Tanah longsor Tulabolo 2024

Longsor Tulabolo 2024
Nama asli Longsor tambang emas Tulabolo Timur
Tanggal06 Juli 2024 (2024-07-06)
Waktu(Waktu Indonesia Tengah)
LokasiDesa Tulabolo Timur, Kecamatan Suwawa Timur, Bone Bolango, Gorontalo, Indonesia
Penyebabhujan deras
Peserta/Pihak terlibat325 orang
Tewas27 orang
Hilang15 orang

Tanah longsor Tulabolo atau Tanah longsor tambang emas Tulabolo adalah bencana tanah longsor yang terjadi di kawasan tambang emas di Desa Tulabalo Timur, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo.[1] Peristiwa ini mulai terjadi pada Sabtu, 6 Juli 2024[2] yang mengakibatkan 27 korban meninggal dunia, 15 orang lainnya dinyatakan hilang dan 283 korban berhasil diselamatkan hingga selesainya masa tanggap darurat.[3]

Lokasi longsor

Lokasi longsor merupakan kawasan tambang emas ilegal yang telah beroperasi puluhan tahun. Tambang tersebut dimanfaatkan rakyat sejak tahun 1992, setelah eksplorasi dilakukan sejumlah perusahaan. Perusahaan yang pertama kali melakukan tambang di daerah ini ialah perusahaan berinisial T.[4] Ribuan hingga belasan ribu warga datang di kawasan ini untuk menambang emas dengan cara tradisional, dan membuka kawasan.[3]

Wilayah longsor yang dijadikan kegiatan Pertambangan Tanpa Izin (PETI) ini berada di dalam area Wilayah Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals,  namun lokasi tersebut belum ada kegiatan penambangan oleh PT Gorontalo Mineral karena masih dalam tahap eksplorasi.[5]

Data Kementerian ESDM, hingga tahun 2023 terdapat lebih dari 2.700 titik tambang ilegal tersebar di seluruh Indonesia, terutama di Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi.[6]

Latar belakang

Longsor mulai terjadi pada Sabtu, 6 Juli 2024 dini hari sekitar pukul 23.45 WITA seiring hujan deras yang terjadi. Saat itu sebagian korban sedang beristirahat dan tertidur di beberapa kem atau warung yang ada di lokasi tambang.[2] Longsor parah terjadi pada dua titik (yaitu pada titik bor 1 dan titik bor 2) dengan kondisi daerah curam.[7] Total ada 9 titik bor di lokasi tersebut, namun satu titik bor sudah tak digunakan lagi karena kandungan emas di dalamnya sudah tak ada. Pada setiap titik bor, para penambang membangun semacam rumah yang terbuat dari papan dan kayu yang beralaskan terpal. Rumah-rumah sederhana tersebut dijadikan tempat istirahat dan mengolah hasil tambang.[4]

Peristiwa longsor yang terjadi pada tahun 2024 bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya juga terjadi pada tahun 1998, 2002, dan 2020. Walau peristiwa pada 2024 yang menyebabkan korban jiwa.[3]

Masa tanggap darurat

Proses evakuasi yang dilakukan oleh tim SAR dan personel gabungan dari berbagai instansi mengalami kesulitan karena kondisi medan yang sulit dijangkau karena akses jembatan ke lokasi terputus.[8] Tim penyelamat harus berjalan kaki sejauh 20 km untuk mencapai lokasi yang dipenuhi lumpur tebal dan hujan yang terus berlangsung.[9]

Masa tanggap darurat berlangsung hingga 13 Juli 2024 atau 7 hari setelah terjadinya bencana. Penghentian pencarian juga disebabkan oleh cuaca ekstrem yang menyebabkan terjadinya longsor susulan. Sepekan masa tanggap darurat dilaporkan total korban dari bencana longsor ini sebanyak 325 orang. Dari jumlah tersebut 27 korban meninggal, 15 orang hilang, dan sebanyak 283 orang dinyatakan selamat.[3]

Pasca longsor

Setelah peristiwa longsor, aktivitas penambangan sempat berhenti sementara sesuai dengan kesepakatan Forum Pimpinan Daerah (Forkopimda) Bone Bolango. Berkembang usulan untuk menjadikan pertambangan tersebut menjadi legal melalui perubahan status menjadi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).[10]

Lihat juga

Catatan Kaki

Referensi