The Black Road
The Black Road adalah sebuah dokumenter Australia tahun 2005 yang dibuat oleh William Nessen. Film ini direkam di Aceh dan berisi tentang perjuangan kemerdekaan Aceh dari Indonesia. Meski film ini awalnya berupa dokumenter televisi yang diproduksi untuk SBS di Australia, film ini sudah ditayangkan di berbagai festival film dan presentasi internasional. Film ini disambut hangat oleh penonton dan memenangkan banyak penghargaan, baik di tingkat Australia maupun internasional. The Black Road adalah satu dari empat film bertopik separatisme yang dilarang beredar di Indonesia oleh Lembaga Sensor Film. AlurWilliam Nessen, seorang jurnalis lepas Amerika Serikat, mengunjungi Aceh, Indonesia untuk mengungkap konflik yang sedang berlangsung di sana. Selama empat tahun, The Black Road menceritakan perjalanan Nessen sejak bekerja sebagai jurnalis objektif hingga menjadi pendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM).[1] Saat tsunami 2004 menjadikan Aceh terkenal di seluruh dunia, banyak orang yang lupa dengan perjuangannya selama 27 tahun untuk meraih kemerdekaan.[2][3] William Nessen pertama berkunjung ke Aceh pada tahun 2001 sebagai jurnalis cetak. Saat itu, Nessen tidak berencana membuat film namun membuat rekaman yang akan ia jual ke stasiun-stasiun televisi. Ia mulai bertemu Jenderal Bambang Darmono, komandan ABRI di Aceh. Setelah mendapat kepercayaan Jenderal Darmono, Nessen mudah memperoleh informasi dan merekam kejadian-kejadian yang sulit didapatkan jurnalis lain.[1][4] Ketika menjalani tugasnya, ia jatuh cinta dengan penerjemah kepercayaan ABRI, Sya’diah Syeh Marhaban, yang menjadi mata-mata untuk gerakan separatis tersebut. Mereka bekerja sama dan terus mengambil informasi sensitif sebanyak-banyaknya dari Jenderal Darmono.[4] Koleksi rekamannya semakin banyak dan Nessen mulai berpikir untuk membuat film. Ide tersebut kemudian terwujud dengan judul The Black Road. Nessen dan Marhaban akhirnya menikah di Aceh. Beberapa hari setelah pernikahannya, sahabat Nessen, seorang aktivis HAM, diculik dan dibunuh oleh pasukan keamanan Indonesia.[5] Semakin jelas bagi Nessen bahwa gerakan kemerdekaan ini didukung oleh sebagian besar rakyat Aceh. Saat pengalaman pribadinya terus memengaruhinya, ia mulai mendukung Gerakan Aceh Merdeka. Ia sempat hidup bersama para pemberontak di garis depan dan bepergian secara rahasia antara Jenderal Darmono dan pasukan gerilya. Nessen menghabiskan lebih dari satu tahun bersama GAM sebelum militer menyadari gerak-geriknya. Ia diburu dan nyaris dibunuh oleh militer Indonesia yang menuduh Nessen sebagai mata-mata. Setelah diminta untuk berhenti membuat film di wilayah yang dikuasai pemberontak, Nessen kucing-kucingan dengan pihak berwenang selama beberapa minggu. Setelah berkali-kali mengalami peristiwa yang mengancam nyawa, ia menyerah ke militer dan ditahan selama 40 hari. Setelah itu, ia dideportasi ke Singapura dan dicekal dari Indonesia selama satu tahun. Larangan tersebut terus diperbarui setiap tahun sejak 2004.[6][7][8] ProduksiAntara 2001 dan 2003, Nessen menghabiskan hampir satu tahun di Aceh.[9] Pada waktu itu, Nessen berulang-ulang diminta berhenti beroperasi di wilayah yang dikuasai pemberontak.[4] Setelah menyerahkan diri ke pihak berwenang Indonesia, Nessen dipenjara selama 40 hari. Militer Indonesia awalnya menuduh Nessen melakukan spionase dan diancam hukuman mati,[4] tetapi karena kedutaan besar Amerika Serikat turun tangan Nessen dianggap tidak bersalah dan dihukum karena tidak memberitahu perubahan alamatnya kepada petugas setempat dan tidak melapor ke pihak berwenang darurat militer.[4] Setelah itu, ia dideportasi dari Indonesia dan dicekal selama satu tahun. Satu tahun setelah peluncuran filmnya, Nessen diundang mengunjungi kerabat istrinya di Aceh. Namun setelah tiba di Bandar Udara Polonia pada 19 April 2006, Nessen masih masuk daftar cekal. Tidak ada alasan yang disampaikan kepada Nessen, tetapi istrinya memberitahu kepada media bahwa pemerintah masih menganggapnya sebagai ancaman.[10] DistribusiFilm ini diproduksi untuk SBS dan ditayangkan tanggal 22 Agustus 2006. Film ini ditayangkan di tempat-tempat lain, termasuk festival film dan presentasi yang disampaikan William Nessen tentang konflik Aceh.[11][12][13] TanggapanBersama tiga film yang bertopik serupa, The Black Road dilarang tayang di festival film internasional oleh Lembaga Sensor Film Indonesia.[14] Keputusan ini dikecam sebagai tindak pelanggaran kebebasan berbicara dan kebebasan pers.[15] Tanggapan kritisFilm ini mendapat tanggapan bagus dari berbagai surat kabar di seluruh dunia.[11] Penghargaan
Referensi
Pranala luar
|