PRRI didekalrasikan oleh Letkol Ahmad Husein di Padang pada tanggal 15 Februari 1958. Gerakan ini dianggap oleh pemerintah pusat sebagai sebuah pemberontakan. Tentara Indonesia (ketika itu bernama Angkatan Perang Republik Indonesia atau APRI) melakukan operasi gabungan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara untuk memadamkan kekuatan PRRI. Pengerahan kekuatan militer untuk menumpas kekuatan PRRI merupakan yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia.[1][5]
Selama tiga tahun lamanya, terjadi perang saudara antara tentara pusat dan pasukan PRRI yang memakan banyak korban di pihak PRRI. Jumlah korban akibat konflik PRRI yang singkat jauh lebih besar daripada korban perang dengan Belanda pada zaman revolusi kemerdekaan.[6] Selain itu, banyak yang tak terlibat PRRI tetapi menjadi korban kekerasan seperti penyiksaan, perampokan, dan pemerkosaan.[5][7][8]
Pembangunan
Orang membaca masa lalu Dari tonggak disebut tugu Bentuknya mirip seperti peluru Karena dibuat penguasa serdadu
Operasi penaklukan daerah yang dikuasai PRRI oleh APRI disebut pula sebagai operasi pembebasan atau Operasi 17 Agustus. Di daerah yang berhasil diduduki, APRI membangun tugu yang terbuat dari semen. Tugu-tugu tersebut, menurut perkiraan A.A. Navis, terdapat di setiap nagari dan berjumlah "ribuan".[2] Salah satu bentuk tugu yang umum adalah seperti peluru, disertai keterangan tanggal dan nama kesatuan yang melakukan operasi.[1][4]
A.A. Navis menyebut kehadiran Tugu Pembebasan di setiap nagari sebagai "lambang penindasan" dan meninggalkan kesan traumatis bagi orang Minangkabau. Tugu-tugu tersebut mengingatkan mereka akan "mengerikannya perang saudara PRRI" dan menjadi "impitan jiwa yang tidak berkesudahan".[2]
Penghancuran
Hampir seluruh Tugu Pembebasan yang jumlahnya "ribuan" telah dihancurkan semasa kepemimpinan Gubernur Sumatera Barat Harun Zain dan Komando Daerah Militer III/17 AgustusR. Widodo pada era 1970-an.[9] A.A. Navis merupakan salah seorang yang mendesak gubernur untuk melakukan penghancuran tersebut.[2] Keberadaan tugu dianggap dapat mempertajam trauma akibat PRRI, sementara masyarakat berupaya melenyapkannya.[10] Awalnya, tugu yang ada dikapuri, sehingga kata "Pembebasan" menjadi hilang. Lama kelamaan, tugu-tugu dibongkar berhubung di atas bekas lahannya didirikan kantor desa, pos, dan sebagainya.[11]