Keberadaan surau ini berkaitan dengan figur Syekh Ibrahim Mufti atau memiliki julukan Beliau Keramat. Ia merupakan murid Syekh Ahmad Qusasi di Madinah dan seangkatan dengan Abdurrauf as-Singkili. Setiba di Taram pada abad ke-17, Ibrahim Mufti mendirikan surau untuk mendukung kegiatan dakwahnya dalam penyebaran Islam.
Sejak didirikan, Surau Taram tercatat telah mengalami sejumlah perbaikan. Bangunan surau yang berdiri saat ini merupakan hasil pemugaran dengan tetap mempertahankan bentuk arsitektur asli.[1]
Surau Taram pernah menjadi sentral Tarekat Naqsyabandiyah di Lima Puluh Kota. AWP. Verkerk Pistorius dalam artikelnya di Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië pada tahun 1868 menyebut surau ini dihadiri oleh sekitar 1.000 murid dalam setahun.[2] Di sekitar Surau Taram, juga terdapat surau tempat mengajar Syekh Taram dan Syekh Sungai Ameh.[3]
Surau ini pernah digunakan sebagai tempat ibadah suluk. Saat ini, Surau Taram digunakan untuk aktivitas ibadah terbatas seiring dengan kehadiran masjid, yakni Masjid Baitul Qiramah di sebelah barat surau.
Tinggalan
Makam
Syekh Ibrahim Mufti dipandang oleh penduduk setempat sebagai orang yang memiliki karamah sehingga dijuluki Beliau Keramat. Makamnya terdapat di kompleks surau dan menjadi tujuan ziarah, teruatama tanggal 27 Rajab.[4] Penziarah datang dari berbagai daerah di Minangkabau baik dari pengikut Tarekat Naqsyabandiyah maupun Tarekat Syattariyah.
Surau Taram tercatat sebagai surau yang memiliki tradisi menulis dan menyalin naskah. Sedikitnya seratus koleksi naskah diperkirakan ada di sini, tetapi sebagian besar kini telah hilang. Hanya 14 naskah yang masih tersimpan, sepuluh di antaranya berada dalam kondisi yang sangat buruk. Sebagian naskah disimpan oleh Ramli Datuak Marajo Basa, keturunan ke-13 dari Ibrahim Mufti yang rumahnya terletak di sebelah surau.[1][6][7]