Halaman ini berisi artikel tentang Pensinyalan dalam biologi evolusioner. Untuk Teori serupa dalam ekonomi, lihat Pensinyalan (ekonomi). Untuk Konsep rekayasa, lihat Teori sinyal.
Dalam biologi evolusioner, teori pensinyalan adalah sekumpulan teori yang membedah komunikasi antara individu.
Pusat pertanyaannya adalah kapan organisme yang memiliki konflik kepentingan diharapkan berkomunikasi secara jujur (tidak ada praduga mengenai intensi yang disengaja).
Model matematis organisme yang mensinyalkan kondisi mereka kepada individu lain sebagai bagian dari suatu strategi stabil evolusioner sangat penting bagi penelitian dalam bidang ilmu ini.
Sinyal diberikan sesuai konteks seperti seleksi pasangan oleh betina, yang mempelajari sinyal pejantan sebagai tekanan selektif.
Sinyal selalu berubah karena ia mengubah perilaku dari penerima untuk menguntungkan pemberi sinyal.
Sinyal bisa saja jujur, meningkatkan kesesuaiannya, atau tidak jujur.
Suatu tipuan bisa memberikan sinyal tidak jujur, menghasilkan suatu keuntungan, tetapi secara potensial melemahkan sistem pensinyalan secara keseluruhan.
Pertanyaan apakah seleksi sinyal bekerja pada tingkat organisme individu atau gen, atau pada tingkat kelompok, telah diperdebatkan oleh para biologiawan seperti Richard Dawkins, yang berpendapat bahwa individu berkembang untuk memberi dan menerima sinyal lebih baik, termasuk bertahan terhadap manipulasi.
Amotz Zahavi menyarankan bahwa menipu bisa dikontrol dengan prinsip rintangan, dengan kuda terbaik pada lomba rintangan membawa tambahan beban lebih berat.
Menurut teori Zahavi, pensinyal seperti burung merak jantan memiliki ekor yang benar-benar merugikan, sangat mahal untuk diproduksi.
Suatu sistem disebut stabil secara evolusioner bila ekor besar yang diperlihatkan adalah sinyal jujur.
Ahli biologi matematis Ronald Fisher menganalisis kontribusi bahwa memiliki dua salinan dari setiap gen diploid akan menyebabkan pensinyalan jujur, menunjukan bahwa suatu efek terkendali bisa terjadi dalam seleksi seksual, bergantung kepada keseimbangan biaya dan keuntungan.
Mekanisme yang sama juga bisa dilihat pada manusia, saat para peneliti telah mempelajari perilaku termasuk pengambilan risiko oleh anak muda, berburu hewan besar, dan ritual agama berbiaya, menemukan bahwa hal tersebut termasuk sinyal jujur berbiaya.
Saat hewan memilih pasangan, sifat-sifat seperti pensinyalan merupakan subjek dari tekanan evolusioner.
Sebagai contohnya, pejantan katak pohon abu, Hyla versicolor, menghasilkan suatu teriakan yang digunakan untuk menarik betina.
Sekali seekor betina memilih seekor pejantan, berarti memilih gaya tertentu dari teriakan pejantan, yang menyebarkan suatu kemampuan pensinyalan tertentu.
Sinyal tersebut bisa saja teriakan itu sendiri, intensitas teriakan, gaya variasinya, laju pengulangannya, dll.
Beragam hipotesis mencoba menjelaskan kenapa betina akan memilih hanya satu teriakan di antara yang lain.
Hipotesis eksploitasi sensoris mengajukan bahwa kesukaan sinyal-sinyal yang sudah ada sebelumnya pada penerima betina dapat mengarahkan evolusi dari inovasi sinyal pada pemberi sinyal pejantan, dengan cara yang sama pada hipotesis preferensi tersembunyi yang menjelaskan bahwa teriakan yang sukses sebagai yang paling mampu menyamai beberapa 'preferensi tersembunyi' pada betina.
[1]
Dalam biologi, sinyal merupakan sifat, termasuk struktur dan perilaku, yang telah berkembang secara spesifik karena mereka mengubah perilaku penerima sinyal dengan suatu cara yang menguntungkan pengirim sinyal.
[2]
Sifat-sifat atau aksi-aksi yang menguntungkan penerima secara ekslusif disebut dengan petunjuk.
Saat seekor burung yang waspada secara sengaja memberikan sebuah teriakan peringatan akan adanya pemangsa dan pemangsa menyerah berburu, suara tersebut adalah sebuah sinyal.
Saat burung pencari makan secara tidak sengaja membuat suatu suara gemerisik dedaunan yang menarik perhatian pemangsa dan meningkatkan risiko dimangsa, suara tersebut adalah sebuah 'petunjuk'.
[2]
Sistem pensinyalan dibentuk oleh keuntungan bersama antara pemberi dan penerima sinyal.
Seekor burung yang waspada seperti seekor Eurasiona jay memperingatkan adanya pemangsa mengintai adalah mengkomunikasikan sesuatu yang berguna kepada pemangsa: bahwa ia telah terdeteksi oleh mangsanya; sebaiknya berhenti menghabiskan waktu mengintai mangsa yang telah waspada tersebut, yang tidak mungkin ditangkap lagi.
Saat pemangsa menyerah, pensinyal dapat kembali mengerjakan hal lainnya, seperti memberi makan.
Sekali pemangsa yang mengintai terdeteksi, mangsa yang memberi sinyal dan pemangsa yang menerima sinyal memiliki keuntungan bersama yaitu menghentikan berburu.[3][4]
Di antara spesies, keuntungan resiprokal meningkat secara kekeluargaan.[5]
Kekeluargaan adalah pusat dari model-model pensinyalan antara kerabat, misalnya saat anak burung meminta dan bersaing makanan dari orang tua mereka.[6][7]
Konsep kejujuran dalam komunikasi hewan adalah kontroversial karena ia sangat susah untuk menentukan maksud dan penggunaan, sebagai suatu kriteria untuk membedakan penipuan dari kejujuran, sebagaimana yang kita lakukan dalam interaksi manusia.[8]
Ahli biologi menggunakan frasa "sinyal jujur" dalam artian statistik.
Sinyal-sinyal biologis, seperti teriakan peringatan atau bulu ekor yang gemerlapan, dianggap jujur jika mereka berkorelasi dengan sesuatu yang berguna bagi penerima, yaitu, sifat sinyal [a] berkorelasi dengan suatu nilai yang tak terobservasi bagi penerima sinyal [b].
Sinyal biologis jujur tidak perlu secara sempurna bersifat informatif, mengurangi ketidakpastian ke angka nol; mereka hanya perlu untuk jujur "secara rata-rata" untuk berpotensi berguna.[9]
Pada akhirnya nilai dari informasi yang disinyalkan bergantung kepada tingkat yang membolehkan penerima sinyal untuk meningkatkan kesesuaiannya.[10]
Oleh karena itu, sinyal-sinyal "jujur" adalah evolusioner stabil.
Sinyal takjujur
Karena adanya keuntungan mutual dan konflik kepentingan dalam kebanyakan sistem pensinyalan hewan, pusat permasalahan dalam teori pensinyalan adalah ketidakjujuran atau kecurangan.
Sebagai contohnya, jika burung pencari makan lebih aman saat mereka mengeluarkan teriakan peringatan, kecurangan bisa dilakukan dengan memberikan peringatan keliru secara acak, jaga-jaga seandainya pemangsa ada di sekitar.
Tapi terlalu sering berbuat curang bisa menyebabkan sistem pensinyalan hancur.
Setiap sinyal tak jujur melemahkan integritas dari sistem pensinyalan, sehingga mengurangi kesesuaian kelompok.
[11][12]
Contoh dari sinyal tak jujur ada pada kepiting capit seperti Uca lactea mjoebergi, yang telah diketahui menggertak (tanpa adanya intensi kesadaran tersirat) tentang kemampuan tarung mereka.
Bila sebuah capit hilang, seekor kepiting biasanya menumbuhkan kembali capit yang lebih lemah yang tetap bisa mengintimidasi kepiting lain dengan capit kecil tetapi kuat.
[13][14]
Proporsi dari sinyal tak jujur cukup rendah sehingga tidak perlu bagi kepiting untuk menguji kejujuran setiap sinyal lewat bertarung.
[11]
Richard Dawkins dan John Krebs pada tahun 1978 menimbang apakah individu dari spesies yang sama akan berbuat seperti mencoba menipu satu sama lain.
Mereka mengaplikasikan pandangan evolusi "gen egois" terhadap pertunjukan ancaman pada hewan untuk melihat apakah memang ada dalam gen mereka sendiri untuk memberikan sinyal tak jujur.
Mereka mengkritik etologiwan sebelumnya, seperti Nikolaas Tinbergen dan Desmond Morris yang menyarankan bahwa pertunjukan tersebut hanyalah "bagi kebaikan dari spesies".
Mereka berargumen bahwa komunikasi seperti itu harus dilihat sebagai suatu perlombaan senjata evolusioner dengan pensinyal berkembang menjadi lebih baik memanipulasi penerima, sementara penerima berkembang menjadi lebih tahan terhadap manipulasi.
[11][12]
Model teori permainan dari perang atrisi juga menyarankan bahwa pertunjukan ancaman tidak harus memperlihatkan informasi yang dapat dipercaya mengenai intensi.
[15]
Pada tahun 1975, Amotz Zahavi mengajukan suatu model verbal tentang bagaimana biaya sinyal dapat membatasi kecurangan dan menstabilkan suatu korelasi "jujur" antara sinyal yang diobservasi dan kualitas yang tak terobservasi, berdasarkan pada suatu analogi pada sistem olahraga rintangan.
[16][17]
Ia menyebut ide ini dengan prinsip rintangan.
Tujuan dari suatu sistem olahraga rintangan adalah untuk mengurangi kesenjangan dalam performansi, membuat kontes tersebut lebih kompetitif.
Dalam sebuah lomba rintangan, kuda yang pada hakekatnya lebih cepat diberi beban lebih berat untuk dibawa di bawah pelana mereka.
Hal yang sama, pada golf amatir, pegolf yang lebih baik memiliki pukulan lebih sedikit dikurangi dari skor mentah mereka.
Hal ini menciptakan korelasi antara rintangan dan kinerja tanpa-rintangan, dan jika rintangan bekerja sebagaimana seharusnya, antara rintangan dan performansi rintangan.
Jika Anda tidak tahu apapun tentang perlombaan dua kuda atau dua pegolf amatir kecuali rintangan mereka, Anda bisa menyimpulkan kuda atau pegolf mana yang memiliki kinerja yang lebih baik pada masa lalu, dan pesaing mana yang paling mungkin untuk menang: kuda dengan rintangan berat lebih besar dan pegolf dengan rintangan pukulan lebih kecil.
Secara analogi, jika ekor burung merak (buluekor penutup besar) berperan sebagai sistem rintangan, dan merak betina tidak tahu apapun tentang dua burung merak kecuali ukuran ekor mereka, dia bisa "menyimpulkan" bahwa merak dengan ekor yang lebih besar memiliki kualitas intrinsik tidak teramati yang lebih besar, dalam artian bahwa ia lebih mampu membayar biaya menampilkan ekor (di sini, "menyimpulkan" adalah istilah untuk pemikiran bahwa betina yang lebih memilih ekor yang lebih besar berada pada keuntungan selektif).
Biaya menampilkan dapat mencakup biaya sosial ekstrinsik, dalam bentuk pengujian dan hukuman oleh saingan, serta biaya produksi intrinsik.
[18]
Contoh lainnya yang diberikan dalam buku adalah rusa Irlandia yang punah, Megaloceros giganteus.
Tanduk besar pada rusa Irish jantan bisa jadi telah berkembang sebagai tontonan kemampuan untuk melewati rintangan, walau ahli biologi mengatakan bahwa jika rintangan diwariskan, gennya seharusnya terseleksi.
[19]
Esensi ide di sini adalah intuitif dan kemungkinan dianggap sebagai kebajikan kuno.
Ia diartikulasikan oleh Kurt Vonnegut, dalam cerita singkatnya tahun 1961, Harrison Bergeron.
[20]
Dalam pandangan distopia Vonnegut, Jendral Rintangan menggunakan berbagai mekanisme rintangan untuk mengurangi ketimpangan dalam performansi.
Seorang pendukung di suatu balet berkomentar: "sangat mudah untuk melihat bahwa dia adalah penari yang paling kuat dan anggun, bagi dia kantong-kantong beban adalah sama besarnya dengan yang dipakai oleh pria dua ratus pon."
Zahavi menginterpretasikan analogi ini berarti bahwa kualitas burung merak yang tinggi terhadap ekor yang lebih besar mensinyalkan kemampuan mereka untuk "membuang" lebih beberapa sumber daya dengan membayarnya dengan ekor yang lebih besar.
Hal ini sama dengan gagasan Veblen bahwa konsumsi menyolok dan pemborosan simbol status dapat mensinyalkan kekayaan.
[21]
Kesimpulan Zahavi berakhir pada interpretasi verbalnya pada suatu metafora, dan pada awalnya prinsip rintangan tidak begitu diterima oleh para ahli biologi evolusioner.
[17]
Namun, pada tahun 1984, Nur dan Hasson
[22]
menggunakan teori sejarah kehidupan untuk memperlihatkan bagaimana perbedaan dalam biaya pensinyalan, dalam bentuk biaya ketahanan-reproduksi, dapat menstabilkan sistem pensinyalan hampir sama dengan yang dibayangkan Zahavi.
Model genetis juga menyarankan bahwa hal tersebut mungkin bekerja.
[23]
Pada tahun 1990, Alan Grafen memperlihatkan bahwa suatu sistem pensinyalan mirip-rintangan adalah stabil secara evolusioner jika pensinyal dengan kualitas lebih tinggi mengeluarkan biaya ketahanan lebih kecil untuk sinyal-sinyal mereka.
[24]
Pada tahun 1982, W.D. Hamilton mengajukan mekanisme rintangan spesifik tetapi digunakan secara luas, seleksi seksual dimediasi-parasit.
[25]
Dia berargumen bahwa dalam perlombaan ko-evolusioner tanpa-henti antara inang dan parasit mereka, sinyal-sinyal yang terpilih secara seksual mengindikasikan kesehatan.
Gagasan ini diuji tahun 1994 di kandang walet, sebuah spesies yang pejantannya memiliki pita ekor yang panjang.
Møller menemukan bahwa pejantan dengan ekor yang panjang, dan turunannya, memiliki kutu pengisap darah lebih sedikit, sementara yang baru tumbuh muda tidak.
Efek tersebut merupakan genetis, mengkonfirmasi teori Hamilton.
[26]
Contoh lainnya adalah ide bahwa karotenoid memiliki peran ganda tetapi secara resiprokal tidak sesuai dengan fungsi imun dan pensinyalan.
[27]
Karena hewan tidak bisa mensintesis karotenoid de novo, ia harus didatangkan dari makanan.
Hipotesis tersebut menyatakan bahwa hewan dengan sinyal seksual bergantung-karotenoid memperlihatkan kemampuan mereka untuk "membuang" karotenoid untuk sinyal seksual dengan bayaran sistem imun mereka.
[28][29]
Prinsip rintangan sulit dibuktikan secara empiris, sebagian karena interpretasi yang tidak konsisten dari metafora Zahavi dan model kesesuaian kecilnya Grafen, dan sebagian lagi karena hasil-hasil empiris yang saling bertentangan: dalam beberapa penelitian, individu dengan sinyal-sinyal yang lebih besar tampak membayar biaya lebih besar, di penelitian lain mereka tampai membayar biaya lebih kecil.
[30][31]
Sebuah penjelasan yang memungkinkan bagi hasil-hasil empiris yang tidak konsisten tersebut diberikan dalam sekumpulan makalah oleh Getty,
[32][33][34][35]
yang memperlihatkan bahwa bukti Grafen tentang prinsip rintangan didasarkan pada penyederhanaan asumsi secara kritis bahwa pensinyal menukarkan biaya demi keuntungan dengan suatu cara tambahan, sama dengan cara manusia menanam uang untuk meningkatkan pendapatan pada nilai mata uang yang sama.
[c]
Tapi asumsi bahwa pertukaran biaya dan keuntungan dengan suatu cara tambahan tidaklah valid untuk biaya bertahan—biaya keuntungan reproduksi yang diasumsikan menjembatani evolusi dari sinyal terpilih secara seksual.
Kesesuaian bergantung pada produksi keturunan, yang merupakan fungsi multiplikasi dari suksesnya reproduksi pada individu yang masih hidup dikalikan probabilitas dari yang masih hidup, memberikan investasi pada sinyal-sinyal.
[22]
Pensinyalan berbiaya dan diploid dinamis Fisherian
Upaya untuk menemukan bagaimana biaya dapat membatasi suatu korelasi "jujur" antara sinyal yang bisa diobservasi dan kualitas sinyal yang tak terobservasi di antara pensinyal dibangun dalam model strategis dari permainan pensinyalan, dengan banyak asumsi-asumsi yang disederhanakan.
Model-model tersebut sering digunakan untuk pensinyalan terpilih seksual pada hewan diploid, tetapi mereka jarang menggabungkan fitur penting reproduksi seksual yang ditunjukkan oleh Ronald Fisher pada awal abad 20-an: jika memang ada "gen pilihan" terkait dengan pemilihan pada betina sebagaimana "gen sinyal" terkait dengan sifat penampilan pada pejantan, betina yang pemilih seharusnya condong kawin dengan pejantan yang mencolok.
Selama beberapa generasi, anak dari pejantan yang mencolok seharusnya juga membawa gen yang terkait dengan anak perempuan yang pemilih dan anak perempuan pemilih juga seharusnya membawa gen yang terkait dengan anak yang mencolok.
Korelasi ini bisa mengenalkan evolusioner dinamis yang dikenal sebagai pelarian Fisherian.
Russell Lande mendalami hal ini dengan model genetik kuantitatif dan pekerjaannya menginspirasi penelitian yang paling aktif mengenai kerangka genetis kuantitatif.
[23]
Analisis ini menyingkapkan bahwa diploid dinamis Fisherian adalah sangat sensitif terhadap biaya pensinyalan dan pencarian.
Model terbaru telah mulai menjembatani ruang antara pensinyalan-berbiaya dan tradisi pelarian-Fisherian dengan mengembangkan kerangka kerja yang menggabungkan keduanya secara simultan.
[37][38]
Model ini mengenali bahwa jika kesesuaian bergantung pada ketahanan dan reproduksi, memilih anak lelaki yang seksi dan perempuan yang pemilih (dalam model stereotipikal) dapat adaptif, meningkatkan kesesuaian sebanyak memiliki anak lelaki dan perempuan yang sehat.
[37][38]
Contoh-contoh
Sam Brown dan W. D. Hamilton[39]
dan Marco Archetti
[40]
mengajukan ide bahwa warna daun musim gugur adalah sinyal pohon kepada kutu daun dan spesies serangga lain yang bermigrasi ke pohon di musim gugur.
Menurut teori mereka, warna cerah merah jambu dan kuning saat musim gugur berbiaya bagi pohon karena pigmen membutuhkan energi untuk disinteisis, tetapi investasi tersebut bisa membantu mereka mengurangi jumlah parasit.
[39][40]
Melompat, contohnya pada Kijang Thomson, dikatakan sebagai pensinyalan: kijang meloncat mendekati pemangsa bukannya melarikan diri, yang bisa sebagai suatu sinyal kekuatan.
[41]
Sinyal-sinyal jujur manusia
Perilaku manusia juga bisa sebagai contoh sinyal berbiaya.
Secara umum, sinyal-sinyal tersebut memberikan inforasi tentang kualitas fenotip seseorang atau kecenderungan bekerjasama.
Bukti bagi sinyal berbiaya telah ditemukan dalam banyak wilayah interaksi manusia termasuk pengambilan risiko, berburu, dan agama,
[42]
yang didiskusian nantinya di bawah.
Pensinyalan berbiaya dalam berburu
Permainan berburu yang besar telah dikaji secara ekstensif sebagai suatu sinyal dari keinginan lelaki untuk mengambil risiko fisik, sebagaimana juga memperlihatkan kekuatan dan kerjasama.
[42][43][44][45]
Teori Pensinyalan Berbiaya adalah suatu alat yang berguna untuk memahami berbagi makanan di antara pemburu pengumpul karena ia bisa digunakan pada situasi bila pembalasan tertunda bukan suatu penjelasan yang pantas.
[46][47][48]
Contoh khusus yang tak konsisten dengan hipotesis pembalasan tertunda adalah pada saat seorang pemburu berbagi hasil buruannya tanpa diskriminasi dengan semua anggota dari kelompok yang besar.
[49]
Dalam situasi ini, individu yang berbagi daging tidak memiliki kontrol terhadap apakah kebaikannya akan dibalas atau tidak, dan membonceng menjadi strategi yang atraktif bagi yang menerima daging.
Membonceng adalah orang yang menarik keuntungan dari hidup berkelompok tanpa berkontribusi pada pemeliharaannya.
[50]
Untungnya, TPB bisa membawa resolusi untuk beberapa kekosongan yang hipotesis pembalasan tertunda tidak bisa penuhi.
[51][52]
Hawkes telah menyarankan bahwa pria mentargetkan permainan besar dan secara publik (di depan umum, anggota komunitas lainnya) membagi daging dengan tujuan untuk memperlihatkan atensi sosial atau untuk "pamer".
[53]
Tontonan seperti itu dan atensi pilihan yang dihasilkan dapat meningkatkan reputasi pemburu dengan menyediakan informasi tentang kualitas fenotipenya.
Pensinyal kualitas tinggi lebih sukses dalam memperoleh pasangan dan sekutu.
Maka, TPB membantu dalam mengurai barisan teka-teki evolusioner manusia karena ia dapat menjelaskan perilaku pemborosan dan altruistik.
[24][52][54][55][56]
Supaya efektif, sinyal berbiaya harus memenuhi kriteria tertentu.
[16][42][57]
Kriteria pertama mengharuskan pensinyal menanggung tingkat biaya dan keuntungan berbeda untuk perilaku pensinyalan.
Kedua, tingkat biaya dan keuntungan harus merefleksikan kualitas fenotipe pensinyal.
Ketiga, informasi yang disediakan oleh suatu sinyal musti diarahkan pada penonton dan mudah diakses.
Penerima bisa saja siapapun yang merasa diuntungkan dari informasi yang pensinyal kirim, seperti pasangan potensial, sekutu, atau lawan.
Kejujuran terjamin saat hanya individu dengan kualitas tinggi dapat membayar harga (tinggi) untuk menghasilkan sinyal tersebut.
Makanya, pensinyalan jujur membuat tidak mungkin bagi individu dengan kualitas-rendah untuk meniru sinyal dan menipu penerima.
[16][42][57]
Bliege Bird dkk. mengobservasi perburuan kura-kura dan menombak ikan dalam komunitas Meriam di Torres Strait di Australia, menerbitkan penemuan mereka tahun 2001.
Di sana, hanya beberapa pria Meriam yang mampu mengumpulkan laba kalori tinggi dari sejumlah waktu yang digunakan berburu kura-kura atau memancing (mencapai ambang batas yang dihitung dalam kcal/h) dibandingkan dengan pria lain.
Disebabkan tangkapan harian ikan dibawa ke rumah dengan tangan dan kura-kura biasanya disajikan pada perayaan besar, anggota dari komunitas tahu pria mana yang paling dipercaya membawa mereka daging kura-kura dan ikan.
Maka, berburu kura-kura dianggap sebagai sinyal berbiaya.
Lebih lanjut, berburu kura-kura dan menombak ikan sebenarnya kurang produktif (dalam kcal/h) daripada mencari makan pada kerang, dengan kesuksesan bergantung hanya pada jumlah waktu yang didekasikan untuk mencari, jadi mengumpulkan kerang adalah suatu sinyal lemah bagi kemampuan atau kekuatan.
Hal ini menyarankan bahwa peningkatan energisitas bukanlah alasan utama pria ikut serta dalam berburu kura-kura dan menombak ikan.
[42]
Penelitian selanjutnya menemukan bahwa pemburu Meriam yang sukses mendapatkan keuntungan sosial dan kesuksesan reproduktif yang lebih besar daripada pemburu yang kurang berkemampuan.
[58]
Masyarakat Hadza di Tanzania juga berbagi makanan, kemungkinan untuk meraih reputasi.
[59]
Pemburu tidak bisa berbagi makanan hanya untuk membekali keluarga mereka atau untuk mendapatkan keuntungan balasan, karena anak muda sering memberikan daging mereka walaupun mereka belum memiliki istri atau anak, jadi pensinyalan berbiaya dari kualitas-kualitas mereka adalah penjelasan yang memungkinkan.
[60]
Kualitas ini termasuk penglihatan yang bagus, koordinasi, kekuatan, pengetahuan, ketahanan, atau keberanian.
Pemburu-pemburu Hadza sering berpasangan dengan istri yang lebih subur, perkerja keras daripada dengan yang bukan pemburu.
[61]
Wanita diuntungkan dari berpasangan dengan pria yang memiliki kualitas tersebut karena ada kemungkinan anak mereka akan diturunkan kualitas yang meningkatkan kesesuaian dan kebertahanan.
Istri juga akan diuntungkan dari tingginya status sosial suami mereka.
Oleh karena itu, berburu adalah sinyal yang jujur dan berbiaya untuk kualitas fenotipe.
[62]
Di antara pria dari pulau karang Ifaluk, teori pensinyalan berbiaya dapat menjelaskan kenapa pria mengobori ikan.
[51]
Mengobori ikan adalah metode ritualisasi ikan pada Ifaluk dengan pria menggunakan obor terbuat dari daun kelapa kering untuk menangkap ikan tuna besar.
Persiapan untuk pengoboran ikan membutuhkan investasi waktu lebih dan membutuhkan kerjasama yang besar.
Karena biaya waktu dan energi untuk persiapan, pengoboran ikan menghasilkan kehilangan kalori bagi nelayan.
Oleh karena itu, pengoboran ikan adalah suatu rintangan yang digunakan untuk mensinyalkan produktivitas pria.
[51]
Pengoboran ikan adalah pekerjaan memancing yang paling terkenal di Ifaluk.
Wanita dan individu lain dari komunitas biasanya menghabiskan waktu mengamati sampan saat mereka berlayar melewati batu karang.
Juga, ritual-ritual lokal membantu untuk menyebarkan informasi tentang nelayan mana yang sukses dan meningkatkan reputasi nelayan selama musim pengoboran ikan.
Beberapa perilaku ritual dan batasan diet secara jelas membedakan antara pengobor ikan dari pria lainnya.
Pertama, pria hanya dibolehkan mengobori ikan jika mereka berpartisipasi pada hari pertama dari musim pemancingan.
Komunitas mengetahui siapa yang berpartisipasi pada hari tersebut, dan dapat dengan mudah mengenali pengobor ikan.
Kedua, pengobor ikan mendapatkan semua makanan mereka di rumah sampan dan dilarang makan beberapa jenis makanan.
Orang-orang sering kali mendiskusikan kualitas dari pemancing obor.
Di Ifaluk, wanita mengklaim bahwa mereka mencari pasangan yang bekerja keras.
[63]
Dengan perbedaan pembagian pekerjaan seksual di Ifaluk, perindustrian memiliki karakteristik nilai tinggi pada pria.
[64]
Pengoboran ikan maka menyediakan wanita dengan informasi yang dipercaya terhadap etika kerja dari pasangan yang prospektif, yang membuatnya suatu sinyal jujur berbiaya.
[52]
Dalam kebanyakan kasus manusia, reputasi kuat yang dibangun lewat pensinyalan berbiaya meningkatkan status sosial seorang pria dibandingkan status pria yang sinyalnya kurang sukses.
[49][65][66]
Di antara kelompok pencari makan Kalahari utara, pemburu tradisional biasanya menangkap paling banyak dua atau tiga kijang setiap tahun.
[67]
Diceritakan tentang pemburu yang biasanya sukses:[68]
"Dikatakan oleh dia bahwa dia tidak akan kembali dari berburu sebelum membunuh paling tidak satu rusa, atau sesuatu yang besar. Maka orang yang berkerabat dengan dia memakan daging yang lumayan dan popularitasnya bertambah."
[68]
Walaupun pemburu tersebut berbagi daging, dia tidak melakukannya dalam kerangka resiprosikal.
[68]
Model umum dari pensinyalan berbiaya bukanlah resiprosikal; melainkan, individu yang berbagi mendapatkan pasangan dan teman.
[16][42]
Pensinyalan berbiaya berlaku untuk situasi dalam kelompok pencari makan Kalahari yang berbagi sering dilakukan kepada penerima yang memiliki sedikit untuk diberikan sebagai balasan.
Pemburu muda termotivasi untuk memperlihatkan anggota komunitas yang memiliki anak perempuan sehingga dia bisa mendapatkan istri pertamanya.
Pemburu tua bisa mengharapkan untuk menarik atensi dari wanita yang tertarik dengan hubungan tanpa kawin, atau menjadi saudara perempuan istri.
[69][70]
Di kelompok Kalahari utara ini, membunuh hewan besar mengindikasikan seorang pria telah menguasai seni berburu dan mampu mendukung sebuah keluarga.
[71]
Secara umum, banyak wanita mencari pria yang bagus berburu, memiliki karakter yang sesuai, dermawan, dan memiliki keuntungan hubungan sosial.
[67][70][71]
Karena kemampuan berburu adalah syarat untuk kawin, pria yang bagus dalam berburu memasuki masa kawin lebih dahulu.
Teori pensinyalan berbiaya menjelaskan tontonan pengumpulan makanan yang tampak boros.
[61]
Risiko fisik sebagai suatu sinyal berbiaya
Pensinyalan berbiaya bisa digunakan pada situasi lain yang mengikutkan sifat fisik dan risiko luka fisik atau kematian.
[72][73][74]
Penelitian terhadap mengambil risiko fisik adalah penting karena informasi mengenai kenapa orang, terutama pria muda, ikut serta dalam aktivitas berisiko dapat membantu dalam perkembangan dari program pencegahan.
[73][74]
Mengemudi ugal-ugalan secara khususnya merupakan masalah mematikan di antara remaja dan anak muda di masyarakat barat.
[75]
Seorang pria yang melakukan risiko fisik mengirimkan pesan bahwa dia memiliki kekuatan dan kemampuan yang cukup untuk bertahan pada aktivitas berbahaya yang ekstrem.
Sinyal ini diarahkan kepada teman dan pasangan potensial.
[16]
Dalam sebuah penelitian mengenai pengambilan risiko, beberapa tipe risiko, seperti risiko fisik atau heroik untuk keuntungan orang lain, dilihat lebih disukai daripada tipe risiko yang lainnya, seperti meminum obat-obatan.
Pria dan wanita menghargai beberapa tingkat dari risiko heroik bagi pasangan dan teman sesama jenis.
Pria menghargai pengambilan risiko heroik oleh teman pria, tetapi kurang menyukainya pada pasangan wanita.
Wanita menghargai pengambilan risiko heroik pada pasangan pria dan kurang para teman wanita.
Wanita mungkin lebih tertarik kepada pria yang cenderung secara fisik melindungi mereka dan anak mereka.
Pria mungkin menyukai pengambilan risiko heroik oleh teman pria lain karena dapat menjadi sekutu yang baik.
[74]
Di masyarakat barat, donor darah sukarela adalah bentuk umum, walau kurang ekstrem, dari mengambil risiko.
Biaya dari donasi ini termasuk sakit dan risiko infeksi.
[76]
Jika donasi darah adalah sebuah kesempatan untuk mengirimkan sinyal berbiaya, maka para pendonor akan dianggap oleh orang lain sebagai dermawan dan sehat secara fisik.
[16][77]
Dalam sebuah survei, baik donor dan non-donor memberikan ekspresi perspeksi dari kesehatan, kedermawaan, dan kemampuan pendonor darah untuk bekerja dalam situasi stres.
[77]
Agama sebagai sinyal berbiaya
Ritual agama berbiaya seperti sunat pada pria, kekurangan makanan dan air (puasa), dan memegang ular; tampak paradoks dalam makna evolusioner.
Kepercayaan beragama yang taat di tempat tradisi tersebut dipraktikan tampak sebagai suatu sifat penyesuaian diri.
[78]
Agama mungkin muncul untuk meningkatkan dan menjaga kooperasi dalam kelompok.
[79]
Kooperasi mengarah pada perilaku altruistik,
[80]
dan pensinyalan berbiaya dapat menjelaskan hal tersebut.
[16]
Semua agama mungkin memiliki ritual berbiaya dan rumit, yang dilakukan secara publik, untuk mendemonstrasikan loyalitas kepada kelompok agama.
[81]
Dengan cara ini, anggota kelompok meningkatkan persekutuannya terhadap kelompok dengan mensinyalkan menginvestasi dalam keuntungkan kelompok.
Namun, saat ukuran kelompok meningkat di antara manusia, ancaman dari penumpang gratis ikut tumbuh juga.
[50]
Pensinyalan berbiaya menghitung hal ini dengan mengajukan bahwa ritual agama tersebut adalah cukup berbiaya untuk menghalangi penumpang gratis.
[82]
Irons mengajukan bahwa teori pensinyalan berbiaya dapat menjelaskan perilaku beragama yang berbiaya.
Dia berargumen bahwa tampilan keagamaan yang susah-dipalsukan meningkatkan kepercayaan dan solidaritas dalam suatu komunitas, memproduksi keuntungan emosional dan ekonomis.
Dia mendemonstrasikan sinyal-sinyal tampilan di antara YomutTurkmen di Iran utara membantu mengamankan persetujuan dagang.
Tontonan yang "sok pamer" tersebut mensinyalkan komitmen kepada Islam kepada orang asing dan anggota kelompok.
[83]
Sosis mendemonstrasikan bahwa orang dalam komunitas agama empat kali lebih mungkin hidup lebih lama daripada teman sekuler mereka,
[51][80]
dan bahwa umur panjang tersebut secara positif berkorelasi dengan jumlah kebutuhan berbiaya yang dituntut dari anggota komunitas beragama.
[84]
Namun, variabel-variabel yang membingungkan mungkin belum diikutkan.
[85]
Iannaccone meneliti efek dari sinyal berbiaya pada komunitas beragama.
Dalam survey umum, saat semakin ketatnya suatu gereja, pengunjung dan kontribusi kepada gereja tersebut meningkat secara proporsional.
Efeknya, orang lebih suka berpartisipasi pada sebuah gereja yang lebih memiliki tuntutan keras terhadap anggotanya.
[86]
Selain dukungan eksperimen bagi hipotesis ini, ia masih kontroversial.
Salah satu kritik umum adalah bahwa ketaatan sangat mudah dipalsukan, seperti mengunjungi pelayanan beragama.
[87]
Namun, hipotesis tersebut memprediksi bahwa orang-orang lebih mungkin bergabung dan berkontribusi pada kelompok agama saat ritualnya berbiaya.
[86]
Kritik lain secara khusus bertanya: kenapa agama? Tidak terlihat adanya keuntungan evolusioner bagi agama berkembang dibandingkan sinyal komitmen lainnya seperti nasionalitas, yang Irons sendiri akui.
[80]
Namun, penguatan ritual beragama sebagaimana balasan intrinsik dan sistem hukuman yang ditemukan pada agama membuatnya sebagai kandidat yang ideal untuk meningkatkan kooperasi sesama kelompok.
Terakhir, tidak cukup bukti bagi peningkatan dalam kesesuaian sebagai suatu hasil dari kooperasi beragama.
[80]
Namun, Sosis berargumen bagi keuntungan dari agama itu sendiri, seperti meningkatnya usia, membaiknya kesehatan, membantu selama krisis, dan lebih baiknya orang secara psikologi.
[88]
^Ahli ekonomi menyebut apa yang tersedia bagi penerima dengan "informasi publik".
^Ahli ekonomi menyebut apa yang tidak bisa diobservasi tetapi memiliki nilai bagi penerima dengan "informasi privat"; ahli biologi sering menyebutnya dengan "kualitas"
^Pembuktian Grafen secara formal mirip dengan monografi klasik tentang pensinyalan ekonomi pasar oleh peraih Nobel Michael Spence.
[36]
Barrett L, Dunbar R, Lycett J (2002) Human evolutionary psychology. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Bergstrom, C T; Lachmann, M (2001). "Alarm calls as costly signals of antipredator vigilance: the watchful babbler game". Animal Behavior. 61 (3): 535–543. doi:10.1006/anbe.2000.1636.
Caryl, PG (1979). "Communication by agonistic displays: what can games theory contribute to ethology?". Behaviour. 68: 136–169. doi:10.1163/156853979X00287.
Dall, SRX; Giraldeau, L; Olsson, O; McNamara, J; Stephens, D (2005). "Information and its use by animals in evolutionary ecology". Trends Ecol. & Evo. 20 (4): 187–193. doi:10.1016/j.tree.2005.01.010. PMID16701367.
Dawkins, R & Krebs, JR (1978) Animal signals: information or manipulation? in Behavioural Ecology: an evolutionary approach 1st ed. (Krebs, JR &, Davies, NB, eds) Blackwell: Oxford, 282–309.
Eshel, I; Sansone, Emilia; Jacobs, Frans (2002). "A long-term genetic model for the evolution of sexual preference: the theories of Fisher and Zahavi re-examined". J. Math. Biol. 45: 1–25. doi:10.1007/s002850200138.
Feldhamer, George A (2007). Mammalogy: Adaptation, Diversity, Ecology. JHU Press. hlm. 423.
Dowling, JH (1968). "Individual ownership and the sharing of game in hunting societies". American Anthropology. 70 (3): 502–507. doi:10.1525/aa.1968.70.3.02a00040.
Enquist, M (1985). "Communication during aggressive interactions with particular reference to variation in choice of behaviour". Animal Behaviour. 33 (4): 1152–1161. doi:10.1016/S0003-3472(85)80175-5.
Gerhardt, H Carl; Sarah C Humfeld and Vincent T Marshall (2007). "Temporal order and the evolution of complex acoustic signals". Proceedings of the Royal Society B. London, UK: Royal Society Publishing. 274 (1619): 1789–1794. doi:10.1098/rspb.2007.0451. PMC2173945. PMID17507330. Diakses tanggal 2009-09-15. A first step in understanding the evolution of complex signals is to identify the factors that increase the effectiveness of compound signals with two different elements relative to a single-element signal. Are there, for example, characteristics of novel elements that make a compound call more attractive to prospective mates than a single established element alone? Or is any novel element that increases sensory stimulation per se likely to have this effect?Hapus pranala luar di parameter |publisher= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
Getty, T (1998 (a)). "Handicap signalling: when fecundity and viability do not add up". Animal Behaviour. 56 (1): 127–130. doi:10.1006/anbe.1998.0744. PMID9710469.Periksa nilai tanggal di: |year= (bantuan)
Getty, T (1998 (b)). "Reliable signalling need not be a handicap". Anim. Behav. 56 (1): 253–255. doi:10.1006/anbe.1998.0748. PMID9710484.Periksa nilai tanggal di: |year= (bantuan)
Gurven, M; Hill, K; Hurtado, A; Lyles, R; Lyles, Richard (2000). "Food transfers among Hiwi foragers of Venezuela: tests of reciprocity". Human Ecology. 28 (2): 171–218. doi:10.1023/A:1007067919982.
Hamilton, WD; Zuk, M (1982). "Heritable true fitness and bright birds: a role for parasites?". Science. 218: 384–387. doi:10.1126/science.7123238. PMID7123238.
Hawkes K (1990) Why do men hunt? Some benefits for risky choices. In: Cashdan E (ed) Uncertainty in tribal and peasant economies. Westview, Boulder, 145–166.
Hawkes, K (1991). "Showing off: tests of another hypothesis about men's foraging goals". Ethol Sociobiol. 12: 29–54. doi:10.1016/0162-3095(91)90011-E.
Irons W (1996) "Morality as an Evolved Adaptation" in Investigating the Biological Foundations of Morality, JP Hurd (ed.) Lewiston: Edwin Mellon Press, 1–34.
Irons W (2001) Religion as a hard-to-fake sign of commitment, in The Evolution of Commitment, Randolph Nesse (ed.) New York: Russell Sage Foundation, 292–309.
Johnstone, RA; Grafen, A (1993). "Dishonesty and the handicap principle". Anim Behav. 46 (4): 759H. Carl 764. doi:10.1006/anbe.1993.1253.
Johnstone RA (1997) The evolution of animal signals. In: Krebs JR, Davies NB (eds) Behavioural ecology: an evolutionary approach. Blackwell, Oxford, 155–178.
Johnstone, RA (1998). "Conspiratorial whispers and conspicuous displays: Games of signal detection". Evolution. 52 (6): 1554H. Carl 1563. doi:10.2307/2411329. JSTOR2411329.
Johnstone, RA (1999). "Signaling of need, sibling competition, and the cost of honesty". PNAS. 96 (22): 12644–12649. doi:10.1073/pnas.96.22.12644.
Kelly RL (1995) The foraging spectrum: diversity in hunter-gatherer lifeways. Washington: Smithsonian Institute Press.
Krebs, JR and Dawkins, R (1984) Animal signals: mind-reading and manipulation. in Behavioural Ecology: an evolutionary approach, 2nd ed (Krebs, JR &, Davies, N.B., eds), Sinauer: 380–402.
Lee RB (1979) The !Kung San: men, women and work in a foraging society. Cambridge: Cambridge University Press.
Lee R (1993) The Dobe Ju/’hoansi. New York: Harcourt Brace.
Lozano, GA (1994). "Carotenoids, parasites, and sexual selection". Oikos. 70 (2): 309–311. doi:10.2307/3545643.
Luxen, MF; Buunk, BP (2006). "Human Intelligence, fluctuating asymmetry and the peacock's tail: General Intelligence (g) as an honest signal of fitness". Personality & Individual Differencces. 41 (5): 897–902. doi:10.1016/j.paid.2006.03.015.
Lyle, H; Smith, E; Sullivan, R (2009). "Blood Donations as Costly Signals of Donor Quality". Journal of Evolutionary Psychology. 4: 263–286.
Maynard Smith, J and Harper, D (2003) Animal Signals Oxford: Oxford University Press.
Nell, V (2002). "Why Young Men Drive Dangerously: Implications for Injury Prevention". Current Directions in Psychological Science. 11 (2): 75–79. doi:10.1111/1467-8721.00172.
McElreath, R and Boyd, R (2007) Mathematical Models of Social Evolution. Chicago: University of Chicago Press.
Smith, E; Bliege Bird, R; Bird, D (2002). "The Benefits of Costly Signaling: Meriam Turtle Hunters". Behavioral Ecology. 14 (1): 116–126. doi:10.1093/beheco/14.1.116.
Sosis R (1997) The Collective Action Problem of Male Cooperative Labor on Ifaluk Atoll. Unpublished PhD Thesis, University of New Mexico.
Sosis, R; Feldstein, S; Hill, K (1998). "Bargaining theory and cooperative fishing participation on Ifaluk Atoll". Human Nature. 9 (2): 163–203. doi:10.1007/s12110-998-1002-5.
Sosis, R (2003). "Signaling, Solidarity, and the Sacred: The Evolution of Religious Behavior". Evolutionary Anthropology. 12 (6): 264–274.
Spence, AM (1974) Market Signaling, Information Transfer in Hiring and Related Processes. Harvard University Press
Steadman L and Palmer C (2008) The Supernatural and Natural Selection: Religion and Evolutionary Success. Paradigm Publishers.
Thomas EM (1959) The harmless people. New York: Knopf.
Tuzin D (1982) Ritual Violence among the Ilahita Arapesh. In Rituals of Manhood: Male Initiation in Papua New Guinea, GH Herdt, ed. Berkeley: University of California Press. 321–356.
Veblen, T (1899) The Theory of the Leisure Class: an Economic Study of Institutions, Penguin.
Vonnegut, K (1961) Harrison Bergeron. Fan. Sci. Fict. Mag. Oct., 5–10.
Wiessner P (1996) Leveling the hunter: constraints on the status quest in foraging societies. In: Wiessner P, Schiefenhovel W (eds) Food and the status quest. Berghahn, Providence, RI, 171–192.
Zahavi, A and Zahavi, A (1997). The Handicap Principle. Oxford University Press.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
Zahavi A (1977) Reliability in communication systems and the evolution of altruism. In: Stonehouse B, Perrins CM (eds) Evolutionary ecology. Macmillan, London, 253– 259.