Cao Cao
Cao Cao (155-15 Maret 220) nama kehormatan Mengde merupakan seorang politikus, panglima perang, dan penyair Tiongkok yang naik ke tampuk kekuasaan pada masa Akhir Dinasti Han (ca 184–220), mengambil kendali pemerintah pusat Dinasti Han. Ia membangun pondasi negara Cao Wei (220–265) yang didirikan oleh putranya Cao Pi yang merebut kekuasaan dari Kaisar Xian dari Han dan mengakhiri Dinasti Han. Dimulai pada masa hidupnya sendiri, kumpulan legenda berkembang di sekitar Cao Cao yang dibangun berdasarkan bakatnya, kekejamannya, dan keeksentrikannya. Cao Cao dikenal di kalangan Tionghoa Indonesia sebagai Tsao-tsao, Tso-tso atau Cho Cho. Cao Cao memulai karirnya sebagai seorang pejabat pemerintah Dinasti Han dan memegang berbagai jabatan termasuk sebagai kepala keamanan distrik di ibu kota dan kanselir suatu kerajaan. Dia menjadi terkenal pada tahun 190-an ketika dia merekrut pengikutnya sendiri, membentuk pasukannya sendiri, dan mendirikan pangkalan di Provinsi Yan (meliputi sebagian Henan dan Shandong saat ini). Pada tahun 196, ia menerima Kaisar Xian, tokoh penguasa Han yang sebelumnya disandera oleh panglima perang lain seperti Dong Zhuo, Li Jue, dan Guo Si. Setelah ia mendirikan ibu kota kekaisaran baru di Xuchang, Kaisar Xian dan pemerintah pusat berada di bawah kendali langsungnya, namun ia tetap memberikan kesetiaan kepada kaisar. Sepanjang tahun 190-an, Cao Cao secara aktif mengobarkan perang di Tiongkok tengah melawan panglima perang saingannya seperti Lü Bu, Yuan Shu, dan Zhang Xiu, dan melenyapkan mereka semua. Menyusul kemenangannya atas panglima perang Yuan Shao pada Pertempuran Guandu pada tahun 200, Cao Cao melancarkan serangkaian kampanye melawan putra dan sekutu Yuan Shao selama tujuh tahun berikutnya, mengalahkan mereka, dan menyatukan sebagian besar Tiongkok utara di bawah kendalinya. Pada tahun 208, tak lama setelah Kaisar Xian mengangkatnya sebagai Kanselir Kekaisaran, ia memulai ekspedisi untuk mendapatkan pijakan di Tiongkok selatan, namun dikalahkan oleh pasukan sekutu panglima perang Sun Quan, Liu Bei, dan Liu Qi pada pertempuran yang menentukan, Tebing Merah. Upaya-upayanya selanjutnya selama tahun-tahun berikutnya untuk mencaplok wilayah selatan Sungai Yangtse tidak pernah berhasil. Pada tahun 211, ia mengalahkan koalisi panglima perang barat laut yang dipimpin oleh Ma Chao dan Han Sui dalam Pertempuran Lintasan Tong. Lima tahun kemudian, ia merebut Hanzhong dari panglima perang Zhang Lu, tetapi menyerahkannya kepada Liu Bei pada tahun 219. Sementara itu, ia juga menerima banyak penghargaan dari Kaisar Xian. Pada tahun 213, ia diangkat menjadi Adipati Wei dan diberi wilayah kekuasaan yang meliputi sebagian wilayah Hebei dan Henan saat ini. Pada tahun 216, ia diangkat ke status raja bawahan dengan gelar "Raja Wei" dan dianugerahi banyak hak istimewa seremonial, yang beberapa di antaranya dulunya hanya diperuntukkan bagi kaisar. Cao Cao meninggal di Luoyang pada bulan Maret 220 dan digantikan oleh putranya Cao Pi yang menerima pengunduran diri Kaisar Xian pada bulan November 220 dan mendirikan negara Cao Wei untuk menggantikan Dinasti Han Timur—suatu peristiwa yang umumnya dianggap sebagai perampasan kekuasaan. Ini menandai transisi dari Dinasti Han Timur ke periode Enam Dinasti. Setelah naik takhta, Cao Pi menganugerahkan kepada ayahnya gelar anumerta "Kaisar Wu" ("Kaisar Pejuang") dan nama kuil "Taizu" ("Leluhur Agung"). Selain dipuji sebagai pemimpin politik dan militer yang brilian, Cao Cao dirayakan karena puisinya yang kemudian menjadi ciri khas gaya puisi Tiongkok Jian'an. Pendapat tentangnya tetap terbagi sejak Dinasti Jin (266–420) yang datang segera setelah periode Tiga Kerajaan. Ada beberapa yang memujinya atas prestasinya dalam puisi dan kariernya, tetapi ada juga yang lain yang mengutuknya karena kekejamannya, kelicikannya, dan cara-caranya yang diduga berkhianat. Dalam budaya Tiongkok tradisional, Cao Cao secara stereotip digambarkan sebagai tiran yang licik, haus kekuasaan, dan pengkhianat yang berfungsi sebagai musuh bebuyutan Liu Bei, sering digambarkan secara kontraposisi sebagai pahlawan yang mencoba menghidupkan kembali dinasti Han yang sedang merosot. Selama Dinasti Ming (1368–1644), Luo Guanzhong menulis novel epik Kisah Tiga Negara, yang mendramatisir peristiwa-peristiwa sejarah sebelum dan selama periode Tiga Kerajaan. Ia tidak hanya menampilkan Cao Cao sebagai antagonis utama dalam cerita, tetapi juga memperkenalkan, memfiksikan, dan membesar-besarkan kejadian tertentu untuk meningkatkan citra "jahat" Cao Cao. Kehidupan awalIa lahir di kabupaten Qiao (sekarang di Bozhou, Anhui) pada tahun 155. Ayahnya, Cao Song merupakan seorang anak angkat dari Cao Teng, yang nantinya menjadi salah satu kasim favorit Kaisar Huan. Dari beberapa catatan sejarah, termasuk Biography of Cao Man, menyebutkan bahwa nama asli keluarga Cao Song adalah Xiahou. Kitab sejarah Catatan Sejarah Tiga Negara mencatat bahwa salah satu leluhurnya, Cao Can adalah seorang pejabat kekaisaran di awal Dinasti Han.[A 1] Di masa mudanya, Cao Cao dikenal perseptif dan manipulatif. Dia suka berburu, menganggur, berkeliaran dengan bebas, dan bermain main hakim sendiri sehingga dia tidak dihargai tinggi[A 2] dibandingkan dengan rekan-rekannya yang lebih rajin. Sejak Cao Cao berusia lima belas tahun hingga dia berusia tiga puluh tahun, penyakit epidemi yang meluas melanda Tiongkok rata-rata satu dari setiap tiga tahun. Meskipun Cao Cao bermalas-malasan dan berperilaku tidak mengesankan, ada dua orang – Qiao Xuan dan He Yong – yang menyadari potensi dan bakatnya yang luar biasa.[A 3] Ketika mengunjungi komentator dan evaluator karakter terkenal Xu Shao, Cao Cao dinilai sebagai "penjahat pengkhianat di masa damai, dan pahlawan di masa kekacauan".[1] Sumber lain mencatat bahwa Xu Shao berkata kepada Cao Cao, "Kamu akan menjadi menteri yang cakap di masa damai, dan seorang jianxiong di masa kekacauan."[B 1][a] Karier politikKarier politiknya dimulai dengan ikut memadamkan Pemberontakan Serban Kuning yang mengancam legitimasi Dinasti Han pada masa-masa akhir dinasti tersebut. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan tersebut, ia diberikan jabatan dan kemudian mengambil kesempatan tersebut untuk menguasai Prefektur Qingzhou. Ia kemudian memperkuat diri sendiri dengan membujuk bekas anggota pemberontak Serban Kuning untuk bergabung di dalam tentara pribadinya. Kampanye melawan Dong Zhuo (189-191)Latar belakangKaisar Ling dari Han meninggal dunia pada 189 dan digantikan oleh Liu Bian yang dikenal sebagai Kaisar Shao dalam catatan sejarah. Karena Liu Bian masih muda, ia dibantu oleh wali kuasa Janda Permaisuri He dan He Jin yang memerintah atas namanya. He Jin berkomplotan dengan Yuan Shao dan yang lain untuk menyingkirkan Sepuluh Kasim dan membagikan rencana tersebut kepada kakaknya, sang janda permaisuri. Namun, sang janda permaisuri enggan membunuh para kasim. He Jin setelah mendengar keengganan tersebut berpikir untuk mengumpulkan perwira militer ke luar Luoyang untuk memimpin pasukan masuk ke ibukota untuk memaksa janda permaisuri.[A 4] Cao Cao dengan keras tidak setuju dengan rencana tersebut karena Cao Cao berpendapat bahwa untuk menyingkirkan para kasim, mereka harus membunuh pemimpin mereka. Ia juga berpendapat bahwa mengerahkan pasukan dari luar menuju ke Luoyang akan memberi risiko bahwa rencana mereka dibocorkan.[B 2] He Jin yang menjabat sebagai pemangku jabatan tertinggi di pemerintahan istana mengabaikan sarannya. Seperti yang dikatakan oleh Cao Cao, para kasim mendapatkan bocoran terhadap rencana yang dijalankan oleh He Jin dan kemudian membunuhnya sebelum para jenderal berdatangan untuk bersiaga atas aba-aba He Jin. Setelah He Jin dibunuh, Yuan Shao dan pengikut He Jin lainnya mulai menyerang istana dan membantai para kasim dan bahkan rakyat jelata yang terlihat seperti seorang kasim sebagai bentuk balas dendam. Kaisar Shao dan adiknya, Liu Xie melarikan diri dari kekacauan tersebut. Mereka ditemukan dan diantar pulang oleh Dong Zhuo yang mengambil kesempatan untuk menguasai pemerintahan. Dong Zhuo beberapa lama kemudian melengserkan Kaisar Shao dan menobatkan Liu Xie sebagai Kaisar Xian dari Han. Kaisar Shao yang lengser kemudian diberi gelar Pangeran Hongnong.[A 5] Dong Zhuo ingin menunjuk Cao Cao sebagai Kolonel Kavaleri Pemberani (驍騎校尉) dan merekrutnya sebagai penasihat. Namun, Cao Cao menggunakan identitas palsu, melarikan diri dari Luoyang, dan kembali ke rumahnya di Kabupaten Chenliu (陳留郡; dekat Kaifeng saat ini).[A 6] Dia mengalami dua pertemuan di sepanjang jalan. Yang pertama adalah dengan keluarga Lü Boshe, seorang kenalan lama. Insiden kedua terjadi ketika dia melewati Kabupaten Zhongmu, di mana seorang kepala desa mencurigai dia sebagai buronan dan menangkapnya. Namun, pejabat lain mengenali Cao Cao dan percaya bahwa dia dapat memberikan pengaruh positif, jadi dia membebaskan Cao Cao.[A 7] KampanyeDong Zhuo membunuh Pangeran Hongnong dan Janda Permaisuri He. Saat Cao Cao kembali ke Chenliu, ia menghabiskan harta kekayaan keluarganya untuk mengangkat senjata melawan Dong Zhuo. Pada musim dingin tahun 189, Cao Cao mengumpulkan pasukannya di Kabupaten Jiwu (己吾縣; barat daya Kabupaten Ningling, Henan) dan menyatakan perang terhadap Dong Zhuo.[A 8] Pada awal tahun 190, beberapa pejabat regional dan panglima perang membentuk pasukan koalisi yang berjumlah puluhan ribu, dan melancarkan kampanye hukuman terhadap Dong Zhuo. Mereka menyatakan bahwa misi mereka adalah membebaskan Kaisar Xian dan pemerintah pusat dari kendali Dong Zhuo. Yuan Shao terpilih sebagai ketua koalisi sementara Cao Cao menjabat sebagai penjabat Jenderal Kekuatan Bela Diri yang Mengangkat (奮武將軍). Koalisi tersebut meraih beberapa kemenangan awal melawan pasukan Dong Zhuo dan mencapai Luoyang dalam beberapa bulan. Dong Zhuo, yang khawatir dengan kekalahannya, memerintahkan pasukannya untuk memindahkan paksa penduduk Luoyang ke Chang'an dan membakar ibu kota kekaisaran, tanpa meninggalkan apa pun untuk koalisi.[A 9] Saat Dong Zhuo mundur ke Chang'an, Cao Cao memimpin pasukan untuk mengejarnya, namun ia terjebak oleh penyergapan yang dilakukan oleh Xu Rong, seorang jenderal bawahan Dong Zhuo di Pertempuran Xingyang. Ini adalah kali pertama Cao Cao yang secara pribadi memimpin pasukan dan ia hampir kehilangan nyawanya melarikan diri dengan bantuan sepupunya, Cao Hong. Ia kembali ke markas koalisi di Kecamatan Suanzao (酸棗縣; barat daya Kabupaten Yanjin saat ini, Henan) dan ia kesal melihat anggota koalisi malah hanya bermalas-malasan dan bersenang-senang tanpa memikirkan kemajuan untuk koalisi. Dia mempresentasikan rencananya tentang bagaimana melanjutkan perang melawan Dong Zhuo dan menegur mereka karena sikap mereka yang tidak bersemangat terhadap tujuan awal mereka. Mereka mengabaikannya.[A 10] AkibatKarena Cao Cao hanya memiliki sisa pasukan yang sedikit setelah Pertempuran Xingyang, ia pergi ke Provinsi Yang untuk merekrut pasukan dengan Xiahou Dun. Inspektur Provinsi Yang Chen Wen dan Adminstrator Kabupaten Danyang (丹楊郡) Zhou Xin memberikan 4,000 pasukan kepada Cao Cao. Saat mereka hendak kembali melewati Kecamatan Longkang (龍亢縣; sekarang di Kabupaten Huaiyuan, Anhui), banyak tentara memulai pemberontakan dan membakar tenda Cao Cao di malam hari, tapi dia berhasil melarikan diri.[B 3] Ketika Cao Cao mencapai wilayah Zhi (銍; sebelah barat Suzhou, Anhui) dan Jianping (建平; barat daya sekarang Kabupaten Xiayi, Henan), dia berhasil mengumpulkan kembali lebih dari 1.000 tentara dan memimpin mereka ke sebuah garnisun di Komando Henei (河內郡; sekitar sekarang Kabupaten Wuzhi, Henan).[A 11] Yuan Shao dan Han Fu berpikir untuk mengangkat Liu Yu, Gubernur Provinsi You, ke takhta menggantikan Kaisar Xian. Ketika mereka meminta pendapat Cao Cao,[A 12] Cao Cao menolak mendukung mereka dan menegaskan kembali kesetiaannya kepada Kaisar Xian.[B 4] Rencana Yuan Shao ternyata tidak berhasil karena Liu Yu sendiri tidak ingin menjadi kaisar. Yuan Shao pernah mengundang Cao Cao untuk duduk disebelahnya dan memperlihatkan segel batu giok, mengindikasikan bahwa Yuan Shao memiliki ambisi menjadi kaisar dan meminta Cao Cao untuk membantunya. Menganggap ini tercela, Cao Cao hanya ketawa kepadanya.[A 13] Operasi militer di Tiongkok tengah (191-199)Konflik antar Yuan bersaudaraYuan Shu memiliki perselisihan dengan kakaknya, Yuan Shao maka Yuan Shu mengontak rivalnya Gongsun Zan di Tiongkok Utara meminta bantuan untuk melawan Yuan Shao. Gongsun Zan kemudian memerintah Tao Qian, Shan Jing, dan Liu Bei untuk bersiaga di Gaotang, Pingyuan dan Fagan untuk memberi tekanan kepada Yuan Shao. Yuan Shao bersekutu kepada Cao Cao dan mengalahkan mereka yang berlawanan. Pada musim semi 193, Cao Cao mengalahkan Yuan Shu di Pertempuran Fengqiu dan pada musim panas, kembali ke Dingtao.[A 14] Menerima Kaisar XianKaisar Xian dari Han disandera di Chang'an oleh loyalis Dong Zhuo yakni Li Jue, Guo Si dan beberapa tokoh lainnya. Pada 195, saat Li Jue dan Guo Si bertikai, Kaisar Xian kabur dari Chang'an dan dengan susah payah dan penuh penderitaan ia kembali ke Luoyang. Ia berlindung kepada Dong Cheng, Yang Feng, seorang mantan pemimpin bandit, dan beberapa orang kuat kecil yang bisa digambarkan seperti "sampah masyarakat".[2] Awalnya Kaisar Xian meminta suaka kepada Yuan Shao tetapi Yuan Shao menolaknya.[3] Pada tahun 196, atas saran Cheng Yu dan Xun Yu, Cao Cao mengerahkan Cao Hong untuk menjemput Kaisar Xian tetapi dihalangi oleh Dong Cheng dan bawahan Yuan Shu, Chang Nu (萇奴). Antara Maret dan April 196, Cao Cao menumpaskan sisa Pemberontak Serban Kuning di Runan (汝南) dan Yingchuan (潁川) dan ditunjuk sebagai Jenderal yang Mendirikan Akhlak (建德將軍). Pada bulan Juli atau Agustus 196, Cao Cao dipromosikan menjadi Jenderal yang Mengawal Timur (鎮東將軍) dan diangkat sebagai Marquis dari Desa Fei (費亭侯) – gelar bangsawan yang sebelumnya dipegang oleh kakek angkatnya Cao Teng.[A 15] Beberapa waktu diantara Agustus dan September 196, Cao Cao memimpin pasukan menuju Luoyang untuk menjemput Kaisar Xian secara pribadi. Kaisar memberi Cao Cao sebuah kapak seremonial dan mengangkatnya sebagai Manajer Urusan Sekretariat Kekaisaran (錄尚書事) dan Kolonel-Direktur Pengikut (司隷校尉).[B 5] Karena Luoyang sudah porak poranda akibat Dong Zhuo, Dong Zhao dan lain menyarankan Cao Cao untuk memindahkan ibukota ke Xuchang.Maka, pada bulan Oktober atau awal November 196, Cao Cao dan pasukannya mengawal Kaisar Xian ke Xuchang, yang menjadi ibu kota kekaisaran baru. Cao Cao sendiri telah mengangkat dirinya sebagai Panglima Tertinggi (大將軍) dan dipromosikan dari marquis desa menjadi marquis daerah dengan gelar "Marquis Wuping" (武平侯), yang kemudian dikategorikan sebagai sepuluh ribu rumah tangga.[B 6] Sejak Dong Zhuo memindahkan ibu kota dari Luoyang ke Chang'an pada tahun 190, istana kekaisaran berada dalam keadaan kacau. Namun, setelah Cao Cao menerima Kaisar Xian dan mendirikan ibu kota kekaisaran baru di Xuchang, ketertiban dipulihkan[A 16] namun Cao Cao membunuh orang kepercayaan kaisar Zhao Yan (趙彥) karena tetap memberikan informasi kepada Kaisar Xian mengenai keadaan negara secara rahasia.[4] Cao Cao kemudian menulis titah kepada Yuan Shao atas nama Kaisar Xian untuk menunjuknya sebagai Komandan Besar (太尉). Yuan Shao kesal karena jabatan Komandan Besar merupakan jabatan dibawah jabatan Cao Cao yakni Panglima Tertinggi, jadi ia menolak titah tersebut. Saat Cao Cao mendengarkan itu, ia menyatakan bahwa ia bersedia mundur dari jabatan Panglima Tertinggi dan menawarkannya kepada Yuan Shao. Kaisar Xian memindahtugaskan Cao Cao dengan menunjuknya sebagai Menteri Massa (司空) dan pejabat Jenderal Kavaleri dan Kereta (車騎將軍). Terpukul oleh kesulitan yang dihadapi Yuan Shao dan Yuan Shu dalam memasok pasukan mereka, serta perjuangannya sendiri dalam mendapatkan pasokan makanan dalam beberapa tahun terakhir, Cao Cao mengikuti saran Zao Zhi dan Han Hao untuk menerapkan sistem pertanian tuntian[A 17] untuk menghasilkan pasokan gandum yang berkelanjutan untuk pasukannya yang terus bertambah.[B 7] Koloni pertanian Tuntian memberi Cao Cao keuntungan dibandingkan musuh-musuhnya, memungkinkan dia untuk memukimkan kembali para pengungsi internal, membangun kembali lahan subur yang ditinggalkan, memperpendek jalur pasokan tentaranya, mengurangi jumlah aset pertahanan yang ditugaskan untuk mempertahankan pertanian dan lumbung, dan meningkatkan area dan produktivitas tanah yang dikuasai langsung oleh negara.[5] Pertempuran melawan Zhang XiuPada awal tahun 197, Cao Cao memimpin pasukannya ke Wancheng (宛城; sekarang Distrik Wancheng di Nanyang, Henan) untuk menyerang panglima perang saingannya, Zhang Xiu. Zhang Xiu awalnya menyerah tanpa perlawanan, namun karena perlakuan buruknya berubah pikiran dan menyerang Cao Cao dan membuatnya lengah. Putra sulungnya Cao Ang, keponakannya Cao Anmin (曹安民) dan penjaganya Dian Wei gugur dalam pertempuran ini. Dia kembali ke Xuchang setelah kekalahannya, tetapi menyerang Zhang Xiu lagi pada akhir tahun itu dan menenangkan wilayah Huyang (湖陽; barat daya Kabupaten Tanghe, Henan) dan Wuyin (舞陰; tenggara Kabupaten Sheqi, Henan) saat ini. Pada awal tahun 198, ia memimpin kampanye lain melawan Zhang Xiu dan mengepungnya di Rangcheng (穰城; sekarang Dengzhou, Henan) tetapi menarik pasukannya sekitar dua bulan kemudian. Sebelum mundur kembali ke Xuchang, dia menyiapkan penyergapan dan mengalahkan pasukan pengejar Zhang Xiu. Pada akhir tahun 199, atas saran Jia Xu, Zhang Xiu secara sukarela menyerah kepada Cao Cao, yang menerima penyerahannya.[A 18] Kampanye melawan Yuan ShuPada awal 197, Yuan Shu memberontak dengan mendeklarasikan dirinya sebagai kaisar dan pembentukan dinasti baru di Shouchun (壽春) – sebuah tindakan yang bisa dianggap sebagai tindakan makar terhadap Kaisar Xian dari Han. Cao Cao, beserta Liu Bei dan Lü Bu mulai menyerang Yuan Shu. Pada musim gugur tahun 197, Cao Cao mengalahkan Yuan Shu dalam pertempuran, menangkap beberapa perwiranya, dan mengeksekusi mereka. Pada tahun 199, beberapa bulan setelah kekalahan Lü Bu di Pertempuran Xiapi, Yuan Shu, yang sudah berada dalam kesulitan, ingin meninggalkan tanahnya di wilayah Huainan dan pergi ke utara untuk bergabung dengan Yuan Shao. Cao Cao mengirim Liu Bei dan Zhu Ling untuk memimpin pasukan mencegat dan memblokir Yuan Shu di Provinsi Xu. Yuan Shu meninggal karena sakit saat dikepung oleh Liu Bei dan Zhu Ling.[A 19] Perang dengan Yuan Shao (199-202)Latar belakangSaat Cao Cao mengobarkan perang di seluruh Tiongkok tengah pada tahun 190-an, Yuan Shao mengalahkan saingannya Gongsun Zan di Pertempuran Yijing pada tahun 199, setelah itu ia menguasai empat provinsi di Tiongkok utara (Ji, Bing, Qing dan You) dan memperoleh komando ribuan tentara. Perebutan kekuasaan antara Cao Cao dan Yuan Shao menjadi tak terhindarkan pada awal tahun 199. Pada musim gugur tahun 199, Cao Cao mengirim pasukan ke Kabupaten Liyang (黎陽縣; sekarang Kabupaten Xun, Henan) dan mengirim Zang Ba dan yang lainnya untuk merebut beberapa wilayah. di Provinsi Qing sambil meninggalkan Yu Jin untuk menjaga tepi selatan Sungai Kuning. Di musim dingin, dia mengerahkan pasukannya dan mengerahkan mereka di Guandu (官渡; sekarang Kota Guandu, Kabupaten Zhongmu, Henan).[A 20] Kampanye melawan Liu Bei di Provinsi XuSekitar waktu ini, Cheng Yu dan Guo Jia telah memperingatkan Cao Cao agar tidak mengizinkan Liu Bei meninggalkan Xuchang tetapi sudah terlambat karena Cao Cao telah mengirim Liu Bei untuk mencegat dan memblokir Yuan Shu. Sebelumnya, ketika dia masih di Xuchang, Liu Bei diam-diam telah bergabung dengan rencana yang diprakarsai oleh Dong Cheng dan yang lainnya untuk menyingkirkan Cao Cao. Setelah meninggalkan Xuchang, Liu Bei menuju ke Provinsi Xu, membunuh inspektur provinsi Che Zhou (車冑), dan menguasai Provinsi Xu. Cao Cao mengirim Liu Dai (劉岱) dan Wang Zhong untuk menyerang Liu Bei tetapi mereka kalah.[A 21] Pada bulan Februari 200, Cao Cao mengetahui rencana Dong Cheng dan memerintahkan semua konspirator ditangkap dan dieksekusi. Dia kemudian memimpin kampanye untuk merebut kembali Provinsi Xu dari Liu Bei, mengalahkannya, dan menawan keluarganya. Jenderal Liu Bei, Guan Yu, yang menjaga ibu kota Provinsi Xu, Xiapi (下邳; sekarang Pizhou, Jiangsu), menyerah dan untuk sementara mengabdi pada Cao Cao. Liu Bei melarikan diri ke utara untuk bergabung dengan Yuan Shao setelah kekalahannya. Beberapa bawahan Cao Cao awalnya menyatakan kekhawatiran bahwa Yuan Shao akan menyerang mereka saat Cao Cao sedang pergi di Provinsi Xu. Tetapi seperti yang diperkirakan secara akurat oleh Cao Cao,[b] Yuan Shao tidak membuat kemajuan apa pun selama periode waktu itu[A 22] mungkin karena jenderal Cao Cao Yu Jin sedang menyerang wilayah selatan Yuan Shao.[A 23] Fase awalDari awal hingga pertengahan tahun 200, pasukan Cao Cao dan Yuan Shao bentrok dalam dua pertempuran terpisah di Boma (白馬; sekarang Kabupaten Hua, Henan) dan Arungan Yan (延津; dekat sekarang Kabupaten Yanjin, Henan). Di Boma, Yuan Shao mengirim Guo Tu, Chunyu Qiong dan Yan Liang untuk mengepung jenderal Cao Cao, Liu Yan (劉延), namun pengepungan tersebut dicabut setelah sekitar dua bulan ketika Cao Cao secara pribadi memimpin pasukan untuk membantu Liu Yan. Guan Yu membunuh Yan Liang di tengah pertempuran. Saat Cao Cao dan pasukannya sedang mengevakuasi penduduk Boma, pasukan Yuan Shao yang dipimpin oleh Wen Chou dan Liu Bei menyusul mereka di Yan Ford, namun dikalahkan dan Wen Chou terbunuh dalam pertempuran. Cao Cao kembali ke kamp utamanya di Guandu sementara Yuan Shao pindah ke Kabupaten Yangwu (陽武縣; barat daya Kabupaten Yuanyang saat ini, Henan). Sekitar waktu ini, Guan Yu meninggalkan Cao Cao dan kembali ke Liu Bei.[A 24] Kebuntuan Guandu dan penyerangan WuchaoPada akhir tahun 200, Yuan Shao memimpin pasukannya untuk menyerang Cao Cao di Guandu. Kedua belah pihak terjebak dalam kebuntuan selama berbulan-bulan dan perbekalan Cao Cao perlahan-lahan habis dan pasukannya semakin lelah. Pada masa ini, Yuan Shao mengirim Liu Bei untuk menghubungi kepala pemberontak, Liu Pi (劉辟), di Komando Runan (汝南郡; dekat sekarang Xinyang, Henan) dan bergabung dengan Liu Pi dalam melakukan serangan diam-diam ke markas Cao Cao di Xuchang ketika Cao Cao sedang pergi ke Guandu. Namun, Liu Bei dan Liu Pi dikalahkan dan dipukul mundur oleh jenderal Cao Cao, Cao Ren. Selama masa ini, Sun Ce, seorang panglima perang yang berbasis di wilayah Jiangdong, juga mempertimbangkan untuk menyerang Xuchang dan menyandera Kaisar Xian. Namun, dia dibunuh sebelum dia bisa melaksanakan rencananya.[A 25] Namun, pada musim dingin 200 Cao Cao menerima saran penting dari Xu You yang membelot dari Yuan Shao. Mendengarkan saran itu, Cao Cao memerintah Cao Hong untuk menjaga bentengnya di Guandu dan dengan 5,000 pasukan kuda ia secara pribadi memimpin penyerangan gudang persediaan Yuan Shao di Wuchao (烏巢; tenggara Kabupaten Yanjin saat ini, Henan) yang dijaga ketat oleh Chunyu Qiong. Cao Cao berhasil menghancurkan gudang tersebut. Saat Yuan Shao mendengar bahwa Wuchao diserang, ia mengirimkan Zhang He dan Gao Lan untuk menyerang benteng utama Cao Cao dengan harapan mengalihkan perhatian Cao Cao dari Wuchao. Namun, Zhang He dan Gao Lan yang sudah resah dengan Yuan Shao menghancurkan benteng mereka sendiri dan membelot kepada Cao Cao. Semangat pasukan Yuan Shao turun drastis dan mereka dikalahkan habis-habisan oleh pasukan Cao Cao, setelah itu Yuan Shao buru-buru menyeberangi Sungai Kuning dan mundur kembali ke Tiongkok utara. Banyak perbekalan dan tentaranya direbut oleh Cao Cao. Cao Cao juga memperoleh beberapa surat yang ditulis oleh mata-mata dari pihaknya kepada Yuan Shao, namun dia menolak melakukan penyelidikan untuk mengetahui siapa mata-mata itu, dan malah memerintahkan semua surat itu dibakar. Banyak komando di Provinsi Ji menyerah kepada Cao Cao.[A 26] AkibatPada musim panas 201, Cao Cao kembali memimpin pasukan untuk menyerang Yuan Shao, mengalahkannya secara pahit di Pertempuran Cangting dan mengamankan wilayah itu. Pada musim gugur, ia kembali ke Xuchang dan mengirim Cai Yang (蔡揚) untuk menyerang Liu Bei yang telah meninggalkan Yuan Shao dan bersekutu dengan sekelompok pemberontak yang dipimpin oleh Gong Du (共都)[c] di Kabupaten Runan. Liu Bei berhasil mengalahkan dan membunuh Cai Yang dalam pertempuran.[A 27] Ini kemudian menyebabkan Cao Cao untuk langsung terjun ke pertempuran memimpin pasukannya sendiri melawan Liu Bei. Liu Bei yang mendengarkan bahwa Cao Cao akan memimpin pasukan untuk menyerangnya memutuskan untuk meninggalkan Runan ke arah selatan menuju ke Provinsi Jing untuk mencari suaka kepada Liu Biao.[A 28] Cao Cao kembali ke kampung halamannya dan memproklamasikan bahwa aksi militer yang dilancarkan olehnya sebagai pemberontakan yang benar.[A 29] Penyatuan Tiongkok utara (202-207)Pertempuran LiyangYuan Shao wafat akibat sakit pada musim panas 202 dan digantikan oleh putra ketiga dan favoritnya, Yuan Shang. Pada musim gugur, Cao Cao menyerang Yuan Shang dan kakaknya, Yuan Tan dan mengalahkan mereka, memaksa Yuan bersaudara untuk mundur menuju ke benteng pertahanan mereka. Pada musim semi 203, Cao Cao kembali menyerang Yuan bersaudara dan kembali mengalahkannya. Pada musim panas, ia menguasai kota Ye (Handan, Hebei modern) dan kemudian kembali ke Xuchang, meninggalkan Jia Xin (賈信) yang diperintah untuk menahankan Kecamatan Liyang (黎陽縣; Kecamatan Xun, Henan modern).[A 30] Setelah itu, Cao Cao mengeluarkan titah untuk mendirikan sekolah di setiap kecamatan yang memiliki 500 kepala keluarga atau lebih.[A 31] Menyapu bersih sisa Yuan ShaoBeberapa bulan setelah Cao Cao meninggalkan Tiongkok utara dan kembali ke selatan, konflik internal pecah antara Yuan Shang dan Yuan Tan ketika kedua bersaudara itu mulai berebut Provinsi Ji. Yuan Tan, yang kalah dari Yuan Shang, menyerah kepada Cao Cao dan meminta bantuannya dalam menghadapi saudara ketiganya. Cao Cao setuju untuk membantu Yuan Tan, jadi, pada musim dingin tahun 203, dia kembali ke Tiongkok utara. Antara musim semi dan musim gugur tahun 204, Cao Cao menyerang Yuan Shang di markasnya di Ye dan menaklukkan kota tersebut. Yuan Shang melarikan diri lebih jauh ke utara menuju Kabupaten Zhongshan (中山郡; sekitar sekarang Dingzhou, Hebei). Setelah menangkap Ye, Cao Cao mengunjungi makam Yuan Shao, menangisi teman masa kecilnya yang menjadi saingannya, dan berusaha keras untuk menenangkan janda Yuan Shao. Untuk menyenangkan masyarakat di Hebei, Cao Cao mengeluarkan perintah yang membebaskan mereka dari membayar pajak untuk tahun itu dan menekan kekuasaan tuan tanah yang berpengaruh di wilayah tersebut. Ketika Kaisar Xian menawarkan untuk menunjuk Cao Cao sebagai Gubernur Provinsi Ji, Cao Cao menolak, lebih memilih untuk tetap pada pengangkatannya sebagai Gubernur Provinsi Yan.[A 32] Saat Cao Cao menyerang Yuan Shang di Ye, Yuan Tan yang secara nominal bersekutu dengan Cao Cao merebut sebagian pasukan dan wilayah Yuan Shang untuk dirinya sendiri. Cao Cao menulis surat teguran untuk Yuan Tan untuk tidak melanggar perjanjian yang sudah disepakati. Yuan Tan menjadi takut dan melarikan diri ke Kecamatan Nanpi. Pada musim semi 205, Cao Cao menyerang Yuan Tan, mengalahkannya dan mengeksekusinya serta membantai keluarganya. Provinsi Ji sudah diamankan tetapi pada saat Yuan Tan diserang, Yuan Shang kabur dan mencari suaka dengan kakak keduanya, Yuan Xi namun Yuan Xi dikhianati oleh bawahannya Jiao Chu (焦觸) dan Zhang Nan (張南), yang menyerah kepada Cao Cao. Yuan bersaudara tidak punya pilihan selain pergi lebih jauh ke utara untuk berlindung di bawah suku Wuhuan.[A 33] Kemudian pada 206, Cao Cao menyerang keponakan pihak ibu Yuan Shao, Gao Gan yang awalnya menyerah kepadanya dan kemudian memberontak. Ia mengalahkan Gao Gan di Lintasan Hu (壺關; sekarang di Kabupaten Huguan, Shanxi). Pada musim gugur, Cao Cao memulai kampanye melawan bajak laut yang dipimpin oleh Guan Cheng (管承). Dia mengirim Yue Jin dan Li Dian untuk menyerang Guan Cheng dan menenangkan pantai timur.[A 34] Kampanye melawan WuhuanPada musim panas tahun 206, Cao Cao menerima penyerahan ribuan bandit Heishan yang dipimpin oleh Zhang Yan. Pada saat itu, Zhao Du (趙犢) dan Huo Nu (霍奴) membunuh Inspektur Provinsi You dan Administrator Komando Zhuo (涿郡; sekitar masa kini Zhuozhou, Hebei), sementara suku Wuhuan dari tiga komando menyerang Xianyu Fu (鮮于輔) di Kabupaten Guangping (獷平縣; sebelah barat Distrik Miyun saat ini di Beijing). Pada awal musim gugur, Cao Cao secara pribadi memimpin kampanye melawan mereka dan mengalahkan Zhao Du dan Huo Nu, setelah itu pasukannya menyeberangi Sungai Lu (潞河; sekarang Distrik Tongzhou, Beijing) untuk membantu Xianyu Fu dengan menyerang Wuhuan. Mereka berhasil mengusir Wuhuan. Cao Cao kembali ke Ye pada musim dingin.[A 35] Sepanjang periode perang saudara pada akhir Dinasti Han Timur, suku Wuhuan di Tiongkok utara telah memanfaatkan situasi ini untuk menyerang Provinsi You, menangkap dan memperbudak ribuan orang yang tinggal di wilayah tersebut. Ketika Yuan Shao berkuasa di Tiongkok utara, dia memelihara hubungan persahabatan dengan Wuhuan, sehingga Yuan Shang dan Yuan Xi berlindung di bawah kepala suku Wuhuan. Pada tahun 207, Cao Cao memimpin kampanye melawan Wuhuan dan Yuan bersaudara dan meraih kemenangan telak atas mereka di Pertempuran Gunung Serigala Putih pada akhir tahun itu. Kampanye tersebut sulit dan berbahaya, dan Cao Cao memberikan penghargaan kepada para penasihatnya yang telah menasihatinya untuk tidak melakukan kampanye tersebut. Yuan Shang dan Yuan Xi kembali kabur menuju ke Liaodong untuk berlindung kepada Gongsun Kang, panglima perang yang berkuasa disana. Saat jenderal Cao Cao mempersiapkan diri mereka untuk berkampanye perang di Liaodong, Cao Cao menghentikan mereka dan menduga bahwa Gongsun Kang akan membunuhnya. Dugaan Cao Cao benar dan Gongsun Kang mengirimkan kepala Yuan Xi dan Yuan Shang kepada Cao Cao sebagai bentuk niak baik. Dengan itu, Tiongkok utara sudah diamankan dan disatukan oleh Cao Cao.[A 36] Pada musim semi tahun 207, Cao Cao mengumumkan bahwa dia akan membagikan kekayaannya kepada orang-orang yang telah membantunya, dan menganugerahkan lebih dari dua puluh pengikutnya sebagai marquise, dengan gaji yang lebih rendah untuk sisanya.[A 37] Kampanye militer Tebing Merah (207-211)Setelah menggapai kedudukan sebagai perdana menteri, Cao Cao kemudian menyusun kekuatan untuk menyerbu Tiongkok selatan yang waktu itu dikuasai oleh Liu Bei dan Sun Quan. Pertempuran Chibi adalah pertempuran di antara Cao Cao melawan aliansi Liu Bei dan Sun Quan. Cao Cao kalah telak dalam peperangan terkenal sepanjang sejarah Tiongkok ini. Mengamankan Barat Laut (211-213)Pada awal tahun 211, Cao Cao memerintahkan Zhong Yao dan Xiahou Yuan untuk memimpin pasukan untuk menyerang Zhang Lu di Hanzhong. Mereka akan melewati wilayah Guanzhong di sepanjang jalan. Para panglima perang di Guanzhong mengira bahwa Cao Cao berencana untuk menyerang mereka, jadi mereka, di bawah pimpinan Ma Chao dan Han Sui, membentuk koalisi yang dikenal sebagai Koalisi Guanxi (關西軍; "koalisi dari barat Tong Pass") dan memberontak terhadap istana kekaisaran Han.[A 38] Beberapa bulan kemudian, Cao Cao secara pribadi memimpin kampanye melawan para pemberontak dan terlibat dalam pertempuran dengan mereka di daerah sekitar Tong Pass (di wilayah Kabupaten Tongguan saat ini, Shaanxi) dan tepi Sungai Wei. Pertempuran pertama terjadi ketika pasukan Cao Cao menyeberangi Sungai Wei ke tepi utara, di mana mereka tiba-tiba diserang oleh Ma Chao. Cao Cao dan pasukannya kemudian kembali ke tepi selatan, di mana mereka membangun tembok pasir untuk menahan musuh.[A 39] Setelah beberapa waktu, para pemberontak menawarkan untuk menyerahkan wilayah dan mengirim seorang sandera ke pihak Cao Cao sebagai imbalan atas perdamaian. Bertindak atas saran Jia Xu, Cao Cao berpura-pura menerima tawaran tersebut untuk membuat musuh merasa tenang dan membuat mereka menurunkan kewaspadaan. Cao Cao kemudian berbicara dengan Han Sui (seorang kenalan lamanya) setidaknya pada dua kesempatan berbeda. Pertama kali adalah percakapan pribadi antara mereka tentang masa lalu, sedangkan yang kedua mungkin terjadi di hadapan Ma Chao dan anggota koalisi lainnya. Ma Chao dan yang lainnya mulai meragukan kesetiaan Han Sui,[B 8] terutama setelah Han Sui menerima surat dari Cao Cao yang berisi beberapa kata yang dihapus, sehingga seolah-olah penerimanya sengaja mengedit isi surat untuk menutupi sesuatu. Cao Cao memanfaatkan kecurigaan bersama antara para pemberontak untuk melancarkan serangan terhadap mereka dan mengalahkan mereka. Beberapa panglima perang tewas dalam pertempuran sementara Han Sui dan Ma Chao mundur kembali ke Guanzhong.[A 40] AkibatCao Cao kembali ke Ye (sekarang Handan, Hebei) pada akhir tahun 211 setelah menerima penyerahan diri dari salah satu panglima perang yang tersisa, Yang Qiu. Ia meninggalkan Xiahou Yuan untuk mempertahankan Chang'an, sebuah kota besar di wilayah Guanzhong dan mantan ibukota Dinasti Han. Ma Chao, yang mendapat dukungan dari suku Qiang, Di, dan suku-suku lain di Tiongkok barat, terus menghancurkan Guanzhong dan menyerang wilayah Cao Cao. Pada tahun 213, ia membunuh Wei Kang, Inspektur Provinsi Liang, merebut kendali provinsi tersebut, dan memaksa bawahan Wei Kang untuk tunduk kepadanya. Pada akhir tahun 213, Zhao Qu (趙衢), Yin Feng (尹奉), dan beberapa pejabat lain di Provinsi Liang memberontak terhadap Ma Chao dan mengusirnya dari Guanzhong. Dengan bantuan dari Zhang Lu, Ma Chao kembali dan menyerang balik musuh-musuhnya, tetapi dikalahkan ketika Xiahou Yuan memimpin bala bantuan dari Chang'an untuk membantu Zhao Qu dan sekutu-sekutunya. Xiahou Yuan kemudian menyerang sisa-sisa Koalisi Guanxi (termasuk Han Sui) dan berbagai suku di Tiongkok bagian barat dan memaksa mereka untuk menyerah. Ia juga menyingkirkan Song Jian (宋建), yang memberontak terhadap pemerintahan Han dan mendirikan kerajaan kecil di Kabupaten Fuhan (枹罕縣; barat daya Kabupaten Linxia saat ini, Gansu).[A 41] Pertempuran-pertempuran terakhir (213-220)Melawan Sun Quan (213–217)Pada awal tahun 213, Cao Cao memimpin pasukan untuk menyerang Sun Quan di Ruxu (濡須; utara Kabupaten Wuwei saat ini, Anhui, di sepanjang Sungai Yangtze). Selama pertempuran, pasukan Cao Cao menghancurkan kamp Sun Quan di tepi barat Sungai Yangtze dan menangkap Gongsun Yang (公孫陽), seorang komandan wilayah di bawah Sun Quan. Akan tetapi, secara keseluruhan, kedua belah pihak tidak memperoleh kemenangan signifikan dalam pertempuran tersebut.[A 42] Pada pertengahan tahun 214, Cao Cao melancarkan kampanye lain melawan Sun Quan yang bertentangan dengan saran Fu Gan, salah seorang penasihatnya. Sama seperti kampanye sebelumnya, ia tidak memperoleh keuntungan yang signifikan sehingga ia mundur. Pada tahun berikutnya, Sun Quan memimpin pasukannya untuk menyerang Hefei, sebuah kota yang dijaga ketat oleh jenderal-jenderal Cao Cao, Zhang Liao, Li Dian dan Yue Jin, yang menyebabkan terjadinya Pertempuran Arungan Xiaoyao. Zhang Liao dan para pembelanya memberikan kekalahan telak bagi Sun Quan dan pasukannya.[A 43] Pada musim dingin tahun 216, Cao Cao menggelar latihan militer di Ye (sekarang Handan, Hebei), di mana ia secara pribadi menabuh genderang perang untuk mengarahkan pergerakan pasukannya dan meningkatkan moral mereka.[B 9] etelah latihan itu, ia melancarkan kampanye lain melawan Sun Quan dan tiba di Juchao (居巢; sekarang Chaohu, Anhui) pada musim semi tahun berikutnya. Pada akhir Maret atau April 217, ia memerintahkan pasukannya untuk berkemah di Ngarai Hao (郝谿) di tepi barat Sungai Yangtze. Sun Quan telah membangun dermaga dan menempatkan pertahanan di Ruxu. Kedua belah pihak bertempur di Ruxu dan pertempuran berakhir dengan hasil yang tidak meyakinkan. Cao Cao menarik pasukannya pada akhir April atau Mei 217, meninggalkan Xiahou Dun, Cao Ren, Zhang Liao dan yang lainnya untuk mempertahankan Juchao.[A 44] Menguasai Hanzhong (215)Pada awal tahun 215, Cao Cao melancarkan kampanye melawan Zhang Lu di Hanzhong Commandery. Pertama-tama, ia mengirim Zhang He, Zhu Ling, dan yang lainnya untuk memimpin pasukan guna menyerang suku Di yang menghalangi jalan di Kabupaten Wudu (武都郡; sekitar Longnan, Gansu saat ini). Mereka mengalahkan dan membantai penduduk Di di Kabupaten Hechi (河池縣; barat laut Pingliang, Gansu saat ini).[A 45] Pada pertengahan tahun 215, pasukan Cao Cao mencapai Yangping Pass (陽平關; di wilayah Ningqiang, Shaanxi saat ini) setelah melakukan perjalanan panjang dan sulit melintasi daerah pegunungan. Ketika para prajuritnya mulai mengeluh, Cao Cao mengumumkan bahwa ia akan mengingat mereka atas kontribusi mereka untuk mendorong mereka terus maju.[B 10] Zhang Lu memerintahkan adiknya Zhang Wei (張衛) dan bawahannya Yang Ang (楊昂) untuk memimpin pasukan untuk mempertahankan jalur tersebut, memanfaatkan medan pegunungan untuk melawan kemajuan Cao Cao. Cao Cao tidak dapat mengalahkan musuh setelah melancarkan serangan sehingga ia mundur untuk mengejutkan mereka. Suatu malam, Cao Cao diam-diam memerintahkan Xie Biao (解忄剽) dan Gao Zuo (高祚) untuk memimpin serangan diam-diam di Jalur Yangping. Zhang Lu mundur ke Bazhong, ketika ia mendengar bahwa Jalur Yangping telah direbut. Cao Cao melanjutkan untuk menduduki Kabupaten Nanzheng, ibu kota Komando Hanzhong.[A 46] Setelah mengambil alih Komando Hanzhong, Cao Cao membuat beberapa perubahan administratif pada komando tersebut, seperti menggambar ulang batas-batas dan menunjuk beberapa administrator untuk memerintah komando yang baru dibentuk. Pada akhir tahun 215, Zhang Lu memimpin para pengikutnya keluar dari Bazhong dan secara sukarela menyerah kepada Cao Cao, yang menerima penyerahannya dan memberinya gelar marquis. Sekitar waktu itu, Liu Bei baru saja merebut kendali Provinsi Yi (sekarang Sichuan dan Chongqing) dari gubernurnya Liu Zhang dan menduduki Bazhong setelah Zhang Lu pergi. Cao Cao memerintahkan Zhang He untuk memimpin pasukan untuk menyerang Liu Bei, tetapi Zhang He kalah dari jenderal Liu Bei, Zhang Fei dalam Pertempuran Baxi. Sekitar sebulan setelah penyerahan Zhang Lu, Cao Cao meninggalkan Kabupaten Nanzheng dan kembali ke Ye (sekarang Handan, Hebei), meninggalkan Xiahou Yuan untuk menjaga Komando Hanzhong.[A 47] Kembali melawan Liu Bei (217–219)Pada musim dingin tahun 217, Liu Bei mengirim Zhang Fei, Ma Chao, Wu Lan (吳蘭) dan yang lainnya ke garnisun di Xiabian (下辯; barat laut dari daerah Cheng, Gansu saat ini). Cao Cao memerintahkang Cao Hong untuk memimpin pasukan untuk melawan musuh. Pada musim semi tahun 218, Cao Hong mengalahkan Wu Lan dan membunuh wakilnya Ren Kui (任夔). Pada bulan April atau Mei 218, Zhang Fei dan Ma Chao mundur dari Hanzhong Commandery sementara Wu Lan dibunuh oleh Qiangduan (強端), seorang kepala suku Di dari Yinping Commandery (陰平郡; sekitar daerah Wen, Gansu saat ini).[A 48] Pada bulan Agustus atau awal September 218, Cao Cao menggelar latihan militer dan melancarkan kampanye melawan Liu Bei. Pasukannya mencapai Chang'an pada bulan Oktober. Sementara itu, pasukan Liu Bei telah terlibat pertempuran dengan pasukan Cao Cao, di bawah komando Xiahou Yuan, di Hanzhong Commandery. Pada awal tahun 219, Xiahou Yuan tewas dalam pertempuran di Gunung Dingjun melawan jenderal Liu Bei, Huang Zhong. Pada bulan April 219, Cao Cao memimpin pasukannya dari Lintasan Yangping (陽平關; di Kabupaten Ningqiang saat ini, Shaanxi) menuju Hanzhong melalui Lembah Xie (斜谷). Liu Bei memanfaatkan keuntungan geografis yang dimilikinya – daerah pegunungan – untuk menahan Cao Cao.[A 49] Pada bulan Juli itu, Cao Cao menarik pasukannya kembali ke Chang'an.[A 50] Kampanye militer Hanzhong adalah pertempuran terakhir dimana Cao Cao secara pribadi memimpin pasukannya. Melawan Guan Yu (219–220)Pada musim gugur tahun 219, Cao Cao memerintahkan Yu Jin untuk memimpin tujuh pasukan untuk memperkuat Cao Ren, yang dikepung oleh Guan Yu di Fancheng. Akan tetapi, karena hujan lebat, Sungai Han meluap dan tujuh pasukan hancur karena banjir. Guan Yu menangkap Yu Jin, mengeksekusi bawahannya Pang De, dan terus menyerang Cao Ren. Cao Cao memerintahkan Xu Huang untuk memimpin pasukan lain untuk membantu Cao Ren.[A 51] Saat bersamaan, Cao Cao berpikir ingin memindah ibukota keluar dari Xuchang menuju ke Hebei untuk menghindari Guan Yu, namun Sima Yi dan Jiang Ji memberi tahu Cao Cao bahwa Sun Quan akan gelisah ketika mendengar kemenangan Guan Yu. Mereka menyarankan Cao Cao untuk bersekutu dengan Sun Quan dan meminta bantuannya untuk menghalangi kemajuan Guan Yu. Sebagai balasannya, Cao Cao akan mengakui keabsahan klaim Sun Quan atas wilayah di Jiangdong. Dengan cara ini, pengepungan di Fancheng akan otomatis dicabut. Cao Cao mengindahkan saran mereka.[A 52] Cao Cao tiba di Luoyang pada awal musim dingin tahun 219 setelah kembali dari kampanye di Hanzhong. Ia kemudian memimpin pasukan dari Luoyang untuk membebaskan Cao Ren, tetapi berbalik sebelum mencapai tujuannya setelah menerima berita bahwa Xu Huang telah mengalahkan Guan Yu dan menghentikan pengepungan di Fancheng.[A 53] Pada musim semi tahun 220, Cao Cao kembali ke Luoyang dan tinggal di sana. Sementara itu, Sun Quan telah mengirim jenderalnya Lü Meng dan yang lainnya untuk melancarkan serangan diam-diam ke wilayah Liu di Provinsi Jing saat Guan Yu sedang dalam kampanye Fancheng, dan mereka berhasil menaklukkan pangkalan utama Guan Yu di Kabupaten Gong'an dan Kabupaten Jiangling. Guan Yu, setelah kehilangan pangkalannya dan dipaksa mundur dari Fancheng, akhirnya dikepung oleh pasukan Sun Quan dan ditangkap dalam penyergapan serta dieksekusi. Sun Quan mengirim kepala Guan Yu ke Cao Cao.[A 54] Cao Cao kemudian menyelenggarakan pemakaman Guan Yu secara bangsawan dan kepala Guan Yu dikubur dengan penghormatan tinggi.[B 11] Gelar bangsawan (213–220)Adipati WeiCao Cao kembali ke Ye setelah bertempur di Pertempuran Lintasan Tong. Kaisar Xian menganugerahinya hak istimewa khusus yang sama seperti yang dianugerahi kepada Xiao He oleh Liu Bang. Cao Cao tidak perlu dipanggil namanya ketika ia tiba, tidak perlu berjalan cepat masuk ke istana, dan diperbolehkan membawa pedang upacara dan memakai sepatu ketika ia berada di dalam istana. empat belas kabupaten dari lima komando berbeda dipisahkan dari komando masing-masing dan ditempatkan di bawah yurisdiksi Komando Wei (魏郡; sekitar saat ini Handan, Hebei).[A 55] Pada 213, setelah Cao Cao pulang dari Pertempuran Ruxu melawan Sun Quan, Kaisar Xian bertitah bahwa sistem 14 provinsi akan dihapus dan digantikan kembali oleh sistem Sembilan Provinsi. Sebulan setelah Cao Cao kembali ke Ye, Kaisar Xian mengutus Chi Lü untuk menganugerahi Cao Cao dengan gelar Adipati Wei (魏公). Setelah Cao Cao menolak tiga kali seperti biasa,[d] ia menerima gelar tersebut saat gelar itu diberikan kepadanya pada kesempatan keempat saat Kaisar Xian mengirimkan delegasi 30 pejabat istana menuju kediamannya.[B 12] Pada Agustus 213, sebuah kuil leluhur dan altar tanah dan sereal mulai dibangun di Kadipaten Wei. Kemudian, Kaisar Xian mengutus sebuah delegasi enam orang yang dipimpin oleh Wang Yi (王邑) untuk memberikan hadiah pertunangan berupa giok, sutra, dan barang berharga lainnya kepada Cao Cao sebagai bagian dari pengaturan agar tiga putri Cao Cao menjadi selir kaisar: Cao Jie, Cao Hua, dan Cao Xian.[B 13][A 56] Perlu dipahami bahwa pemberian kehormatan, gelar, hak prerogatif, dan pengaturan pernikahan kekaisaran ini bukan atas inisiatif kaisar sendiri, tetapi diatur oleh Cao Cao dan stafnya, yang mengendalikan Sekretariat Kekaisaran. Bahkan sejak Kitab Han Akhir, hanya sedikit sejarawan yang memberikan Cao Cao kedok legitimasi dalam pengangkatan dan pemberian kekuasaannya, dengan tidak menyebutkan kaisar dan sebaliknya menggambarkan tindakan tersebut sebagai keputusan pribadi. Pada bulan Oktober 213, Cao Cao memerintahkan pembangunan Golden Tiger Platform (金虎臺) dan jalur air yang menghubungkan Sungai Zhang dan Kanal Putih (白溝). Sebulan kemudian, ia membagi Wei Commandery menjadi divisi timur dan barat, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Komandan. Pada bulan Desember, ia mendirikan sekretariat adipati di wilayah kekuasaannya bersama dengan kantor-kantor Pelayan Istana dan Enam Menteri.[A 57] Pada akhir Januari atau Februari 214, Cao Cao menghadiri upacara, yang dikenal sebagai ji li (籍禮), untuk mempromosikan pertanian.[e][6] Pada akhir Maret atau April, Kaisar Xian mengutus Yang Xuan (楊宣) dan Pei Mao (裴茂)[B 14] untuk untuk memberikan Cao Cao stempel resmi emas dengan pita merah dan yuanyou guan (遠遊冠),[f] menempatkan Cao (yang saat itu masih seorang adipati) pada posisi di atas bangsawan lainnya.[A 58] Pada bulan Desember 214 atau Januari 215, Permaisuri Fu Shou menulis surat rahasia kepada ayahnya Fu Wan (伏完) untuk memberi tahu bahwa Kaisar Xian membenci Cao Cao karena mengeksekusi Dong Cheng. Isi surat itu penuh kebencian. Insiden itu terbongkar dan Permaisuri Fu digulingkan dan dieksekusi, keluarganya diasingkan.[A 59] Pada bulan Januari atau Februari 215, Cao Cao pergi ke Meng Ford (孟津), tempat yang penting secara historis di dekat lokasi Pertempuran Muye kuno. Kaisar Xian mengizinkannya membuat maotou (旄頭; spanduk yang dihiasi ekor binatang, biasanya disediakan untuk kaisar) dan mendirikan zhongju (鍾虡; tempat menggantung lonceng) di istananya. Cao Cao kemudian mengeluarkan dua pernyataan resmi dan mendirikan licaoyuan (理曹掾; kementerian kehakiman).[A 60] Pada musim semi tahun 215, Kaisar Xian mengangkat putri Cao Cao, Cao Jie, sebagai permaisuri baru. Cao Cao mengunjungi empat daerah pemilihan dan menggabungkannya menjadi kabupaten baru – Kabupaten Xinxing (新興郡; 'Kabupaten yang Baru Bangkit') – dengan salah satu daerah sebagai ibu kota kabupaten. Pada musim dingin, ketika ia pergi ke Hanzhong, Cao Cao menciptakan gelar Lima Penasihat dan gelar marquis nominal untuk pertama kalinya, di samping enam tingkatan pangkat marquis asli.[g] Pada bulan Februari atau awal Maret 216, Cao Cao kembali ke Ye (sekarang Handan, Hebei) setelah kampanye yang sukses melawan Zhang Lu di Komando Hanzhong.[A 61] Dua bulan kemudian, dia menghadiri upacara ji li (籍禮) lainnya.[A 62] Raja WeiPada bulan Juni 216, Kaisar Xian mengangkat Cao Cao dari seorang adipati menjadi raja bawahan dengan gelar "Raja Wei" (魏王). Cao Cao memanggil Sima Fang, yang telah merekomendasikannya untuk menjadi Komandan Distrik Utara di Luoyang di awal kariernya, untuk menemuinya di Ye, di mana mereka berbincang-bincang.[h] Kemudian, chanyu Pufulu (普富盧) dari Wuhuan dari Dai Commandery (代郡; barat laut dari Kabupaten Yu saat ini, Hebei) memimpin berbagai rakyatnya ke Ye untuk membayar upeti kepada Cao Cao. Sekitar waktu yang sama, Kaisar Xian mengangkat salah satu putri Cao Cao sebagai putri dan memberinya wilayah kekuasaan dengan beberapa rumah tangga kena pajak. Pada bulan Agustus 216, chanyu Huchuquan dari Xiongnu Selatan membawa serta rakyatnya untuk membayar upeti kepada Cao Cao, yang memperlakukan mereka seperti tamu. Huchuquan tetap berada di kerajaan bawahan Cao Cao sementara bekas wilayah Xiongnu Selatan di provinsi Bing direorganisasi menjadi "Lima Divisi" (五部) dan ditempatkan di bawah pengawasan paman Huchuquan, Qubei. Pada bulan September, Cao Cao mempromosikan Zhong Yao dari posisi Hakim Agung (大理) di bawah pemerintahan pusat Han menjadi Kanselir Kerajaan (相國) di kerajaan bawahannya.[A 63] Ia juga mendirikan kantor Menteri Upacara Leluhur (奉常) dan Menteri Klan Kerajaan (宗正) di kerajaan bawahannya.[B 16] Pada akhir Mei atau Juni 217, Kaisar Xian mengizinkan Cao Cao memiliki jingqi (旌旗; panji) pribadinya dan memerintahkan pengawal kekaisaran untuk membersihkan jalan saat Cao bepergian. Pada akhir Juni atau Juli, Cao Cao memerintahkan pembangunan pangong (泮宮).[i] Pada bulan Juli atau Agustus, Hua Xin diangkat sebagai Penasihat Kekaisaran (御史大夫). Cao Cao juga mendirikan kantor Menteri Pengawal (衞尉) di kerajaan bawahannya.[B 17] Pada bulan November atau Desember, Kaisar Xian memberikan lebih banyak hak istimewa seremonial kepada Cao Cao: memiliki dua belas rumbai mutiara di mahkotanya; menaiki kereta emas yang ditarik oleh enam ekor kuda; memiliki lima kereta lain untuk menemani kereta utamanya saat ia bepergian. Putra Cao Cao, Cao Pi, yang menjabat sebagai Jenderal Rumah Tangga untuk Semua Keperluan (五官中郎將) di istana kekaisaran Han, ditunjuk sebagai Putra Mahkota (太子) kerajaan bawahan Cao Cao.[A 64] Pada bulan Februari atau awal Maret 218, tabib istana Ji Ben, bersama dengan Geng Ji (耿紀), Wei Huang (韋晃) dan yang lainnya, memulai pemberontakan di ibu kota kerajaan Xuchang dan menyerang kamp Wang Bi (王必), seorang kepala juru tulis di bawah Cao Cao. Wang Bi memadamkan pemberontakan tersebut dengan bantuan Yan Kuang (嚴匡), seorang Jenderal Pertanian Rumah Tangga (典農中郎將).[A 65] Pada akhir Juli atau Agustus 219, Cao Cao menunjuk Nyonya Bian sebagai Permaisuri sahnya.[A 66] Beberapa bulan kemudian, Sun Quan menulis surat kepada Cao Cao menyatakan bahwa ia bersedia untuk tunduk kepada Cao Cao dan memintanya untuk menggulingkan Kaisar Xian dari Han dan mendeklarasikan dirinya sebagai kaisar. Cao Cao menunjukkan surat Sun Quan kepada bawahannya dan berkata: "Anak ini ingin menaruh saya diatas api!". Beberapa pejabat Cao Cao seperti Chen Qun, Huan Jie, dan Xiahou Dun juga meminta Cao Cao untuk menggulingkan Kaisar Xian dan menjadi kaisar, namun Cao Cao menolak usulan tersebut.[B 18][B 19] KematianCao Cao meninggal pada 15 Maret 220 di Luoyang pada usia 66 tahun. Ia diberikan nama anumerta Raja Wu ("Raja Pejuang") oleh Kaisar Xian. Di wasiatnya, Cao Cao memerintah agar jasadnya dikubur dekat kuburan Ximen Bao di Ye tanpa perhiasan emas atau giok, dan meminta aparat pemerintahan untuk tetap bekerja dan tidak menghadiri pemakamannya karena "negara masih belum aman".[A 67] Ia dimakamkan pada tanggal 11 April 220 di Gaoling (高陵; "makam tinggi").[A 68] Pada bulan Desember 220 atau awal Januari 221, setelah Cao Pi memaksa Kaisar Xian untuk turun takhta demi kepentingannya dan mendirikan negara Cao Wei, ia memberikan ayahnya gelar anumerta "Kaisar Wu" (武皇帝; "Kaisar Pejuang")[A 69] dan nama kuil "Taizu" (太祖; "Leluhur Agung").[Z 1] Makam Cao CaoPada tanggal 27 Desember 2009, Biro Warisan Budaya Provinsi Henan melaporkan penemuan makam Cao Cao di Desa Xigaoxue, Kabupaten Anyang, Henan. Makam yang luasnya 740 meter persegi itu ditemukan pada bulan Desember 2008 ketika para pekerja di tempat pembakaran batu di dekatnya sedang menggali lumpur untuk membuat batu bata. Penemuannya tidak dilaporkan dan pemerintah setempat baru mengetahuinya ketika mereka menyita sebuah lempengan batu yang bertuliskan 'Raja Wu dari Wei' – gelar anumerta Cao Cao – dari para perampok makam yang mengaku telah mencurinya dari makam tersebut. Selama tahun berikutnya, para arkeolog menemukan lebih dari 250 relik dari makam tersebut. Sisa-sisa tiga orang – seorang pria berusia 60-an, seorang wanita berusia 50-an, dan seorang wanita berusia 20-an – juga ditemukan dan diyakini sebagai sisa-sisa Cao Cao, salah satu istrinya, dan seorang pembantunya.[7] Sejak ditemukannya makam tersebut, banyak skeptis dan ahli yang menunjukkan masalah-masalah yang ada di dalamnya dan menimbulkan keraguan tentang keasliannya.[8] Pada bulan Januari 2010, Administrasi Negara Warisan Budaya secara hukum mengesahkan hasil awal penelitian yang dilakukan sepanjang tahun 2009 yang menunjukkan bahwa makam itu adalah milik Cao Cao.[9] Namun, pada Agustus 2010, 23 ahli dan pakar sejarah menyampaikan bukti di sebuah forum yang diadakan di Suzhou untuk menyatakan bahwa temuan dan artefak makam tersebut palsu.[10] Pada tahun 2010, arkeolog Zhang Guo'an menerbitkan sebuah buku yang menyatakan bahwa makam tersebut dan makam di sebelahnya sebenarnya milik Cao Huan (cucu Cao Cao) dan ayahnya Cao Yu.Kesalahan pengutipan: Tag Pada tahun 2010, makam ini menjadi bagian dari kelompok kelima Situs Sejarah dan Budaya Utama yang Dilindungi di Tingkat Nasional di Tiongkok.[11] Pada April 2023, sebuah museum telah dibangun dan dibuka dekat pemakaman tersebut.[12] KeluargaCao Cao memiliki 15 istri dan selir, beserta 25 putra, 6 putri dan 2 putra tiri menurut catatan sejarah. Istri resmi pertamanya merupakan Nyonya Ding yang membesarkan putra sulungnya, Cao Ang (yang lahir dari selirnya Nyonya Liu). Dia berselisih dengannya setelah kematian Cao Ang dan secara efektif berpisah darinya. Setelah Nyonya Ding meninggalkannya, Nyonya Bian dijadikan istri utama Cao Cao dan ia tetap berada di posisi ini sepanjang hidupnya. Di antara semua putra Cao Cao yang terkemuka (selain Cao Ang), ada Cao Pi, Cao Zhi, Cao Zhang dan Cao Chong yang pada beberapa saat kehidupan Cao Cao, sempat dipikirkan untuk dijadikan calon pewarisnya. Cao Chong yang lahir dari Nyonya Huan merupakan seorang anak ajaib dan menjadi anak kesayangan Cao Cao. Ia membuat metode untuk menimbang gajah dengan gaya apung. Namun, Cao Chong meninggal prematur dengan usia 12 tahun, membuat Cao Cao murka. Sementara Cao Pi, Cao Zhi, dan Cao Zhang yang lahir dari Nyonya Bian mewarisi beberapa keahlian ayahnya; Cao Pi di bidang politik, Cao Zhi di bidang sastra, dan Cao Zhang di bidang militer. Cao Pi akhirnya dipilih sebagai pewaris Cao Cao setelah perseteruan keluarga mengenai pewaris Cao Cao, mengalahkan Cao Zhi.[j] Tiga dari putri Cao Cao, Cao Xian, Cao Jie dan Cao Hua dijadikan dinikahkan kepada Kaisar Xian dari Han. Dua anak tiri Cao Cao, Qin Lang dan He Yan, lahir dari pernikahan sebelumnya. Ia memiliki beberapa anak angkat, salah satu diantaranya merupakan Cao Zhen. Sepupu
PutraCao Cao memiliki 25 orang putra. Karena urutan biografi didasarkan pada status ibu dan bukan senioritas, urutan keseluruhannya tidak diketahui. Namun diketahui bahwa putra sulung Cao Cao merupakan Cao Ang yang juga pada saat ia masih hidup, menjadi anak kesayangan Cao Cao. Berikut ini adalah tabel urutan putra Cao Cao berdasarkan ibunya.
PutriDalam catatan sejarah Tiongkok, Cao Cao dicatat dikaruniai 6 orang putri, antara lain berikut.
Selain itu, catatan Li Shan untuk "Wei Wuwen yang Berkabung" karya Lu Ji di "Zhaoming Wenxuan" mengutip "Wei Lue" dan mengatakan: Taizu Furen melahirkan Pei Wang Bao dan Putri Gaocheng. Tidak diketahui apakah Putri Gaocheng dan Putri Jinxiang adalah orang yang sama. Keponakan
Keturunan
Riset keturunan Cao CaoCao Cao konon adalah keturunan Cao Shen, seorang negarawan awal Han Barat. Pada awal tahun 2010-an, para peneliti dari Universitas Fudan membandingkan kromosom Y yang dikumpulkan dari gigi kakek Cao Cao, Cao Ding (曹鼎), dengan kromosom Cao Shen dan menemukan perbedaan yang signifikan. Oleh karena itu, klaim bahwa Cao Cao adalah keturunan Cao Shen tidak didukung oleh bukti genetik.[14] Para peneliti juga menemukan bahwa kromosom Y Cao Ding cocok dengan kromosom Y yang diproklamirkan sebagai keturunan Cao Cao yang masih hidup dan memegang catatan garis keturunan sejak lebih dari 100 generasi yang lalu.[15] Zhu Ziyan, seorang profesor sejarah dari Universitas Shanghai, berpendapat bahwa gigi Cao Ding saja tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk menentukan nenek moyang Cao Cao. Dia ragu apakah mereka yang mengaku sebagai keturunan Cao Cao memang benar demikian karena catatan silsilah yang berasal dari Dinasti Song (960–1279) sudah sangat langka saat ini, apalagi yang berasal dari era Tiga Kerajaan (220– 280). Selain itu menurut catatan sejarah, Cao Ding adalah adik dari kasim Cao Teng, yang mengadopsi ayah kandung Cao Cao, Cao Song. Oleh karena itu, Cao Cao tidak mempunyai hubungan darah dengan Cao Ding; yaitu, Cao Ding bukanlah kakek sebenarnya dari Cao Cao. Zhu Ziyan menyebutkan bahwa penelitian Universitas Fudan hanya membuktikan bahwa mereka yang mengaku sebagai keturunan Cao Cao memiliki hubungan keluarga dengan Cao Ding; itu tidak secara langsung menghubungkan mereka dengan Cao Cao.[16] Kehidupan pribadiWalaupun menjabat sebagai orang nomor dua di Dinasti Han setelah kaisar, pada kehidupan sehari-harinya Cao Cao hidup hemat dan sederhana, tidak menunjukkan minat khusus pada daya tarik estetika. Di rumah, ia hanya menggunakan baju dan sepatu sederhana. Saat sekesel rumahnya rusak, ia hanya meminta pelayan untuk memperbaikinya. Dia hanya mengandalkan kasur dan selimut untuk kehangatan, dan tidak memiliki hiasan dekoratif di rumahnya.[B 20] Saat hendak menerima tamu, dia mengenakan topi dan pakaian sederhana yang terbuat dari sutra mentah serta memiliki kantong berisi sapu tangan dan barang-barang kecil lainnya yang ditempelkan di ikat pinggangnya. Di luar jam kerjanya, Cao Cao berperilaku seperti orang yang sembrono dan tanpa beban. Saat sedang mengobrol dengan orang lain, dia berbicara dengan santai, kadang-kadang mengolok-olok orang lain, dan berbagi apapun yang ia pikirkan. Sekali dalam suatu jamuan makan, ia terhibur oleh sebuah candaan sampai ia tertawa terbahak-bahak sampai ia membenturkan kepalanya ke piring dan mengotori wajah dan pakaiannya.[B 21] Rendahnya penghargaan Cao Cao terhadap kekayaan materi tidak hanya memengaruhi kehidupan pribadinya, tetapi juga karier politik dan militernya serta aspek-aspek lain dalam hidupnya. Pada akhir Dinasti Han Timur, fujin (幅巾; mirip dengan bokgeon), terutama yang terbuat dari sutra, menjadi populer di kalangan bangsawan-sarjana dan kelas atas karena mereka merasa bahwa mengenakan fujin membuat seseorang tampak berbudaya dan berkelas. Namun, Cao Cao tidak setuju mengenakan tutup kepala yang mahal karena ia merasa bahwa negara itu kekurangan sumber daya moneter karena kekacauan dan kelaparan, oleh karena itu ia menganjurkan untuk mengganti fujin sutra dengan bians (弁; sejenis topi) yang lebih tua yang terbuat dari kulit. Ia juga menyarankan penggunaan warna (bukan bahan) untuk membedakan status dalam militer. Idenya diterapkan. Ia juga menciptakan sejenis topi, qia (帢), untuk pakaian kasual.[B 22] Ia merasa sangat disayangkan jika acara pernikahannya terlalu mewah, sehingga ketika putrinya menikah, ia hanya berpakaian sederhana dan hanya ditemani oleh 10 dayang saja.[B 23] Setelah memenangkan pertempuran, ia memberikan rampasan perang kepada anak buahnya yang telah memberikan kontribusi. Ia memberi penghargaan besar kepada mereka yang layak diberi penghargaan; orang-orang yang tidak layak yang berharap menerima sesuatu darinya telah kandas. Ketika orang lain memberikan hadiah kepadanya, ia membagikan hadiah tersebut kepada bawahannya. Ia merasa tidak ada manfaatnya memiliki banyak barang karena barang-barang seperti itu pada akhirnya akan rusak. Ia sendiri yang menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya di pemakaman dan barang-barang yang akan dibawanya saat dikubur, yang cukup untuk mengisi empat peti saja.[B 24] HobiCao Cao dikenal sangat ahli dalam pertarungan tangan kosong. Ketika dia masih muda, dia pernah masuk ke kamar pribadi kasim Zhang Rang tetapi ketahuan. Hanya berbekal tombak ji pendek, dia mengacungkan senjatanya ke arah penjaga saat dia perlahan mundur dan akhirnya memanjat tembok dan melarikan diri.[B 25] Ia juga suka berburu, pernah menembak jatuh 63 burung pegar dalam satu hari selama ekspedisi berburu di Kabupaten Nanpi.[B 26] Cao Cao gemar membaca buku, terutama kitab militer dan perjanjian. Selain menulis jurnal militer dan membuat anotasi The Art of War karya Sun Tzu, ia juga mengumpulkan berbagai buku militer dan menyusun kutipannya. Karya-karyanya tersebar ke mana-mana. Ia juga membagikan bahan bacaan baru kepada para perwiranya ketika mereka pergi berperang. Sepanjang 30 tahun karir militernya, Cao Cao menempatkan waktu untuk membaca.[B 27][B 28] Saat Sun Quan menyemangati Lü Meng untuk belajar, ia berkata "Mengde saja setuju bahwa ia sudah tua, tetapi ia tetap giat belajar".[B 29] Beberapa minat dan hobi Cao Cao lainnya tercatat dalam Bowuzhi karya Zhang Hua, yang menyebutkan bahwa ia menyukai kaligrafi, musik, dan weiqi. Kemahirannya dalam seni-seni ini sebanding dengan para ahli lain yang hidup sekitar waktu yang sama dengannya, seperti: kaligrafer Cui Yuan, Cui Shi (崔寔), Zhang Zhi dan Zhang Xu (張昶); musisi Huan Tan dan Cai Yong; dan pemain weiqi Shan Zidao (山子道), Wang Jiuzhen (王九真) dan Guo Kai (郭凱). Cao Cao juga tertarik pada alkimia dan seni umur panjang. Ia bertemu dan mencari bantuan dari berbagai fangshi, termasuk Zuo Ci, Hua Tuo, Gan Shi (甘始) dan Xi Jian (郄儉). Bowuzhi menyatakan bahwa ia mencoba mencicipi kudzu liar hingga satu chi panjangnya dan menyeruput anggur yang dicelupkan dengan bulu zhen.[B 30] PenyairCao Cao merupakan seorang penyair yang hebat. Bersama dengan kedua anaknya, Cao Pi dan Cao Zhi, ketiganya disebut sebagai "Tiga Cao". Buku Wei menyatakan bahwa setiap kali ia menuju ke tempat yang tinggi, dia akan mengarang ode dan puisi dan mengubahnya menjadi karya musik dengan bantuan musik pengiring.[B 31] Cao Cao juga mendukung penyair lainnya seperti Xu Gan.[17] Dari semua karya yang pernah dibuat Cao Cao, hanya sedikit yang masih bertahan hingga masa kini. Syair-syairnya, yang sederhana namun mendalam, membantu membentuk kembali gaya puisi pada masanya dan seterusnya, yang pada akhirnya berkontribusi pada gaya puisi yang diasosiasikan dengan puisi Dinasti Tang. Gaya syair karya "Tiga Cao" bersama penyair lainnya seperti Xu Gan, Kong Rong dan lain-lain dikenal dengan gaya syair Jian'an yang kemudian berkontribusi kepada gaya syair Dinasti Tang dan kemudian. Cao Cao juga menulis syair dalam gaya empat karakter per baris yang lebih tua yang menjadi ciri khas Puisi Klasik. Burton Watson menggambarkan Cao Cao sebagai: "satu-satunya penulis pada masa itu yang berhasil menanamkan vitalitas apa pun pada meteran empat karakter lama, terutama karena dia membuang diksi kuno yang terkait dengannya dan menggunakan bahasa puitis biasa pada masanya."[18] Cao Cao juga dikenal karena kontribusi awalnya pada genre puisi Shanshui, dengan puisi 4 karakter per baris, 14 baris "Pemandangan Laut Biru" (觀滄海).[19] EvaluasiOpini mengenai Cao Cao dari Dinasti Jin (266–420) dan seterusnya hingga masa kini memiliki konotasi berbeda. Beberapa memuji Cao Cao karena ahlinya sebagai seorang sastrawan dan ilmu politik dan militernya. Namun beberapa juga memandangnya secara negatif karena kekejiannya, kelicikannya dan diduga ingin berkhianat. Di kebanyakan pertunjukan yang berlatarkan Zaman Tiga Negara, Cao Cao secara stereotip digambarkan sebagai orang yang licik, haus kekuasaan dan tiran, berfungsi sebagai musuh berbuyutan bagi Liu Bei yang secara stereotip bertolak belakang dengannya. Chen Shou, yang menulis biografi resmi Cao Cao dalam Sanguozhi, memuji Cao Cao atas kebijaksanaan dan kecerdasannya yang patut dicontoh serta promosinya terhadap meritokrasi dalam layanan sipil dan militer. Ucapan penutup Chen Shou tentang Cao Cao adalah "seorang pria luar biasa dan pahlawan yang luar biasa pada masanya."[A 70] Pada masa Dinasti Tang (618–907), Kaisar Taizong dari Tang menulis pidato elegi untuk Cao Cao, memuji Cao Cao atas kemampuannya mempertahankan kendali situasi politik dalam periode yang penuh gejolak, dan berkomentar bahwa Cao Cao "sangat brilian untuk seorang pemimpin militer tetapi tidak cukup kompeten untuk memerintah sebagai seorang kaisar.".[Z 2][20] Namun, sejarahwan Liu Zhiji mengutuknya karena perlakuan opresif terhadap Kaisar Xian dari Han dan perannya dalam membunuh Permaisuri Fu Shou, mengeklaim bahwa kejahatan Cao Cao tidak kalah kejinya dengan Tian Chengzi[k] dan Wang Mang.[21] Luo Guanzhong pada Dinasti Ming menulis Kisah Tiga Negara yang memperwatakan Cao Cao sebagai tokoh antagonis utama. Kisah hidupnya, seperti semua tokoh yang ada di buku ini, diromantisasi. Penulis abad ke-20 Lu Xun pernah berkata:"Sebenarnya, Cao Cao adalah orang yang mampu dan ia setidaknya merupakan seorang pahlawan. Saya mungkin tidak setuju dengan Cao Cao, namun saya selalu sangat terkesan padanya."[22] Mao Zedong, pemimpin pertama Republik Rakyat Tiongkok dikenal sangat mengagumi Cao Cao dan dia secara aktif menganjurkan pemberian "ganti rugi" historis bagi panglima perang ini. Pujiannya terhadap Cao Cao didasari tiga hal: Bakatnya sebagai seorang penyair; kontribusi Cao Cao terhadap persatuan Tiongkok (setelah Zaman Tiga Negara); dan tekadnya dalam menghadapi kesulitan.[23] Sejarahwan modern seperti Lu Simian dan Yi Zhongtian memberikan penilaian netral terhadap Cao Cao. Diantara 2006 dan 2007, Yi Zhongtian menyelenggarakan 52 kuliah mengenai Zaman Tiga Negara, dan sepertiga dari kuliah itu membahas Cao Cao. Kuliah ini disiarkan dalam acara CCTV Lecture Room.[24] Gedung perpustakaan Akademi Militer Amerika Serikat di West Point, New York menyimpan Seni Berperang karya Sun Tzu dengan anotasi dan komentar Cao Cao. AnekdotPei SongzhiPaman Cao Cao beberapa kali mengeluh kepada Cao Song tentang perilaku keponakannya, sehingga Cao Cao menjadi lebih waspada terhadap pamannya. Suatu hari, Cao Cao bertemu pamannya di jalan dan berpura-pura memutar mulutnya dan jatuh ke tanah. Ketika pamannya bertanya apa yang terjadi, dia mengaku lumpuh setelah terserang stroke. Paman Cao Cao pergi memberi tahu Cao Song, yang segera bergegas ke tempat kejadian, di mana dia melihat bahwa putranya sudah sembuh. Cao Song bertanya kepada putranya: "Pamanmu mengatakan kamu terserang stroke. Benarkah?" Cao Cao menjawab: "Aku tidak terserang stroke, tetapi aku telah kehilangan kasih sayang pamanku, yang mungkin menjadi alasan mengapa dia mengatakan sesuatu yang begitu buruk tentangku." Cao Song memercayai putranya dan menolak untuk mempercayai saudaranya lagi ketika saudaranya mengeluh tentang Cao Cao. Cao Cao dapat melakukan apa yang diinginkannya.[B 32] Yuan Zhong (袁忠), kepala administrasi di kampung halaman Cao Cao, berusaha mengadili Cao Cao saat ia masih seorang pemuda nakal dan pemalas. Huan Shao (桓邵), yang juga berasal dari kampung halaman Cao Cao, memperlakukan Cao Cao dengan hina saat ia masih muda. Setelah Cao Cao menjadi Inspektur Provinsi Yan pada awal tahun 190-an, Bian Rang (邊讓), yang berasal dari Komando Chenliu (陳留郡; sekitar Kaifeng saat ini), menghina dan meremehkannya. Cao Cao menangkap dan mengeksekusi Bian Rang beserta keluarganya. Yuan Zhong dan Huan Shao melarikan diri ke Provinsi Jiao untuk menghindari Cao Cao, tetapi Cao memerintahkan Administrator Provinsi Jiao, Shi Xie, untuk melacak dan membunuh mereka beserta keluarga mereka. Huan Shao menyerah untuk melarikan diri, menyerah kepada Cao Cao dan memohon agar ia diampuni. Cao Cao bertanya kepadanya dengan dingin: "Kau pikir kau bisa terhindar dari kematian hanya dengan berlutut di hadapanku?" Dia kemudian memerintahkan eksekusi Huan Shao.[B 33] Dalam satu ekspedisi militer, saat pasukannya hendak melewati ladang padi, Cao Cao memerintahkan pasukannya untuk tidak menginjak padi dan mereka yang melanggar perintah tersebut akan dihukum mati. Pasukannya turun dari kuda mereka dan mulai berjalan perlahan-lahan melewati ladang padi tersebut. Namun, kuda Cao Cao tiba-tiba lari menuju ladang padi dan merusak tanaman padi. Cao Cao kemudian memanggil registrarnya (主簿) dan bertanya apa hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Registrar tersebut berkata bahwa walaupun Cao Cao harus dihukum mati, menurut filsafat Konghucu, Cao Cao selaku pembuat peraturan tersebut dan sebagai orang yang berstatus tinggi dibebaskan dari hukuman tersebut. Cao Cao berkata: "Bagaimana saya bisa memberi contoh kepada pasukan saya jika saya sendiri melanggar perintah saya? Namun, saya adalah seorang komandan jadi saya tidak bisa menghukum mati diri saya sendiri. Tetapi saya masih harus menghukum diriku sendiri". Ia kemudian menghunus pedangnya, memotong rambutnya, dan melemparkannya ke tanah.[l][B 34] Di beberapa tradisi, diceritakan bahwa Cao Cao membunuh kudanya.[25] Dalam suatu kampanye militer, Cao Cao mengalami kesulitan persediaan makanan. Saat persediaan makanannya habis, ia bertanya kepada petugas logistik apa yang harus mereka lakukan. Petugas tersebut menyarankan kepada Cao Cao untuk memotong jatah makanan. Cao Cao setuju. Kemudian, saat ada rumor menyatakan bahwa Cao Cao telah 'menipu' pasukannya dan disebar luas, Cao Cao memanggil petugas logistik tersebut dan berkata: "Saya ingin meminjam kepalamu untuk menenangkan pasukan, atau masalah ini tidak akan selesai". Petugas itu dipenggal mati dan memperlihatkan kepalanya kepada seluruh pasukan dan berkata: "(Orang ini) mencuri dari gudang dan mengurangi jumlah gandum yang dijatah. Saya mengeksekusinya berdasarkan hukum militer".[B 35] Setelah Xiahou Yuan gugur di Pertempuran Gunung Dingjun, Cao Cao menjadi putus asa dan berpikir untuk mundur dari Hanzhong tetapi tidak mau mengakui keinginannya kepada bawahannya. Ia memberikan perintah "rusuk ayam" (雞肋) ke pasukannya saat ditanya kode sandi ronda malam. Perintah itu membuat bingung bawahannya yang tidak mengerti maksudnya. Yang Xiu, seorang registrar yang bekerja dibawah Cao Cao kemudian memerintah pasukan untuk menghancurkan perkemahan dan pelan-pelan mundur. Yang Xiu mendengarkan arahan pengawal tersebut dan menginterpretasikan bahwa "rusuk ayam" adalah sebuah pesan metafora oleh Cao Cao dan memerintah seluruh jenderal untuk mengemas dan menghancurkan kamp. Logika Yang Xiu adalah: Rusuk ayam susah dimakan, tetapi tidak sepenuhnya tak berguna, sama seperti keadaan sulit yang dihadapi Cao Cao.[B 36] Cao Cao yang mendengarkan perintah Yang Xiu naik pitam dan menghukum mati Yang Xiu. Sesuai prediksi Yang Xiu, Cao Cao mundur ke Chang'an dan menyerahkan Hanzhong kepada Liu Bei. Di Luoyang beberapa bulan kemudian, dia mengunjungi kembali kantor tempat dia pertama kali menjabat sebagai Komandan Distrik Utara (北部尉) di awal karirnya.[B 37] Shiyu dan Cao Man Zhuan menyajikan kisah dramatis tentang peristiwa-peristiwa sebelum kematian Cao Cao. Shiyu menyebutkan bahwa setelah kembali ke Luoyang dari Hanzhong Commandery, Cao Cao ingin membangun aula istana sehingga ia memerintahkan Kuil Zhuolong (濯龍祠) dihancurkan untuk memberi jalan, tetapi darah tumpah dari pohon.[B 38] Cao Man Zhuan menyebutkan bahwa Cao Cao ingin memindahkan pohon pir. Ketika para pekerja mencabut pohon itu, darah mengalir keluar dari akarnya, dan para pekerja semuanya terkejut. Cao Cao mendengar tentang hal itu dan pergi ke sana untuk melihat lebih dekat. Dia merasa jijik dan merasa bahwa itu adalah pertanda buruk. Dia jatuh sakit setelah kembali ke rumah.[B 39] Sishuo XinyuSaat Yuan Shao dan Cao Cao masih muda, Yuan Shao mencoba mengerjainya dengan mengirimkan seseorang untuk melempar belati ke Cao Cao saat ia sedang tidur. Belatinya mendarat rendah dan meleset dari Cao Cao. Cao Cao melihatnya dan tahu bahwa pelemparnya akan membidik lebih tinggi pada percobaan berikutnya, jadi dia mengubah postur tidurnya. Dia benar karena belatinya mendarat lebih tinggi pada lemparan kedua.[S 1] Cao Cao kerap berkata; "Jangan menghampiri saya jika saya sedang tidur, saya dengan setengah kesadaran bisa menyerang siapa saja. Hati hati, kalian semua!". Sekali saat ia tidur, seseorang menutupi badannya dengan selimut saat Cao Cao sedang tidur siang dan Cao Cao membunuhnya. Setelah insiden ini, tidak ada orang yang berani menganggu Cao Cao ketika ia sedang tidur.[S 2] Suatu ketika, Cao Cao akan menerima tamu dari Xiongnu, ia merasa bahwa dirinya jelek dan mungkin tidak bisa mendapatkan rasa hormat jadi ia memerintah Cui Yan untuk menyamar sebagai Cao Cao sementara Cao Cao memegang pedang dan menyamar sebagai seorang pengawal, berdiri disebelah Cui Yan. Setelah pertemuan itu, Cao Cao mengutus seseorang untuk menanyakan kepada tamu tersebut, "Apa pendapatmu mengenai Raja Wei?". Utusan dari Xiongnu menjawab, "Yang Mulia terlihat ganteng dan luar biasa, tetapi orang yang memegang pedang dan berdiri disebelahnya adalah seorang pahlawan sejati." Cao Cao marah mendengarkan hal tersebut dan membunuh utusan itu.[S 3] Di budaya populerTiongkok memiliki versi sendiri mengenai peribahasa Inggris speak of the devil (berbicara tentang iblis). Versi Tiongkok adalah "berbicara tentang Cao Cao, Cao Cao datang" (说到曹操,曹操就到).[26] Setelah Partai Komunis Tiongkok menang melawan Kuomintang di Perang Saudara Tiongkok pada 1949, banyak yang menyamakan Mao Zedong dan Cao Cao, jadi propagandis melakukan upaya jangka panjang dan berkelanjutan untuk meningkatkan citra Cao Cao dalam budaya populer. Pada 1959, Peng Dehuai menulis surat kepada Mao bahwa ia merasa dirinya seperti Zhang Fei. Karena persamaan populer Mao dengan Cao Cao, persamaan Peng dengan Zhang Fei mengisyaratkan bahwa ia memiliki hubungan konfrontasi dengan Mao. Mao menyebarkan surat itu secara luas untuk memperjelas sikap Peng kepada anggota partai lainnya dan mulai melenyapkan Peng dan mengakhiri karirnya.[27] Opera TiongkokCao Cao digambarkan sebagai pria yang licik dan penipu dalam opera Tiongkok, di mana karakternya diberi riasan wajah putih untuk mencerminkan kepribadiannya yang berbahaya. Ketika Luo Guanzhong menulis Romance of the Three Kingdoms, dia mengambil banyak inspirasi untuk Cao Cao dari opera Tiongkok. Film dan televisi"Bapak Sinema Hong Kong", Lai Man-Wai, memerankan Cao Cao dalam The Witty Sorcerer, sebuah film komedi tahun 1931 berdasarkan cerita dalam Kisah Tiga Negara tentang Zuo Ci yang mempermainkan Cao Cao. Dalam film Shaw Brothers The Weird Man, Cao Cao muncul di awal film bersama Zuo Ci. Zuo Ci sedang mempermainkannya dengan memberinya jeruk keprok tanpa buah di dalamnya. Hal ini kemudian direferensikan dalam film lain berjudul Five Element Ninjas. Banyak pemeran yang bermain sebagai Cao Cao di berbagai film dan seri televisi antara lain:
Video GameCao Cao muncul di permainan Dynasty Warriors karya Koei dan muncul di setiap seri. Ia juga muncul di Kessen II, Warriors Orochi dan Romance of the Three Kingdoms sebagai karakter utama. Cao Cao dan faksinya juga bisa dimainkan di permainan video karya Creative Assembly Total War: Three Kingdoms. Ia juga muncul sebagai karakter yang bisa dimainkan dalam permainan MOBA Honor of Kings. Catatan kaki
ReferensiDari Catatan Tiga Negara
Dari Buku Wei
Dari Zizhi Tongjian
Referensi lain
|
Portal di Ensiklopedia Dunia