Prof. Dr. Suparni Pamudji, MPA (5 Maret 1933 – 31 Maret 1994) adalah seorang akademisi dan birokrat dari Indonesia.
Riwayat Hidup
Kehidupan awal dan pendidikan
Pamudji lahir pada tanggal 5 Maret 1933 di Ngawi. Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1953, Pamudji melanjutkan ke Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan lulus pada tahun 1959. Ia kembali berkuliah di Universitas Indiana pada tahun 1963 dan memperoleh gelar Master of Public Administration setelah menamatkan kuliahnya pada tahun 1965.[1]
Karier birokrasi
Kariernya dalam dunia birokrasi diawali dengan pengangkatan sebagai mantri di Kabupaten Malang pada tahun 1954. Ia diberhentikan dari jabatannya setahun kemudian karena kuliahnya di UGM. Usai menyelesaikan pendidikannya, ia mengajar di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri sebagai seorang dosen. Setelah itu, ia dipromosikan sebagai Pembantu Rektor Bidang Akademik pada tahun 1972. Enam tahun kemudian, pada tahun 1978, ia dikukuhkan oleh Menteri Dalam Negeri sebagai Rektor Institut Ilmu Pemerintahan (penerus Akademi Pemerintahan Dalam Negeri).[1] Ia mengakhiri masa jabatannya sebagai rektor pada tanggal 21 Agustus 1984 dan digantikan oleh Zamhir Islamie.[2]
Setelah mengakhiri kiprahnya dalam dunia pendidikan pamong praja, ia masuk ke dalam Departemen Dalam Negeri. Ia ditetapkan sebagai Inspektur Jenderal Departemen Dalam Negeri pada bulan Maret 1984, menggantikan Prapto Prayitno yang ditunjuk sebagai duta besar.[3] Ia kemudian ditunjuk dan dilantik sebagai Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional pada tanggal 1 Desember 1989.[4] Ia merangkap jabatan selama beberapa waktu hingga posisinya di Departemen Dalam Negeri digantikan oleh Soenirman Brotosandjojo.[5]
Demokrasi Pancasila
Pada tahun 1981, ketika menjabat sebagai Rektor Institut Ilmu Pemerintahan, Pamudji menulis buku yang berjudul Demokrasi Pancasila.[6] Dalam bukunya tersebut, Pamudji mengungkapkan sejumlah konsep yang berkaitan dengan Pancasila. Pamudji mendefinisikan Demokrasi Pancasila dalam buku tersebut sebagai "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."[7]
Pamudji juga mengungkapkan enam aspek utama dalam demokrasi Pancasila, yakni:
- aspek formal (proses dan bentuk badan perwakilan rakyat)
- aspek material (harkat dan martabat manusia)
- aspek normatif/kaidah (pembimbing dan kriteria untuk mencapai tujuan)
- aspek optatif (tujuan atau kehendak yang ingin dicapai)
- aspek organisasi (wadah pelaksanaan demokrasi)
- aspek kejiwaan (penyelenggaraan dan pemimpin negara)
dan dua aspek tambahan lainnya, yakni:
- aspek formal (pengambilan keputusan melalui musyawarah)
- aspek material/substansi/isi (cakupan demokrasi Pancasila).[8]
Wafat
Pamudji telah menderita penyakit ginjal sejak lama dan sudah pernah menjalani operasi ginjal di salah satu rumah sakit di Guangzhou, Tiongkok. Meskipun kondisinya sudah membaik, ia dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto pada bulan Januari 1990 dan dirawat di sana. Pamudji akhirnya wafat pada tanggal 31 Maret 1994 di rumah sakit tersebut. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka di Jalan Pejaten Mas III Vila Pejaten Mas sebelum dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta.[4]
Keluarga
Pamudji memiliki seorang istri dan seorang anak.[4]
Referensi