Damono 2006, hlm. xxi.
  13. ^ a b Sumardjo 2004, hlm. 143.
  14. ^ Damono 2006, hlm. xxi–xxii.
  15. ^ Sumardjo 2004, hlm. 143–144.
  16. ^ Rieger 1996, hlm. 161.
  17. ^ Sidharta 1989, hlm. 59.
  18. ^ a b Damono 2006, hlm. xviii.
  19. ^ Kwee 2002, hlm. 2.
  20. ^ Kwee 1980, hlm. 89.
  21. ^ Kwee 1930, hlm. 99; Lontar Foundation 2006, hlm. 95
  22. ^ Lontar Foundation 2006, hlm. 95.
  23. ^ Kwee 2002, hlm. 9.
  24. ^ Sumardjo 2004, hlm. 144.
  25. ^ Kwee 2001, hlm. 298–299.
  26. ^ Kwee 2002, hlm. 4.

Kutipan

  • "Chinese-Indonesian writers told tales of life around them". The Jakarta Post. 26 Mei 2000. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-03-11. Diakses tanggal 14 Maret 2012. 
  • Damono, Sapardi Djoko (2006). "Sebermula Adalah Realisme". Dalam Yayasan Lontar. Antologi Drama Indonesia 1895–1930 (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Yayasan Lontar. hlm. xvii–xxix. ISBN 978-979-99858-2-8. 
  • Yayasan Lontar, ed. (2006). Antologi Drama Indonesia 1895–1930 (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Yayasan Lontar. ISBN 978-979-99858-2-8. 
  • Kwee, John (1980). "Kwee Tek Hoay: A Productive Chinese Writer of Java (1880–1952)". Archipel. 19 (19): 81–92. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-01-07. Diakses tanggal 2013-09-12. 
  • Kwee, John (1989). "Kwee Tek Hoay, Sang Dramawan". Dalam Sidharta, Myra. 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Sinar Harapan. hlm. 166–179. ISBN 978-979-416-040-4. 
  • "Kwee Tek Hoay". Encyclopedia of Jakarta (dalam bahasa Indonesia). Pemerintah Kota Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-03-11. Diakses tanggal 11 Maret 2013. 
  • Kwee, Tek Hoay (1930). Boenga Roos dari Tjikembang (dalam bahasa Melayu). Batavia: Panorama. 
  • Kwee, Tek Hoay (2001). "Bunga Roos dari Cikembang". Dalam A.S., Marcus; Benedanto, Pax. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (dalam bahasa Indonesia). 2. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 297–425. ISBN 978-979-9023-45-2. 
  • Kwee, Tek Hoay (2002). "Korbannya Kong-Ek". Dalam A.S., Marcus; Benedanto, Pax. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (dalam bahasa Indonesia). 6. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 1–108. ISBN 978-979-9023-82-7. 
  • Nio, Joe Lan (1962). Sastera Indonesia-Tionghoa (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Gunung Agung. OCLC 3094508. 
  • Rieger, Thomas (1996). "From Huaqiao to Minzu: Constructing New Identities in Indonesia's Peranakan-Chinese Literature". Dalam Littrup, Lisbeth. Identity in Asian Literature. Surrey: Curzon Press. hlm. 151–172. ISBN 978-0-7007-0367-8. 
  • Sidharta, Myra (1989). "Bunga-Bunga di Taman Mustika: Pandangan Kwee Tek Hoay Terhadap Wanita dan Soal-soal Kewanitaan". Dalam Sidharta, Myra. 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Sinar Harapan. hlm. 55–82. ISBN 978-979-416-040-4. 
  • Sidharta, Myra (1996). "Kwee Tek Hoay, Pengarang Serbabisa". Dalam Suryadinata, Leo. Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Grasindo. hlm. 323–348. 
  • Sumardjo, Jakob (2004). Kesusastraan Melayu Rendah (dalam bahasa Indonesia). Yogyakarta: Galang Press. ISBN 978-979-3627-16-8. 
  • Sutedja-Liem, Maya (2007). "De Roos uit Tjikembang". De Njai: Moeder van Alle Volken: 'De Roos uit Tjikembang' en Andere Verhalen (dalam bahasa Belanda). Leiden: KITLV. hlm. 269–342.