Teori Pemosisian
Urutan pemosisian berdasarkan bagaimana posisi diasumsikan terdiri dari: pemosisian pertama, kedua, dan ketiga. Pemosisian juga dapat diklasifikasikan dalam berbagai jenis tergantung pada situasi spesifik, misalnya posisi diri sendiri, orang lain, diam-diam, disengaja, interaktif, refleksif, moral, pribadi, tidak langsung, dan penuh dendam. Berasal dari studi gender tahun 1980-an, teori pemosisian kemudian dikembangkan oleh Bronwyn Davies, Rom Harré, Luk Van Langenhove, dan Fathali Moghaddam. Teori ini memuat struktur untuk analisis wacana sosial dan dipergunakan untuk mempelajari situasi sosial. Penerapannya juga meluas ke bidang-bidang lain, seperti pendidikan, antropologi, komunikasi, dan ilmu politik. GambaranTeori pemosisian memberikan pemahaman mengenai alasan individu memutuskan bertindak dengan suatu perilaku. "Posisi" didefinisikan sebagai kumpulan keyakinan yang dapat diubah dari seorang individu sehubungan dengan hak, tugas, dan kewajiban mereka. Posisi bersifat terbuka untuk sebuah perubahan (dibandingkan dengan "peran" yang bersifat konstan) dan menjadi landasan bagi individu untuk dapat menentukan bagaimana berperilaku dengan cara tertentu. Sementara, "pemosisian" merujuk pada mekanisme saat sebuah peran diterima, disesuaikan atau ditolak.[1] Pemosisian juga melibatkan bentuk-bentuk di mana individu membangun diri mereka sendiri dan orang lain melalui kegiatan diskursif, seperti ekspresi lisan dan tertulis, penggunaan bahasa, ucapan, dan tindakan lain berdasarkan sistem normatif dan moral.[2][3] Dalam hal ini, tindakan seseorang sangat bergantung oleh tindakan orang lain. Saat melaksanakan tugas, individu melibatkan kemampuan kognitifnya maupun kemampuan orang lain.[1] Peneliti telah mempelajari narasi yang digunakan individu dalam rangka memposisikan dirinya dan orang lain. Studi-studi ini menyoroti posisi yang diemban oleh individu (bagi dirinya sendiri dan orang lain) berdasarkan interpretasi mereka terhadap “hak” dan “kewajiban”. Teori ini juga mempelajari pola ucapan dan tindakan yang bersifat berubah-ubah, tidak pasti, dan tidak kekal.[4] Karena sifatnya yang dinamis, teori ini sangat berbeda dengan teori peran yang relatif konstan dan statis.[5][6] Teori pemosisian dapat digunakan untuk menyelidiki bagaimana seorang individu membangun cerita mereka, rasa diri, tindakan sosial (termasuk bercakap), dan posisi yang ia sedang tunjukan.[3] Kaitan dengan teori Lev VygotskyRom Harré dan Fathali Moghaddam mengatakan bahwa teori pemosisian merupakan eksplorasi mendalam dari karya para ahli teori sebelumnya, seperti Lev Vygotsky.[4] Teori ini cukup berkaitan dengan pendekatan Vygotsky yang mengulas aspek belajar dan mengajar, di mana teori ini dapat diterapkan pada studi pendidikan dengan penekanan pada atribut individu dan sosial.[3] Vygotsky berteori bahwa dukungan sosial yang positif dapat mendorong seseorang untuk meraih fungsi mental yang lebih tinggi.[7] Dalam ZPD Vygotsky, kinerja seorang pelajar dalam mengerjakan tugas dapat meningkat apabila ia mendapat dukungan dari orang dewasa atau ketika ia berkolaborasi dengan rekan-rekannya. Menurut Harré dan Moghaddam, teori pemosisian dapat menyempurnakan teori Vygotsky dengan menekankan variabilitas posisi yang muncul pada kelompok yang mendukung pelajar tersebut.[4] Teori pemosisian menyoroti individu dan pengetahuannya dalam konteks pendidikan.[4] Peran dan posisi terlihat tumpang tindih, di mana pemosisian berperan sebagai sebuah alternatif yang menjelaskan peran seseorang.[3] Konsepsi keduanya sangatlah berbeda, mengingat "peran" bersifat statis dan "posisi" dapat berubah tergantung pada konteksnya. Davies dan Harré menjelaskan perbedaan ini dengan contoh peran seorang "ibu". Ada pemahaman umum tentang peran yang dimainkan seorang ibu dalam kehidupan seseorang, tetapi yang hilang adalah pemahaman yang terinternalisasi tentang sosok "ibu" pada setiap individu yang memainkan peran itu. Hal ini menandakan bahwa "posisi" sangat terpengaruh oleh pengalaman hidup yang unik dari setiap individu. Apakah seseorang menantikan atau menolak menjadi seorang ibu, atau terkait hubungan yang kuat atau renggang dengan sosok ibu mereka. Cerita dibalik setiap pengalaman hidup inilah yang lantas membangun posisi seseorang terhadap gagasan "ibu". Atas hal tersebut, teori pemosisian dapat diaplikasikan dalam lingkup pendidikan ketika menyoroti perbedaan “peran” seorang guru dengan “posisi” seorang guru.[8] Atribut individu dan sosialSegitiga pemosisianMakna (signifikansi) sosial dari tindakan pemosisian dapat dipahami melalui diagram segitiga pemosisian. Sudut yang saling terhubung pada segitiga menunjukkan bahwa perubahan di salah satu bagian akan memengaruhi sudut lainnya. Misalnya, merubah alur cerita akan merubah juga posisi dan tindak tutur (ucapan).[10] Harré dan Luk Van Langenhove menguraikan bahwa apa yang dilakukan seseorang merupakan fungsi dari "kapasitas orang untuk melakukan hal-hal tertentu", "batasan yang dikenakan orang untuk melakukan hal-hal tertentu", dan "intensi bahwa orang harus melakukan hal-hal tertentu".[1] PosisiHarré dan Moghaddam menyatakan bahwa gagasan tentang posisi terdiri dari komponen sosial dan individu.[11] "Posisi" digambarkan Harré sebagai "sekelompok hak, kewajiban, dan tugas jangka pendek yang dapat diperdebatkan" dari seseorang dalam berbagai konteks sosial. Dalam hal ini, hak, kewajiban, dan tugas tersebut diemban oleh karakter dan kepribadian seseorang.[10] Sementara, pembentukan posisi bersumber dari tradisi dan adat istiadat individu terkait. Sehingga, suatu posisi dapat dikatakan menentukan apa yang diizinkan untuk dikatakan atau dilakukan oleh individu.[11] Ucapan dan tindakanSetiap tindakan yang bermakna secara sosial, baik itu sebuah perbuatan atau ucapan perlu dilihat sebagai tindakan yang signifikan (bermakna). Contoh tindakan ialah melompat. Melompat mungkin dilakukan seseorang dengan tujuan untuk melewati objek, mengikuti instruktur pendidikan jasmani, berolahraga, atau untuk membuat sebuah gerakan yang dapat ditiru oleh orang lain. Tindakan ini hanya akan dianggap penting bila telah diidentifikasi menurut aturan perilaku moral atau sosial yang diterima dan dimaknai berdasarkan konteksnya. Situasi yang tepat (misal: kelas pendidikan jasmani) dan tindakan bermakna yang relevan (misal: instruktur menunjukkan cara melompat) harus muncul sebelum tindakan dilakukan (melompat oleh siswa). Setelah itu, akan ada konsekuensi lanjutannya, seperti penilaian kemampuan melompat.[10] Berbeda dari tindakan, ucapan tidak mendorong adanya ucapan yang lain.[11] Namun, ucapan dapat mendorong perkembangan alur cerita, di mana posisi baru dan ucapan lainnya terjadi. Sehingga ucapan dapat memaknai dan menjadi landasan ucapan lainnya.[12] Alur ceritaAlur cerita adalah hasil dari ucapan dan tindakan. Individu dan orang-orang di sekelilingnya berperan dalam pembentukan pola narasi pada peristiwa sosial.[10] Alur cerita dapat dilihat sebagai siapa yang memiliki atau tidak memiliki hak atau kewajiban untuk bertindak, dan bagaimana ia bertindak. Saat memaparkan sebuah cerita, seseorang bisa saja diposisikan sebagai pahlawan atau penjahat, tergantung pada alur cerita yang tengah dibangun.[13] Oleh sebab itu, perubahan alur cerita dapat mengubah posisi awal individu yang terlibat.[10] Saat individu bercakap-cakap satu sama lain, ia dapat menggunakan narasi atau alur cerita untuk membuat tindakan dan kata-katanya menjadi penuh arti dan bermakna baik bagi dirinya maupun orang lain.[11] Dimensi moralSeluruh struktur sosial merupakan tatanan moral yang menentukan aturan perilaku yang dapat diterima. Dalam hal ini, ucapan membangun dan menggerakkan tatanan moral. Sementara, kecakapan individu dalam bertindak mandiri bersumber dari kemungkinan mereka untuk menentang tatanan moral ataupun menciptakan tatanan moral yang baru. Saat individu bertindak, maka di saat itulah ia sedang mengembangkan tatanan moral pribadi (misal: membenarkan perilakunya sendiri yang dianggap tidak bertanggung jawab atau tidak pantas). Oleh karena itu, tatanan moral pribadi terkadang dipandang lebih kuat dibandingkan tatanan moral yang berlaku di masyarakat.[14] Situasi sosialTeori pemosisian menganalisis berbagai situasi sosial yang berkaitan dengan tiga gagasan ini:[11]
KepribadianTeori pemosisian berfokus pada dua aspek kepribadian:[15]
Jenis pemosisianTatanan posisiPemosisian pertama merujuk pada posisi yang diasumsikan individu dan terlepas dari pengaruh apapun. Pemosisian kedua merujuk pada perubahan pemosisian pertama sebagai akibat dari interaksi dengan orang lain dalam lingkungan sosial. Sedangkan, pemosisian ketiga merujuk pada situasi di mana interaksi sosial memengaruhi individu di luar lingkungan sosial sehingga individu mengemban posisi berdasarkan apa yang mereka amati.[6] Pemosisian diri dan orang lainPemosisian diri terjadi ketika individu memposisikan dirinya, sedangkan pemosisian orang lain terjadi ketika individu memposisikan orang lain. Keduanya saling berkelindan. Hal ini disebabkan karena ketika seseorang sedang memposisikan dirinya, maka posisi orang lain juga perlu ditentukan, dan begitupun sebaliknya.[6] Pemosisian diam-diam dan disengajaPemosisian diam-diam (implisit) biasanya termasuk pemosisian pertama, hasil dari interaksi sehari-hari, dan bersifat tidak disengaja. Pemosisian ini mengacu pada apa yang telah dipahami dan diinternalisasi dari waktu ke waktu. Sedangkan, pemosisian disengaja mengacu pada posisi yang secara sadar diasumsikan dan tergantung pada tujuan akhir dari posisi yang diasumsikan. Pemosisian disengaja dapat digolongkan menjadi empat jenis:[6]
Pemosisian interaktif dan refleksifPemosisian interaktif terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang memposisikan orang lain berdasarkan perilaku dan apa yang mereka katakan. Sedangkan, pemosisian refleksif terjadi ketika individu memposisikan dirinya dalam menanggapi orang lain. Kedua pemosisian ini dijelaskan oleh Davies dan Harré melalui contoh interaksi antara siswa dan kepala sekolah. Kepala sekolah memergoki seorang siswa memakai topi di sekolah dan meminta siswa tersebut untuk melepaskannya. Namun, siswa tersebut justru menolak untuk mematuhinya dan menerima skorsing selama dua hari. Pemosisian interaktif dapat terlihat ketika kepala sekolah meminta siswa bersangkutan untuk melepas topinya dan kemudian memposisikan siswa tersebut sebagai pemberontak. Sedangkan, pemosisian refleksif terjadi ketika siswa menolak untuk mematuhi perintah kepala sekolah.[16] Davies dan Harré mengatakan bahwa pemosisian akibat interaksi ini terkadang dapat berlanjut ke alur cerita lain yang tidak terkait dengannya di masa depan. Misalnya, siswa bisa saja diposisikan sebagai pemberontak oleh kepala sekolah dalam sebuah interaksi di masa depan, meski interaksi tersebut tak terkait dengan histori interaksi masa lalu.[9] Pemosisian moral dan pribadiPemosisian moral terjadi ketika seseorang berperilaku sesuai dengan hak, tugas, dan kewajiban perannya. Contohnya, profesor-mahasiswa, orang tua-anak, atau pegawai toko-pelanggan. Sedangkan pemosisian pribadi terjadi berdasarkan sifat dan pengalaman hidup, serta tidak menyesuaikan dengan peran umum atau yang diharapkan. Contohnya, seseorang yang telah mempelajari hukum dapat mewakili dirinya sendiri di pengadilan bahkan tanpa gelar sarjana hukum.[6] Pemosisian tidak langsungPemosisian tidak langsung terjadi ketika seseorang menggunakan karakteristik tertentu untuk memposisikan baik atau buruknya individu terkait dengan hubungannya dengan diri sendiri dan keinginan kelompoknya. Misalnya, seseorang yang memposisikan dirinya sebagai "bodoh", maka akan menghalangi dirinya untuk melakukan kinerja kognitif di tingkatan tertentu. Contoh lainnya adalah ketika seseorang diposisikan sebagai "tidak bertanggung jawab", maka akan mengakibatkan individu tersebut dikucilkan oleh kelompok sosialnya dari tugas-tugas yang memerlukan tingkat tanggung jawab tertentu. Harré dan Moghaddam mencontohkan tipe ini dengan melihat bahwa pemimpin suatu negara dapat memposisikan bangsa yang diwakilinya secara keseluruhan. Misalnya, Eropa menyematkan frasa "Presiden Koboi" pada George W. Bush yang secara tidak langsung berarti memposisikan Amerika Serikat sebagai bangsa yang bodoh.[4] Pemosisian balas dendam atau jahatPemosisian balas dendam terjadi ketika individu menyebabkan orang lain untuk menggambarkan dirinya secara negatif dan akibatnya memperlakukan mereka dengan buruk. Misalnya, seseorang memandang remeh penyandang disabilitas, sementara ia tidak menyadari perspektif yang bias ini.[4] SejarahTeori pemosisian berasal dari studi gender pada tahun 1980-an. Bronwyn Davies selaku profesor pendidikan di Universitas Western Sydney meninjau teori dari para cendekiawan feminis ini untuk memperluas subjektivitas, alur cerita, dan narasi dalam teori pemosisian.[17] Pengembangan teori pemosisian tahap awal kemudian dikerjakan oleh Rom Harré, Luk Van Langenhove, dan Fathali Moghaddam.[4][6] Harré dan Van Langenhove selanjutnya menyempurnakan teori tersebut secara konseptual. Penyempurnaan itu meliputi perbedaan pemosisian orde pertama dan kedua, pemosisian moral dan pribadi, pemosisian diam-diam dan disengaja, serta pemosisian diri dan orang lain.[6] Teori pemosisian kemudian dijadikan kerangka analisis wacana sosial dan digunakan untuk mempelajari berbagai situasi sosial.[11] Meski berakar pada psikologi sosial, teori ini nyatanya dapat diterapkan pada bidang-bidang lain, seperti pendidikan,[18] antropologi,[19] komunikasi,[8] instansi kerja,[20] studi identitas politik,[21] dan hubungan masyarakat serta strategi komunikasi.[22] Referensi
|