Tjokorda Agung Tresna
Kapten Anumerta Tjokorda Agung Tresna (ejaan baru : Cokorda Agung Tresna), (lahir di Puri Agung Denpasar, Badung, Bali pada 1926 dan wafat pada 29 Juni 1947) adalah salah satu pejuang pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Ia wafat di Desa Ayunan.[1] Patungnya terletak di persimpangan Jalan Gatot Subroto dan Jalan Nangka Denpasar, yang dibangun pada tanggal 31 Desember 1993.[2] SejarahTjokorda Agung Tresna adalah putra dari Tjokorda Alit Ngurah dari Puri Satria, Denpasar, yang menjabat sebagai Raja Badung (Zelfbestuuder van Badung). Ibunya bernama Anak Agung Putu Adi yang berasal dari Jeroan Gede Kesiman Denpasar. Tjokorda Agung Tresna adalah putra tunggal dari Anak Agung Putu Adi, tetapi beliau mempunyai beberapa saudara tiri seperti Tjokorda Ngurah Agung, Tjokorda Bagus Sayoga dan saudara lainnya yang aktif pula dalam perjuangan di Bali. Beliau bersekolah di Sekolah Dasar Belanda yang bernama Holland Inlandsche School (HIS) yang sekarang berlokasi di Jalan Surapati Denpasar. Setelah tamat di HIS, beliau melanjutkan pendidikan di Taman Dewasa dan tamat tahun 1944. Beliau kemudian bersekolah di Sekolah Teknik Menengah Atas (STMA) jurusan mesin di Kota Surabaya, tetapi tidak sampai tamat. Kedatangan serdadu sekutu mengganggu ketenangan di Surabaya. Para pelajar disana mulai mengorganisasikan diri membentuk badan-badan perjuangan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Demikian pula Tjokorda Agung Tresna dan teman-temannya di STMA bergabung ke dalam Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) Surabaya. Pada bulan November 1945, suasana kota Surabaya menjadi sangat genting. Kegentingan ini mencapai puncaknya dengan meletusnya pertempuran Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Pada saat meletusnya pertempuran Surabaya itu, Tjokorda Agung Tresna dan I Gusti Ketut Gede masih tinggal di Surabaya. Namun, karena situasi Surabaya demikian gawatnya, akhirnya I Gusti Ketut Gede bersama keluarga pulang ke Bali, sedang Tjokorda Agung Tresna tetap bergabung dengan pasukan TRIP bergerak menuju daerah Sidoarjo. Di daerah ini Tjokorda Agung Tresna berjuang dengan teman-temannya dari Sunda Kecil. I Gusti Ketut Gede setelah sampai di Bali, datang ke Puri Satria menemui Tjokorda Alit Ngurah untuk mengabarkan bahwa Tjokorda Agung Tresna masih berada di Surabaya. Hal inilah yang menyebabkan Tjokorda Alit Ngurah menjadi tidak tenang. Pada waktu I Gusti Ngurah Rai menghadap Tjokorda Alit Ngurah untuk melaporkan keberangkatannya ke Yogyakarta (Jawa), Tjokorda Alit Ngurah berpesan supaya I Gusti Ngurah Rai mengajak Tjokorda Agung Tresna pulang ke Bali untuk melanjutkan perjuangannya. Pada tanggal 4 April 1946 rombongan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai telah sampai di Bali. Beliau bersama dengan anggota kepolisian dari Bali yang dulunya bertugas di Keresidenan Basuki dan para sukarelawan lainnya termasuk Tjokorda Agung Tresna. Pendaratan tersebut disusun dengan pendaratan bantuan pasukan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) di bawah pimpinan Markadi di sepanjang pantai Melaya, Jembrana. Rombongan bergerak menuju Munduk Malang, Tabanan. Sesuai dengan intruksi Pemerintah Pusat, maka di Munduk Malang diadakan pertemuan yang dipimpin langsung oleh I Gusti Ngurah Rai itu. Pertemuan tersebut berhasil membentuk satu badan perjuangan yang disebut Markas Besar Umum Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (MBUDPRISK) dengan I Gusti Ngurah Rai sebagai pucuk pimpinannya. Dalam struktur MBUDPRISK ini, Tjokorda Agung Tresna diangkat sebagai staf inteligen yang berada di bawah I Made Wijakusuma. Pasukan dipecah menjadi dua bagian, satu bergerak menuju arah timut, sisanya yang dipimpin oleh I Made Wijakusuma dan Tjokorda Agung Tresna tetap di Badung. Saat berada di Badung, Tjokorda Agung Tresna dan I Madé Wijakusuma memberikan sosialisasi agar para pejuang tetap setia membela Bangsa dan Negara Républik Indonésia. Sekembalinya dari Bali Timur, Pasukan Induk MBU selanjutnya bermarkas di Marga, Tabanan. Pada tanggal 20 November 1946 terjadi pertempuran yang dikenal dengan nama Puputan Margarana. Dalam pertempuran itu, banyak pasukan yang gugur, yang menyababkan perjuangan di Bali menjadi sangat merosot Untuk membangkitkan kembali perjuangan di Bali, maka dua hari setelah Puputan Margarana, yakni pada tanggal 22 November 1946, bertempat di Desa Buahan, Tabanan diadakan rapat darurat. Dalam rapat itu berhasil dibentuk pengurus MBU yang baru dengan I Made Wijakusuma sebagai pimpinan umum, dan Tjokorda Agung Tresna sebagai staf intel. Tjokorda Agung Tresna berpendapat bahwa perjuangan bersenjata di daerah Badung harus dilanjutkan. Dalam suatu pertemuan khusus yang diadakan di antara pimpinan MB Badung, baik Badung Utara, Tengah maupun Badung Selatan secara aklamasi memilih Tjokorda Agung Tresna sebagai pucuk pimpinan MB Badung. Selanjutnya, Tjokorda Agung Tresna lebih memusatkan perjuangannya di daerah Badung Utara dan Tengah, sebab di daerah ini rakyat masih kompak dan konsisten membantu para pejuang. Sedangkan di daerah Badung Selatan merupakan pusat kedudukan serdadu NICA di Bali, sehingga terdapat banyak pos NICA yang sangat sulit ditembus oleh para pejuang. Pamargi Ida sué-sué kauningin olih NICA magenah ring wewengkon Badung Tengah kautama ring Désa Sobangan, mawinan ring irika genah Markas Besar Badung (MBB) utawi Markas Besar Pandawa. Rikala Ida saking Désa Penarungan nuju Désa Sobangan ngentasin Désa Ayunan, pemargi punika sampun kakurung olih serdadu NICA. Disana, I Ketut Gede Dharma Yudha, Ida Bagus Tantra, Maroko dan Kawi berada di Ayunan Kaja dan mendapat perlindungan dari para pejuang yang ada disana. Namun, Tjokorda Agung Tresna baru sampai di desa Ayunan Kelod. Ketika beliau bergerak menuju desa Ayunan Kaja, ternyata pengurungan tersebut semakin ketat. Mencermati hal ini, Tjokorda Agung Tresna mencoba menghindar dengan menuju semak-semak di tepi Sungai Penet di sebelah timur desa Ayunan Akan tetapi pada saat beliau melompat, sebutir peluru yang dilepaskan oleh serdadu NICA menembus tangannya, sehingga pistol yang dipegangnya terjatuh. Saat beliau ingin mengambil senjatanya, beliau ditembak secara bertubi-tubi oleh serdadu NICA. Di sinilah, pada tanggal 29 Juni 1947, Tjokorda Agung Tresna gugur sebagai kusuma bangsa dalam usia 21 tahun tanpa meninggalkan keturunan. Jenazah Tjokorda Agung Tresna terlebih dahulu diangkut ke Puri Mengwi untuk dibersihkan, setelah ada intruksi dari pemerintah Belanda untuk mengambil jenazah beliau, barulah diangkut ke Puri Satria dan akhirnya dimakamkan di kuburan Badung Beberapa tahun setelah gugurnya Tjokorda Agung Tresna, masyarakat Désa Sobangan mendapatkan sebuah pawisik untuk membuat sebuah patung. Ada sebuah kutipan dari beliau yang berupa “Lebih baik mati daripada dijajah”.[1] Referensi
|