Abi Kusno Nachran (30 Maret 1941 – 24 Juli 2006) atau Bang Ono adalah seorang jurnalis dan politikus dari Kalimantan Tengah. Ia terpilih sebagai anggota DPD pada pemilihan umum 2004 dan menjabat hingga kematiannya akibat kecelakaan. Sebagai jurnalis, ia seringkali melaporkan aktivitas penebangan dan perdagangan kayu ilegal hutan Kalimantan.
Riwayat Hidup
Abi Kusno Nachran lahir pada 30 Maret 1941 di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat. Ia memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat Negeri Pangkalan Bun dan lulus pada tahun 1954. Kemudian ia melanjutkan ke PGA Negeri 4 tahun (1956-1960) dan PGA Negeri 6 tahun (1960-1962).[2]
Karier
Sebelum menjadi anggota DPD, Nachran merupakan seorang jurnalis untuk berbagai media seperti Lintas Khatulistiwa, Banjarmasin Post, Media Indonesia, Spionase dan lainnya.[2] Ia seringkali menyelidiki penebangan dan perdagangan pohon ilegal hutan Kalimantan. Ia keluar-masuk hutan dan bahkan laut untuk memverifikasi informasi masyarakat yang dilaporkan kepadanya terkait perdagangan kayu ilegal. Ia pernah berhasil menggagalkan tiga kapal Tiongkok membawa kayu ilegal.[3] Akibat aktivitasnya tersebut, pada 28 November 2001 ia diserang dengan mandau dan mengalami 17 luka tusukan sedalam 4 cm. Selain itu, ia kehilangan 4 jari kirinya.[4] Ia dirawat selama tiga bulan dan kemudian dibawa ke Jerman untuk operasi.
Menurut Nachran dan dalam berbagai laporan investigasi, Abdul Rasyid yang merupakan seorang anggota MPR dari fraksi Partai Golkar serta keponakannya Sugianto Sabran yang pada saat itu merupakan suami dari Ussy Sulistiawaty, adalah dalang dibalik serangan tersebut.[5][6][7]
Pada pemilihan umum 2004, Nachran terpilih sebagai anggota DPD urutan ketiga dari Kalimantan Tengah.[8]
Kematian
Saat dalam perjalanan ke Tegal, Jawa Tengah, Nachran mengalami kecelakaan mobil di Jalan Tol Cirebon (Palimanan-Kanci). Ia tewas dan dibawa ke Semarang, tempat tinggal anak semata wayangnya.[9] Istrinya Maduratna binti Abdullah dan sopirnya selamat.[10] Sebelum kematiannya, ia sempat mendapatkan ancaman berupa kotak berisi kain kafan dan tulisan “Jangan Bunuh Mata Pencaharian Kami” yang diterima dari masyarakat Muara Bulan ketika ia dan rombongan DPD lainnya meninjau timbunan kayu ilegal di sana.[11]
Referensi