Tembudan adalah salah satu kampung di kecamatan Batu Putih, Berau, Kalimantan Timur, Indonesia.
Kampung Tembudan berjarak sekitar 188 kilometer dari Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau, atau sekitar 80 kilometer dari Sangkulirang, Kutai Timur. Sebelumnya, wilayah ini masuk Kecamatan Talisayan. Namun seiring dimekarkannya beberapa wilayah, kini Tembudan masuk wilayah Kecamatan Batu Putih.
Sumber mata air
Di kampung ini terdapat sebuah sumber mata air. Sumber mata air yang menyerupai danau itu terletak di belakang mess milik perusahaan PT Sumalindo Lestari Jaya. Lokasi yang dipercaya sebagai tempat permandian Raja Alam itu kini masih terpelihara dan keberadaannya tetap dijaga oleh masyarakat setempat sehingga kondisinya terlihat tetap jernih. Ikan dan bebatuan di bawah air terlihat dengan jelas dari permukaan air.
Meski sudah berusia ratusan tahun atau sejak 1800-an silam, tetapi sumber air di Kampung Tembudan ini tetap terjaga. Sumber air inilah yang menjadi tumpuan warga setempat untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Tak heran, meski di kawasan ini tidak ada instalasi pengolahan air (IPA) milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Segah, tetapi warga tidak pernah kekurangan air bersih.
Karena itu, jika belum pernah melihat sumber air yang sangat jernih, sumber air di Tembudan ini boleh jadi adalah satu-satunya sumber air paling jernih di Kaltim. Bahkan, karena terlalu jernih, dasar perairan termasuk rumput, batu-batuan dan ikan yang ada di dalamnya terlihat sangat jelas dari atas permukaan air. Ada juga yang menyebut, kejernihan air di sumber mata air tersebut lebih baik ketimbang air mineral kemasan yang dijual bebas, sehingga saat ini sumber air itu menjadi persediaan air minum warga setempat.
Lokasi pemandian Raja Alam
Lokasi itu awalnya merupakan tempat mandi Raja Alam, salah satu pejuang yang diusulkan sebagai pahlawan nasional asal Kabupaten Berau. Raja Alam atau bernama lain Sultan Alimuddin, merupakan raja pertama di Kesultanan Sambaliung, selama dua periode, setelah sebelumnya Kesultanan Berau terpecah menjadi dua, yakni Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung, akibat taktik pecah-belah penjajah Belanda.
Raja Alam memimpin Kesultanan Sambaliung sejak 1810 sampai 1834 dan periode 1837 hingga 1844. Selain dipercaya sebagai tempat mandinya Raja Alam, dayang-dayang serta selir dari Raja Alam juga memanfaatkan air tersebut. Mata air itu berlokasi di Sungai Rindang dan di lokasi ini banyak bermukim warga suku Dayak Ahe.
Untuk menjaga agar mata air ini tetap jernih dan tidak berbau busuk, dibuat larangan tidak boleh membuang barang busuk ke sumber mata air ini. Jika ada yang melanggar aturan ini, pelakunya akan dikenakan denda sesuai hukum adat berlaku. Tidak tanggung-tanggung, denda yang dibebankan sebesar Rp 500 ribu.[1]
Referensi