Sultan Mansur Syah, juga dikenal Alauddin Ibrahim Mansur Syah (meninggal 1870) adalah penguasa ketiga puluh Kesultanan Aceh. Ia merupakan salah satu sultan dari dinasti Bugis.
Latar belakang
Awalnya ia bernama Tuanku Ibrahim, putra dari Sultan Alauddin Jauhar al-Alam (1795-1823), saudaranya (Alauddin Muhammad Daud Syah I) memimpin kesultanan pada tahun (1823-1838) sementara pada saat yang sama Tuanku Ibrahim menjabat sebagai Raja Muda dan merupakan salah satu pembantu utama Sultan yang relatif lemah. Ketika sultan Muhammad Daud Syah I meninggal (1838) kedudukannya digantikan oleh Sultan Sulaiman Ali Iskandar Syah, yang masih kecil. Dengan kedudukan keponakannya yang lemah Muda Tuanku Ibrahim segera mengambil kekuasaan sultan secara de facto, dengan demikian ia kini dipanggil sebagai Alauddin Ibrahim Mansur Syah.
Kronologi
Alauddin Ibrahim Mansur Syah dianggap sebagai sultan paling rajin dan gigih yang memerintah Aceh pada masa-masa penting di abad ketujuh belas. Para panglima uleebalang selama ini relatif bertindak bebas didaerah bawahan sultan. Para raja kecil berkuasa secara otonom di daerah-daerah utama penghasil ladi sepanjang pantai barat. Pada 1850 Alauddin Sulaiman Ali Iskandar Syah yang telah dewasa menuntut hak prerogatif sultan kepadanya. Namun Alauddin Ibrahim Mansur Syah enggan menyerahkan kekuasaannya, penolakan itu mengakibatkan pecah konflik sipil yang parah di Aceh. Para panglima dan ulee balang terlibat penuh dalam fraksi-fraksi yang berselisih, tetapi dengan kecerdikannya Alauddin Ibrahim Mansur Syah mampu mempertahankan ibu kota. Alauddin Sulaiman Ali Iskandar Syah meninggal pada tahun 1857, ia meninggalkan Alauddin Ibrahim Mansur Syah sebagai penguasa tunggal dan aman di atas takhta sampai kematiannya pada tahun 1870.[1] Perkembangan dan pertumbuhan ekonomi meningkat pesat pada masanya. Sejak tahun 1850 perkebunan lada baru dibuka di utara-timur, antara Lhokseumawe dan Tamiang. Untuk mengelola perkebunan yang luas itu kerja migran didatangkan dari wilayah lain di Aceh. Para ulee balang pendukung sultan segera memperoleh keuntungan ekonomi dari program baru itu, mereka mendapatkan lahan dan hak perdagangan dari sultan.[2]
Pada masa-masa penting awal kedudukan Alauddin Ibrahim Mansyur Syah sebagai Raja Muda tahun 1838, Belanda baru saja . Kemenangan ini membuat posisi mereka menjadi sangat kuat di Sumatera Barat. Namun berdasarkan Oleh Perjanjian London tahun 1824 Belanda diwajibkan untuk menghormati kemerdekaan Aceh. Namun hal itu tidak menyurutkan langkah Belanda untuk mengusik wilayah perbatasan Aceh di sepanjang pantai barat, pelabuhan penting Barus berhasil direbut Belanda pada tahun 1839. Para panglima perang Aceh dari Singkil mencoba membebaskan Barus tanpa koordinasi dengan sultan di ibu kota, tetapi hal itu semakin mendatangkan kerugian bagi Aceh. Setelah Barus kini kekuasaan Belanda meluas hingga ke Tapus yang berhasil diduduki tanpa perlawanan berarti sementara Singkil ditaklukkan oleh Jenderal Michiels setelah perlawanan habis-habisan dari militer Aceh. Pada tahun 1848 Aceh mengumpulkan kekuatan dalam upaya merebut kembali Singkil namun gagal.[3]
Di pantai timur Sumatra, sultan mencoba untuk mengikat hubungan dengan kesultanan-kesultanan utara dari Siak hingga ke Aceh. Menurut catatan Aceh Alauddin Ibrahim Mansyur Syah pernah mengirim armada 200 kapal ke pantai timur Sumatra pada tahun 1853-1854 yang berhasil membuat Kesultanan Langkat, Kesultanan Serdang, Kesultanan Deli, Batubara dan Kesultanan Asahan untuk tunduk dibawah pengaruh sultan Aceh.[4]
Langkah diplomasi
Dalam mengatasi ancaman yang nyata dari Belanda Alauddin Ibrahim Mansur Syah berusaha bersekutu dengan kekuatan-kekuatan besar pada masa itu. Usaha diplomasi ini ia percayakan seorang pedagang lada yang kaya, Muhammad Ghauth yang berangkat ke Mekah pada musim haji tahun 1849. Melalui Muhammad Gauth sultan mengirimkan surat kepada Louis Philippe I dari Prancis dan sultan Utsmani di Turki. Hasil diplomasi itu, Sultan Abdul Majid I Kesultanan Utsmaniyah menyatakan akan memberi perlindungan bagi Aceh.[5] Mendapatkan laporan dari upaya diplomatik Aceh yang diiringi sejumlah bersama-sama dengan sejumlah insiden perompakan di Selat Malaka, pemerintah Belanda pada tahun 1855 mengutus seorang penghubung ke Aceh guna membicarakan rencana yang mengatur hubungan resmi antara Aceh dan Belanda. Pertemuan utusan Belanda itu dengan Alauddin Ibrahim Mansur Syah gagal terlaksana karena sultan enggan bertemu dengannya, sultan merasa terhina dengan kurangnya sikap hormat Belanda atas kedaulatannya Aceh dan posisinya sebagai sultan. Kegagalan pembicaraan itu memperburuk hubungan Aceh-Belanda hingga nyaris berakhir dengan pertumpahan darah. Pada 1857 Belanda kembali mengirimkan kapal yang dipimpin oleh Jenderal Van Swieten guna melakukan negosiasi dengan Aceh. Misi Belanda itu mampu melunakkan Alauddin Ibrahim Mansyur Syah hingga disepakati beberapa poin perjanjian perdamaian yang tidak terlalu mengikat kedua belah pihak. Namun keadaan kembali genting ketika Belanda mengetahui sultan Aceh juga menyarankan agar gubernur Inggris di Singapura agar meusuhi Belanda.[6]
Sengketa pantai timur Sumatra
Perjanjian tahun 1857 kini menjadi penting ketika ada masalah yang belum terpecahkan tentang perbatasan antara Aceh dan negara kolonial Belanda. Belanda membuat perjanjian dengan Kesultanan Siak pada tahun 1858, perjanjian ini menyimpulkan bahwa kerajaan dari pantai timur sampai Tamiang dianggap berada di bawah pengaruh Siak. Akibatnya beberapa kesultanan melepaskan diri dari klaim Aceh, seperti Tamiang dan Langkat. Menanggapi masalah ini Alauddin Ibrahim Mansur Syah akhirnya kembali bersedia berunding untuk kejelasan status daerah ini. Namun karena respon yang lambat dari Belanda membuat ia mengambil tindakan sendiri pada tahun 1863. Didukung oleh Serdang dan Asahan kapal-kapal Aceh mengintimidasi Deli dan Langkat.[7] Hal ini diikuti oleh sebuah insiden di mana beberapa orang Tiongkok dari Penang dibunuh di Tamiang oleh tentara dari kapal berbendera Aceh. Belanda akhirnya melancarkan sebuah ekspedisi militer pada tahun 1865 untuk memaksa Asahan dan Serdang agar menghukum pelaku pembunuhan di Tamiang dan bendera Aceh kini diturunkan dari Tamiang, dan wilayah itu oleh Belanda ditempatkan dibawah pengaruh Siak. Insiden-insiden yang saling berkaitan itu tidak pernah menjadikan perang antara Aceh dan Belanda meskipun ketegangan itu bertahan untuk waktu yang lama, Alauddin Ibrahim Mansyur Syah justru lebih merasa terganggu dengan masalah-masalah internal negara. Pada tahun 1870Lhokseumawe dan Peusangan mencoba untuk melepaskan diri dari kepemimpinan sultan. Permasalahan internal ini menimbulkan kekacauan yang cukup berarti membuat para pedagang Eropa dilarang untuk mengunjungi pantai utara yang mengakibatkan menurunnya volume perdagangan dari wilayah itu. Menanggapi kekacauan ini pemerintah kolonial Inggris di selat Malaka akhirnya melakukan intervensi.[8]
Alauddin Ibrahim Mansyur Syah meninggal dalam situasi negara yang kacau seperti ini pada tahun 1870, kematiannya menyusul setelah kematian dua orang putranya Tuanku Husen (1869) dan Tuanku Zainul Abidin (1870). Ia digantikan oleh cucunya Alauddin Mahmud Syah II.
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1917), Vol. 1. 's Gravenhage & Leiden: M. Nijhoff & Brill.
Klerck, E.S. de (1975) History of the Netherlands East Indies. Amsterdam: B.M. Israël NV.
Langen, K.F.H. van (1888), De inrichting van het Atjehsche staatsbestuur onder het sultanaat. 's Gravenhage: M. Nijhoff.
Lee Kam Hing (2006) 'Aceh at the Time of the 1824 Treaty', in Anthony Reid (ed.), Veranda of Violence: The Background to the Aceh Problem. Singapore: NUS Press, pp. 72–95.
Reid, Anthony (2010) 'Aceh and the Turkish Connection', in Arndt Graf et al. (eds), Aceh: History, Politics and Culture. Singapore: ISEAS, pp. 26–38.
Veth, P.J. (1873) Atchin en zijne betrekkingen tot Nederland. Leiden: G. Kolff.
Zainuddin, H.M. (1961) Tarich Atjeh dan Nusantara, Jilid I. Medan: Pustaka Iskandar Muda.