Selama di Al-Azhar KH Zubair Umar menyusun naskah bukunya dalam ilmu falak – yang kemudian terbit di Indonesia sekitar tahun 1937 dengan judul al-Khulashatu-l-Wafiyah. Selama beliau mengajar mahasiswa Al-Azhar, Kiai Zubair tidak menggunakan buku rujukan atau maraji yang wajib dibaca mahasiswa. Oleh karena itu para mahasiswa tekun dan rajin mencatat ceramah-ceramah beliau dalam kelas. Catatan-catatan tersebut beliau kumpulkan lalu dibawa ke Indonesia, yang ternyata memperkaya konsep buku yang sedang beliau tulis.[9]
Karir dan Perjuangan
Setelah pulang ke Tanah Air, beliau aktif di NU, pengadilan agama, juga pernah menjabat rektor IAIN Walisongo Semarang.[10] Pada masa pendudukan Jepang tahun 1943-1945, KH. Zubair Umar diangkat menjadi kepala Mahkamah Islam Tinggi Jawa-Madura. Tugasnya tak lain adalah menjadi hakim tinggi yang menangani dan memutuskan masalah-masalah keagamaan yang berkembang pada saat itu. Tak berhenti sampai di situ, kiprahnya pasca kemerdekaan semakin getol daam membantu meningkatkan mutu kehidupan masyarakat melaluli jalur pendidikan. Kiprahnya dalam bidang pendidikan berpusat di Kota Salatiga dimana ia berkantor pada Departemen Agama yang waktu itu berkantor di Kota Salatiga. Berbagai institusi berbentuk yayasan dan pesantren ia dirikan seperti halnya Yayasan Imarotul Masajid wal Madaris, Yayasan Pesantren Luhur, Institusi Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pondok Pesantren Joko Tingkir. Beberapa institusi pendidikan yang didirikannya kini telah berkembang menjadi institusi sekolah yang maju seperti IAIN Salatiga yang bercikal bakal dari yayasan Pesantren Luhur. Pada awal kemunculannya, IAIN Salatiga adalah sebuah Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Nahdlotul Ulama’ (IKIP NU) yang menempati gedung perkuliahan milik Yayasan Pesantren Luhur di Jl. Diponegoro Salatiga. IKIP NU dalam waktu satu tahun berubah menjadi Fakutas Tarbiyah bersamaan dengan dinegerikan statusnya melalui IAIN Walisongo dan menjadi cabangnya pada Fakultas Tarbiyah yang berlokasi di Kota Salatiga. KH. Zubair Umar sendiri pada waktu itu pula menjadi rektor pertama di IAIN Walisongo. Kini institusi tersebut telah berubah menjadi salah satu Institusi besar bernama IAIN Salatiga dan menjadi rujukan belajar para mahasiswa dari berbagai daerah. Tak hanya itu, banyak lagi institusi-institusi pendidikan yang lahir dari prakarsa KH. Zubair Umar dan tetap berkembang hingga saat ini seperti SD-SMP Al-Azhar Salatiga yang hingga saat ini berada di bawah naungan yayasan Pesantren Luhur, MTs NU dan SMK Diponegoro yang berada di bawah naungan Yayasan Imarotul Masajid wal Madaris, serta MAN Salatiga yang berganti nama dari Pendidikan Guru Agama (PGA). Sementara itu, Pondok Pesantren Joko Tingkir kini hanya tinggal petilasannya yang berlokasi di Tingkir Lor Salatiga.[11]
Tugas-tugas keilmuan dan kemasyarakatan ternyata sudah banyak menunggu beliau. Pertama sebagai penghulu pada Pengadilan Agama Salatiga, tahun 1945-1947, penghulu Kabupaten Semarang di Salatiga tahun 1947-1951, Koordinator Urusan Agama Kerasidenan Pati, tahun 1954-1956, Ketua Mahkamah Islam Tinggi yang berkedudukan di Surakarta pada tahun 1962-1970, juga menjadi dosen kemudian diangkat menjadi Rektor IAIN Walisongo Semarang sejak 5 Mei 1970 hingga 1972. KH Zubair Umar juga pernah diminta selaku promotor oleh Universitas Nahdlatul Ulama (UNNU) Surakarta (didirikan oleh PBNU di tahun 1958) untuk menganugerahkan gelar doktor kehormatan (honoris causa) kepada dua orang sarjana asal Universitas Al-Azhar Kairo pada tanggal 15 Desember 1968. Keduanya adalah Prof. Dr. Muadz dan Prof. Dr. Bashrawi. Ini mengingat reputasi beliau sebagai dosen yang pernah mengajar di kampus bergengsi di Mesir itu. Beliau menjadi Ketua NU cabang Kabupaten Semarang tahun 1945, Ketua Masyumi cabang Salatiga, komandan Barisan Kiai-Barisan Sabilillah Kabupaten Semarang di masa Revolusi Kemerdekaan mengusir penjajahan Belanda, Ketua Syuriah Partai Masyumi cabang Kabupaten Semarang dan kota Salatiga tahun 1946, Rais Syuriah Partai NU cabang Kabupaten Semarang dan kota Salatiga tahun 1952-1956, Rais Syuriah NU wilayah Propinsi Jawa Tengah tahun 1956-1970, lalu anggota Syuriyah PBNU di era kepemimpinan Rais Am KH. Abdul Wahab Chasbullah periode 1967-1971. Pada tahun 1971 Kiai Zubair menerima hibah tanah dari pemerintah seluas enam hektar untuk pembangunan pesantren. Pesantren ini kemudian berdiri dengan nama Pondok Pesantren Joko Tingkir di tahun 1977, karena lokasinya yang kebetulan berada di Kecamatan Tingkir Lor, Salatiga. Namun, sepeninggal Kiai Zubair, Pesantren Joko Tingkir tidak lagi menggelar pengajian, dan kini hanya tinggal petilasan saja.[12]
Karomah
Delapan tahun setelah beliau wafat, area makam tersebut terkena dampak banjir yang sangat deras, sehingga menimbulkan kerusakan pada makam. Kemudian dilakukan pembenahan dan makam beliau dibongkar, jenazah beliau ditemukan masih utuh dalam posisi yang sama seperti waktu dikuburkan. Padahal papan yang mengelilingi makam beliau sudah hancur. Setelah dilakukan pembenahan dan rehabilitasi, jenazah beliau dimasukkan kembali tanpa dimandikan ulang.[13]
Wafat
K.H. Zubair Umar al-Jailani wafat di Salatiga pada tanggal 10 Desember 1990/24 Jumadil Awal 1411 H dan dimakamkan di dalam komplek pemakaman Kauman, di belakang Masjid Besar al-Atiiq Kauman Salatiga.[14]
Referensi
^DIA, Yayasan (2020-10-11). "Biografi KH. Zubair Umar al-Jailani". Biografi KH. Zubair Umar al-Jailani (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-11-26.
^DIA, Yayasan (2020-10-11). "Biografi KH. Zubair Umar al-Jailani". Biografi KH. Zubair Umar al-Jailani (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-11-26.