Agenda Melayu adalah sebuah konsep dalam perpolitikan Malaysia yang berkaitan erat dengan gagasan Ketuanan Melayu. Meskipun Agenda Melayu tidak begitu kentara dalam diskusi publik selama sebagian besar abad ke-20, gagasan ini kembali mengemuka pada permulaan 2000-an karena penggunaannya dalam wacana beberapa politikus dari Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO), salah satu partai politik besar di Malaysia. Agenda Melayu terkait erat dengan UMNO yang memandang dirinya sebagai penjaga kelompok etnis mayoritas Melayu di Malaysia.[1][2][3]
Pengertian
Menurut seorang akademikus lokal, Agenda Melayu merupakan hak istimewa yang diberikan kepada orang Melayu dan masyarakat pribumi lainnya (secara kolektif disebut sebagai Bumiputra) dalam Konstitusi Malaysia. Agenda Melayu juga termasuk pasal-pasal yang berkaitan dengan raja-raja Melayu dan kepala negara Malaysia, Yang di-Pertuan Agong, lambang-lambang kenegaraan terkait Melayu seperti kedudukan agama Islam sebagai agama negara, reservasi tanah Melayu dan status bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Pasal 153 yang kontroversial, yang memberi orang Melayu beberapa keutamaan dan kuota dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan layanan sipil, juga termasuk dalam Agenda Melayu. Dianggap bahwa orang non-Malaysia diberi kewarganegaraan Malaysia sebagai imbalan atas penerimaan mereka atas Agenda Melayu, dengan kata lain, Agenda Melayu merupakan setengah dari kontrak sosial Malaysia, dengan setengah lainnya adalah pemberian kewarganegaraan kepada non- Melayu.[4][5]
Agenda Melayu memiliki corak lokal di tingkat negara bagian; satu negara bagian menekankan aspek Agenda Melayu yang berbeda dari negara bagian lain. Di Wilayah Federal Kuala Lumpur, kemiskinan perkotaan dan permukiman kumuh menjadi pendorong utama bagi orang-orang UMNO. Di negara bagian yang rural seperti Terengganu, pengentasan kemiskinan dan agama mendapatkan sorotan.