Kelenteng Hoo Tong Bio
TITD Hu Tang Miao (Hanzi: 護躺廟 Hokkien=Hoo Tong Bio; lit. "Kuil perlindungan warga China") atau biasa dikenal dengan sebutan Klenteng Banyuwangi, merupakan Klenteng tertua di wilayah Jawa Timur dan Bali. Dewata utama yang dipuja di klenteng ini adalah Yang Mulia Kongco Chen Fu Zhen Ren. TITD Hu Tang Miao merupakan Klenteng induk dari sembilan klenteng Chen Fu Zhen Ren yang tersebar di Jawa Timur, Bali, dan Pulau Lombok. Klenteng Hoo Tong Bio selalu menyajikan pesona khas Tionghoa seperti Barongsai yang menjadi agenda wisata budaya di Kabupaten Banyuwangi yang wajib di kunjungi oleh wisatawan.[2] Sebagai Klenteng Induk, perayaan di TITD Hu Tang Miao sering kali menjadi yang paling ramai didatangi umat Tridharma. Umat Klenteng Chen Fu Zhen Ren dari lain daerah juga secara rutin mengunjungi Klenteng Hu Tang Miao. Ada pula umat beragama lain yang datang secara rutin karena alasan pribadi mereka masing-masing.[3] EtimologiTITD merupakan singkatan dari Tempat Ibadah Tri Dharma atau secara umum disebut sebagai Klenteng. Sejarah![]() Pada mulanya, klenteng paling pertama yang dibangun untuk Chen Fu Zhen Ren berlokasi di Lateng. Namun, setelah Blambangan diserang Belanda pada tahun 1765, pusat kerajaan dipindahkan di Kota Banyuwangi sekarang (sebelumnya berada di sekitar Muncar). Warga cina ikut bermigrasi dan memindahkan lokasi Klenteng Chen Fu Zhen Ren ke Klenteng Hu Tang Miao yang sekarang. Belanda menguasai daerah Banyuwangi baru pada tahun 1774 sehingga Banyuwangi ditinggalkan penduduknya sampai Belanda kembali mempekerjakan 100 orang Cina di Banyuwangi untuk mengembangkan pertanian.[4] Oleh sebab itu, klenteng ini diperkirakan dibangun sekitar tahun 1768–1784.[5] Tanggal pendirian TITD Hu Tang Miao tidak diketahui karena tidak adanya catatan. Prasasti tertua yang diketahui adalah sebuah panel kayu bertanggal Qianlong Jiachen (1784) yang memuat kaligrafi Tan Cin Jin (Chen Fu Zhen Ren). Sumber lain dari catatan dokter Franz Epp berkebangsaan Jerman yang menyatakan bahwa Hu Tang Miao direnovasi kembali pada tahun 1848.[6] Menurut Epp:
Kebakaran 2014Tempat peribadatan Hoo Tong Bio mengalami kebakaran hebat pada hari Jumat, 13 Juni 2014. Kebakaran mengakibatkan bangunan peribadatan utama dan beberapa bangunan lain menjadi rusak parah.[8] Kebakaran diketahui sekitar pukul 06.00 pagi. Akibat kebakaran ini, sekitar 80% bangunan rusak termasuk rupang Kongco Tan Hu Cin Jin.[9] Pemerintah Kabupaten Banyuwangi membantu revitalisasi klenteng melalui Dinas PU Cipta Karya. Kebakaran ini menarik perhatian Pemkab Banyuwangi karena Hoo Tong Bio merupakan salah satu tempat bersejarah di Banyuwangi dan dimasukkan dalam promosi Banyuwangi sebagai salah satu tempat bersejarah yang patut dikunjungi.[10] Arsitektur![]() ![]() Pintu gerbang utama untuk masuk ke kawasan klenteng Ho Tong Bio memiliki tiga buah pintu, yaitu dua buah pintu samping untuk umat dan pintu utama di tengah yang dipergunakan untuk ritual. Pintu masuk utama ke dalam klenteng juga ada tiga buah. Menurut M. Aulia, gerbang masuk utama Klenteng Hoo Tong Bio yang berbentuk gapura didominasi oleh warna merah yang melambangkan kegembiraan,kebahagiaan, dan kesejahteraan. Konsep pintu masuk utama pada Klenteng ini didasarkan pada prinsip Yin dan Yang, yaitu sebelah kiri adalah pintu masuk (dilambangkan dengan symbol naga) sedangkan sebelah kanan adalah pintu keluar (dilambangkan dengan harimau putih).[11] Terdapat kepercayaan bagi warga Tionghoa untuk masuk melalui pintu naga dan keluar dari pintu harimau, karena memiliki arti simbolik memasuki keberuntungan (naga) dan keluar dari kemalangan (harimau). Pintu di tengah diperuntukkan para Roh Suci. Daftar altarDaftar altar di Klenteng Ho Tong Bio:
KegiatanSetiap awal Tahun Baru Imlek, Klenteng Hoo Tong Bio melakukan ritual tolak bala (Hanzi: ci suak) dan ulang tahun bertahtanya Kongco Chen Fu Zhen Ren di Hoo Tong Bio. Perayaan ulang tahun diwarnai pluralisme kebudayaan dan sering kali menampilkan pertunjukan lokal seperti barongan, reog (Ponorogo), dan wayang kulit. Selain itu, juga dilakukan kegiatan sosial seperti donor darah, berbagai pertandingan olahraga, dan pembagian sembako kepada masyarakat kurang mampu.[12] GaleriLihat pulaReferensi
Pranala luar
|
Portal di Ensiklopedia Dunia