PluralismePluralisme (bahasa Inggris: pluralism), terdiri dari dua kata plural (beragam) dan isme (paham) yang berarti paham atas keberagaman. Secara luas, pluralisme merupakan paham yang menghargai adanya perbedaan dalam suatu masyarakat dan memperbolehkan kelompok yang berbeda tersebut untuk tetap menjaga keunikan budayanya masing-masing.[1] Berdasarkan Webster's Revised Unabridged Dictionary [2] arti pluralisme adalah:
Pluralisme juga dapat berarti kesediaan untuk menerima keberagaman (pluralitas), artinya untuk hidup secara toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku, gologan, agama,adat, hingga pandangan hidup. Pluralisme mengimplikasikan pada tindakan yang bermuara pada pengakuan kebebasan beragama, kebebasan berpikir, atau kebebasan mencari informasi, sehingga untuk mencapai pluralisme diperlukan adanya kematangan dari kepribadian seseorang dan/atau sekelompok orang. Pluralisme sosialDalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme dapat dikatakan menjadi salah satu ciri khas masyarakat modern, kelompok sosial, dan yang paling penting mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat, serta perkembangan ekonomi. Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarki, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh sedikit anggota. sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar. Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, oleh sebab itu hasil yang lebih baik. Sebagai contoh, perusahaan, badan-badan politik ekonomi, dan perhimpunan ilmiah yang termasuk ke dalam kelompok dan situasi di mana pluralisme adalah penting. Pluralisme Ilmu PengetahuanBisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran. Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing. Pluralisme AgamaPluralisme Agama (Religious Pluralism) adalah istilah khusus dalam kajian agama-agama. Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya disamakan dengan makna istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’ (mutual respect), dan sebagainya. Sebagai satu paham (isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-agama yang ada, istilah ‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan dalam studi agama agama (religious studies). Pandangan KristenSt. Paus Yohanes Paulus II, pada tahun 2000, mengeluarkan Dekret Dominus Jesus Penjelasan ini, selain menolak paham Pluralisme Agama, juga menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantara keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. Pluralisme Agama berkembang pesat dalam masyarakat Kristen-barat disebabkan setidaknya oleh tiga hal: yaitu
Dalam tradisi Kristen, dikenal ada tiga cara pendekatan atau cara pandang teologis terhadap agama lain.
Pandangan IslamPada tanggal 28 Juli 2005, MUI menerbitkan fatwa yang melarang pluralisme. Dalam fatwa tersebut, pluralisme agama,sebagai objek persoalan yang ditanggapi, didefinisikan sebagai: "Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga". Dengan demikian, MUI menyatakan bahwa Pluralisme dalam konteks yang tertera tersebut bertentangan dengan ajaran Agama Islam.[4] Dengan adanya definisi pluralisme yang berbeda tersebut, timbul polemik panjang mengenai pluralisme di Indonesia. Pandangan Hindu
Pluralisme Agama dalam Agama BuddhaDengan mencontoh pandangan Sang Buddha tentang toleransi beragama, Raja Asoka membuat dekret di batu cadas gunung ( hingga kini masih dapat dibaca ) yang berbunyi: “… janganlah kita menghormat agama kita sendiri dengan mencela agama orang lain. Sebaliknya agama orang lain hendaknya dihormat atas dasar tertentu. Dengan berbuat begini kita membantu agama kita sendiri untuk berkembang di samping menguntungkan pula agama lain. Dengan berbuat sebaliknya kita akan merugikan agama kita sendiri di samping merugikan agama orang lain. Oleh karena itu, barang siapa menghormat agamanya sendiri dengan mencela agama lain – semata – mata karena dorongan rasa bakti kepada agamanya dengan berpikir ‘ bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri ‘ maka dengan berbuat demikian ia malah amat merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu toleransi dan kerukunan beragamalah yang dianjurkan dengan pengertian, bahwa semua orang selain mendengarkan ajaran agamanya sendiri juga bersedia untuk mendengarkan ajaran agama yang dianut orang lain… “ Pluralisme Sosial dalam Agama BuddhaKetika Suku Sakya dan Suku Koliya ingin berperang karena memperebutkan air sungai Rohini. Sang Buddha dengan Mata Bathin-Nya mengetahui kejadian itu. dan Buddha dengan Kesaktian-Nya terbang ke udara, tepat ditengah tengah Sungai Rohini. Mereka langsung bersujud ketika mereka melihat Sang Buddha, Sang Buddha bertanya pada pimpinan dari kedua pihak itu, satu demi satu, akhirnya sampailah kepada pekerja harian. Pekerja harian itu menjawab: “Pertengkaran ini hanya karena air sungai Rohini, Yang Mulia.” Kemudian Sang Buddha bertanya pada kedua Raja itu: “Berapakah nilai air sungai itu, Raja Mulia?” “Sangat kecil nilainya, Yang Mulia.” “Berapa besarkah nilai Khattiya (Negeri) ini, Raja Mulia?” “Khattiya ini tidak ternilai, Yang Mulia.” “Bukanlah hal yang baik dan pantas apabila hanya karena air yang sedikit ini kalian menghancurkan Khattiya (Negeri) yang tidak ternilai ini.” Kedua pihak itu diam seribu bahasa. Sang Buddha berkata lagi: “O, Raja Mulia, mengapa kalian bertindak seperti ini? Apabila saya tidak ada di sini sekarang, kalian akan bertempur, membuat sungai ini berlimbah darah. Kalian tidak pantas bertindak demikian. Kalian hidup bermusuhan, menuruti hati yang diliputi lima jenis nafsu kebencian. Saya hidup bebas dari kebencian. Kalian hidup menderita karena sakit yang disebabkan oleh nafsu kejahatan. Saya hidup bebas dari penyakit. Kalian hidup dipenuhi keinginan, dengan memuaskan lima jenis hawa nafsu keserakahan. Saya hidup bebas dari segala nafsu keserakahan.” Setelah bersabda demikian, Sang Buddha mengucapkan syair-syair ini: “Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa membenci di antara orang-orang yang membenci, di antara orang-orang yang membenci kita hidup tanpa membenci.” (Dhammapada, Sukha Vagga no. 1) Lihat pula
Referensi
|