Tamaman serat adalah tanaman yang ditumbuhkan untuk menghasilkan serat yang umumnya akan dijadikan berbagai macam komoditas, seperti kertas, pakaian, dan tali.[1]
Tanaman serat dicirikan dengan kandungan selulosa yang relatif tinggi dan menguatkan struktur mereka. Serat tersebut dapat dimodifikasi secara kimia, seperti serat selulosa viskos yang digunakan untuk membuat rayon dan selofan. Ilmu bahan telah berkembang beberapa tahun terakhir dan mulai mengembangkan beberapa jenis serat untuk dijadikan bahan atau material komposit. Selulosa merupakan faktor utama penentu kekuatan serat tanaman sehingga menjadi target riset dan pengembangan oleh para ilmuwan untuk menemukan jenis serat baru.
Tanaman serat juga umumnya dapat dipanen setelah satu musim berlalu; tidak sama dengan pohon yang membutuhkan waktu beberapa tahun sebelum bisa dipanen. Dalam kasus tertentu, serat yang dihasilkan tanaman semusim tersebut dapat berkualitas lebih baik dalam hal performa teknis, dampak lingkungan, dan biaya jika dibandingkan dengan pulp dari kayu.[2]
Beberapa masalah terkait pemanfaatan tanaman serat diantaranya ketersediaannya yang bersifat musiman. Pohon dapat dipanen pada musim apapun sehingga dapat tersedia di pasar kapan saja. Namun beberapa tanaman serat hanya bisa ditanam dan tumbuh pada musim tertentu saja. Penyimpanan serat tanaman musiman tersebut harus dilakukan dengan seksama agar tidak membusuk. Begitu banyak mesin pembuat pulp berkapasitas ribuan ton per sehari sehingga jika serat tidak tersedia sepanjang tahun, akan merugikan perusahaan.[3]
Secara botani, bagian tanaman yang dipanen seratnya adalah bagian serat kulit kayu, serat yang datang dari jaringan floem tanaman. Bagian tanaman berserat lainnya adalah serat daun yang keras yang terbuat dari seluruh jaringan pembuluh, dan serat permukaan yang datang dari jaringan epidermal tanaman.[1]
Sumber serat
Sebelum industrialisasi, sumber serat untuk produksi kertas datang dari tekstil bekas yang terbuat dari rami, hemp, linen, dan katun.[4] Proses untuk menghilangkan zat pewarna dari serat-serat tersebut dikembangkan oleh Justus Claproth di tahun 1774.[4] Metodenya disebut dengan pengawatintaan (deinking). Pulp kayu diperkenalkan pada tahun 1843 sehingga produksi kertas tidak lagi menggunakan serat tekstil bekas.[4]
Untuk dapat dimanfaatkan industri, serat harus diekstrasi dari tumbuhan. Ekstraksi dilakukan dengan berbagai metode, tergantung jenis seratnya.