Azumi (阿曇氏 atau 安曇族code: ja is deprecated ) adalah sebuah klan dan kumpulan tentara di Jepang kuno. Keberadaan mereka diketahui bermula dari awal abad ke-3 – ke-7, ketika pengetahuan mereka yang luas tentang navigasi menjadikan mereka tulang punggung angkatan laut Yamato di Kyūshū. Mereka tinggal di utara Kyūshū,[1] terutama di Provinsi Chikuzen, yang sekarang menjadi bagian dari Prefektur Fukuoka. Pengetahuan dan keterampilan mereka dalam memanfaatkan fenomena pasang surut, pola cuaca, dan rasi bintang bertanggung jawab atas keberhasilan perjalanan mereka di samudra. Orang Azumi menyembah dewa laut yang disebut Watatsumi dan dewa utama Isora, yang dianggap telah membimbing mereka menjalani kehidupan.[2]
Sejarah
Suku Azumi adalah suku kuno dari Pulau Kyūshū di selatan Jepang.[1]
Mereka adalah kelompok tertua dan pemimpin armada “Ama”, yang mengarungi perairan di barat Jepang (Selat Tsushima), Korea, dan Tiongkok.[2] Mereka juga melakukan perdagangan dengan Tiongkok dan Korea dan terlibat dalam pengiriman besi dari Semenanjung Korea ke Kepulauan Jepang.[3] Menurut beberapa sejarawan, suku Azumi adalah "kekuatan maritim tertua yang pernah diketahui dari negara kekaisaran [Jepang] yang baru berdiri."[2]
Orang-orang Azumi adalah suku laut yang sangat terampil dan pengetahuan mereka yang luas mengenai arus laut, perubahan pasang surut, cuaca, dan konstelasi diyakini telah diturunkan dari generasi ke generasi.[2] Kemampuan mereka untuk mengarungi lautan, terutama pada malam hari, membuat mereka disegani oleh Kekaisaran Jepang selama abad ke-3 hingga awal abad ke-5 dan secara efektif menjadi kekuatan utama angkatan laut di zaman Yamato.[4][5] Melalui tanggung jawab yang telah diberikan, orang-orang Azumi menjadi kekuatan besar yang mengendalikan berbagai rute pelayaran di lautan Jepang.[2] Dalam hal ini, adalah Jenderal Besar angkatan laut yang bertanggung jawab untuk menjaga lautan Jepang.
Azumi no Hirafu, salah seorang suku Azumi, ditunjuk sebagai Jenderal Besar ketika sang kaisar melihat Azumi bersama sekelompok pria berenang menuju kapalnya di perairan Jepang. Orang-orang ini mengenakan tanduk rusa di kepala, dan datang seperti kawanan rusa yang muncul dari dasar laut. Dalam kepercayaan Shintō, rusa diyakini sebagai pembawa pesan spiritual, atau secara khusus 'utusan dewa'. Di Nara, bekas ibu kota Jepang, kepercayaan terhadap rusa terus berlanjut, di mana lebih dari seribu rusa bebas berkeliaran di Kuil Agung Kasuga, yang mana hal ini terkait dengan pemujaan kami serta penghormatan pada keturunan Azumi.[6]
Sebelum berlayar, orang Azumi kerap melakukan pemujaan kepada dewa laut agar sang dewa membantu mereka dalam membangun kekuasaan di berbagai wilayah. Namun, ketika mereka menghadapi kekalahan di Teluk Hakunsonko pada tahun 633, Azumi no Hirafu, bersama dengan anggota suku Azumi lainnya menyebar ke berbagai wilayah di Jepang, meninggalkan tanah air mereka di Kyūshū.[2] Dalam perjalanan ini, mereka terlibat dalam kegiatan dan kebiasaan lain. Mereka mulai bekerja menyiapkan hidangan untuk keluarga istana, atau dikenal sebagai "Saba". Di bawah sistem hukum Jepang Ritsuryō, mereka terafiliasi dengan Kementerian Rumah Tangga dan memiliki tugas untuk menyiapkan dan mencicipi makanan untuk kaisar,[7] hal ini karena Azumi dahulu ikut serta menyediakan hasil laut ke Jepang. Suku Azumi menjadi terkenal karena mengkhususkan diri dalam penyajian hidangan kekaisaran karena ini merupakan bagian dari tanggung jawab yang diberikan kepada mereka oleh pemerintah.[2][7]
Meskipun beberapa orang Azumi tinggal dan melanjutkan kehidupan tradisional sebagai suku laut,[2] mereka yang memutuskan untuk meninggalkan kehidupan maritim banyak yang pindah ke pulau kecil Shinshu, di mana mereka mulai hidup sebagai petani. Selama masa ini, meskipun mereka tidak lagi melaut, mereka masih mempertahankan hubungan mereka dengan leluhur dengan berdoa secara teratur kepada dewa Isora, mengucap syukur atas air yang mengalir dari Pegunungan Kamikōchi yang menjadi sumber irigasi untuk tanaman mereka.[8]
Orang-orang Azumi yang tidak bertani di Shinshu memilih tinggal di Cekungan Azumi. Di sini, mereka membentuk desa nelayan kecil dan mengembangkan bahasa mereka sendiri, sembari terus mempraktikkan kepercayaan kepada dewa Isora. Seiring berjalannya waktu, mereka dikenal sebagai "orang-orang yang tinggal di laut".[1]
Pada akhir abad ke-7, orang-orang Azumi juga memiliki peran kunci dalam menjaga kekuasaan Istana Yamato dan menjadi sekutu utama dalam setiap peperangan. Namun, hubungan ini mulai memburuk selama 'Pemerintahan Tenmu' pada tahun 682. Kesetiaan orang-orang Azumi mulai dipertanyakan ketika Kaisar Tenmu menyerbu selatan Kyūshū.[2] Keraguan ini membuat orang-orang Azumi terusir beberapa saat sebelum abad ke-8.[9]
Saat ini, tempat-tempat yang pernah disinggahi oleh suku Azumi dinamai dari keberadaan mereka (Kakojima, Kagoshima, Kashima, Shikashima) dan jejak keberadaan mereka masih tersisa di daerah yang biasa mereka lalui (Kepulauan Selat Tsushima, Kyushu, Shikoku, Kepulauan Awaji).[2]
Asal usul
Menurut beberapa sejarawan Jepang, Azumi adalah suku bangsa Austronesia yang berkerabat dengan suku Hayato.[2][10] Mereka berhubungan pertama kali dengan Kekaisaran Jepang sejak zaman Yamato, dengan menyediakan jalur perdagangan maritim ke ibu kota dan memengaruhi kebijakan istana dalam bidang militer dan diplomatik di dunia maritim.[2] Beberapa orang Azumi bermigrasi lebih jauh ke pedalaman, menetap di tempat yang sekarang dikenal sebagai Lembah Azumino di Prefektur Nagano.[11] Mereka juga menyebar menuju ibu kota kekaisaran, menetap di Provinsi Settsu di tempat yang sekarang bernama Osaka.[12] Sisa-sisa budaya Azumi juga ditemukan di Pulau Awaji di Prefektur Hyōgo.[13]
Suku Azumi memegang teguh kepercayaan terhadap dewa yang akan memandu pelayaran di lautan jika mereka berdoa kepadanya sebelum melaut. Dewa ini, yang dikenal sebagai 'Azumi no Isora' menjadi pusat kepercayaan suku Azumi dan dipercaya berkuasa atas perairan Jepang.[2]
'Azumi no Isora' juga diyakini muncul selama zaman Muromachi, pada waktu yang sama dengan munculnya tiga dewa Watatsumi yang serupa: Sokotsu, Uwatsu dan Ojin. Ketiga dewa ini, yang merupakan representasi lautan Jepang, dikatakan telah menyatu menjadi entitas tunggal yang dikenal sebagai Isora.[2] Roh Isora yang direpresentasikan melalui kuda laut[14] dianggap sebagai simbol kemurnian, yang memberikan bimbingan kepada orang-orang Azumi sepanjang hidup mereka.[2]
Selain itu, Azumi no Isora dipercaya sebagai leluhur manusia purba karena dialah yang pertama kali melakukan ritual tarian yang dikenal sebagai Sei-no-no (juga dikenal sebagai Seino dan Kuwashi-O).[2] Tarian itu dilakukan dalam dua bagian yang dipisahkan oleh jeda dialog yang dibawakan oleh dua karakter: dewa Isora dan dewi Toyo. Dalam dialog tersebut, Isora digambarkan sebagai seorang pria tua beruban.[15]Sei-no-no dimainkan oleh empat pria: dua dengan gendang kecil untuk mengiringi gerakan dan dua penari tanpa gendang. Keempatnya mengenakan kain putih penutup wajah, dan menari sepanjang malam mengikuti alunan musik.[2]
Tarian ini diturunkan dari generasi ke generasi oleh suku Azumi sebagai ritual untuk menceritakan hubungan mereka dengan Azumi no Isora dan membacakan puji-pujian untuknya. Tarian ini juga diiringi dengan ritual cangkang penyu oleh Urabe Diviners sebagai langkah untuk menentukan hari baik untuk melaut.[2] Penghormatan orang-orang Azumi terhadap Urabe Diviners ditunjukkan melalui tiga batu berbentuk penyu yang terdapat di kuil mereka.[2]
Saat ini, ada beberapa kuil yang didedikasikan untuk Azumi. Ada satu di Teluk Genkai di Pulau Shikanoshima yang didedikasikan untuk Azumi no Isora yang berisi batu suci sebagai lambang penyu, serta lebih dari seribu tanduk rusa untuk menjaga hubungan mereka dengan para dewa.[2] Terdapat pula Kuil Hodaka di sisi utara Jepang. Kuil ini dianggap sebagai 'museum mini', semata-mata didedikasikan untuk melestarikan budaya dan sejarah Azumi yang kaya.[2]
Cerita rakyat
Cerita rakyat dan mitologi suku Azumi berasal dari sekitar 1000 tahun yang lalu,[1] terutama ketika mereka membangun komunitas yang terdiri dari desa-desa kecil dan gubuk nelayan. Di sinilah orang Azumi mengarang legenda untuk menakut-nakuti anak-anak mereka tentang bahaya berkeliaran di dekat air, menceritakan kisah tentang ikan koi emas yang melompat dari air untuk menculik anak-anak jika mereka mendekati sungai atau pantai sendirian.[1]
Sebuah cerita rakyat menceritakan asal usul orang Azumi dan leluhur-dewa mereka yang dikenal sebagai "Kelahiran Takemikatsuchi". Kisah ini mirip dengan cerita Izanami dan Izanagi, dewa dalam agama Shinto. Mereka diyakini sebagai dewa yang menciptakan alam semesta dan Kepulauan Jepang dengan cara mengaduk lautan dengan tombak mereka.[16]
Namun, upaya awal mereka untuk menciptakan kehidupan tidak berhasil, karena Izanami melahirkan lintah. Hal itu diyakini sebagai akibat dari ketidaktaatannya terhadap konstruksi sosial Jepang tentang wanita – dia memulai hubungan seksual, sesuatu yang seharusnya dimulai oleh laki-laki.[16] Meskipun mereka akhirnya mencapai kesuksesan dengan ciptaan mereka – melahirkan Delapan Pulau Jepang dan menciptakan kami – apa yang mereka lakukan berimbas pada kemalangan lainnya, termasuk kematian Izanami. Hal ini membuat Izanagi marah dan melakukan berbagai tindakan kotor yang menjerumuskan dirinya sendiri.[16]
Akhirnya, Izanagi memilih untuk bertobat dan mencoba untuk membersihkan dirinya dari dosa. Pada saat inilah dewa Watatsumi dan Sumiyoshi tercipta.[17] Keduanya adalah sosok yang penting karena diyakini sebagai leluhur suku Azumi. Selain itu, kedua dewa ini, bersama dengan Isora, disembah oleh orang Azumi karena terkait dengan keterampilan, strategi, dan pelayaran.[16]
Cerita rakyat lain termasuk tentang dewa mereka 'Isora'. Orang-orang Azumi merinci kisah penciptaan Isora dan bagaimana permatanya yang tersembunyi di istana naga di dasar laut dapat mengendalikan pasang surut dan pola cuaca. Mereka percaya bahwa raja naga yang menjaga istana tidak mau menunjukkan dirinya karena penampilan yang jelek; sekujur tubuhnya ditutupi abalon, teritip, dan kerang. Namun, tarian kagura memiliki kemampuan untuk mengelabui sang naga, membawa orang-orang Azumi ke 'harta karun' yang tak ternilai: pengetahuan tentang samudra raya.[2]Kagura secara langsung diterjemahkan menjadi 'pertunjukan dewa' yang terkait erat dengan agama Shinto. Tarian kagura dianggap mirip dengan tarian Sei-no-no yang disampaikan turun-temurun.[2] Tradisi ini menjadi inspirasi seni teater topeng Jepang, di mana pementasannya menceritakan kisah-kisah agama Shintō.[18]
Saat ini, kuil-kuil seperti Kuil Shikaumi-jinja di Okitsu-gu di Pulau Shinkanoshima telah menjadi pusat pemujaan Isora serta menjadi situs sejarah yang melestarikan cerita rakyat untuk generasi mendatang.[1]
Tempat-tempat
Kolam Myojin
Kolam Myojin di Kamikochi menarik para keturunan suku Azumi dan para wisatawan. Kolam ini terkenal akan kejernihannya dan memiliki pantulan yang jelas seperti cermin, dan menjadi sebagai salah satu tempat keramat karena menjadi lokasi penyembahan dewa-dewa Azumi.[19]
Di Kuil Hotaka di Azumino, terdapat festival tahunan di mana orang-orang mengucapkan terima kasih mereka kepada air. Di kota ini, terdapat suatu tempat di mana ketiga sungai (Azusa, Karasu dan Nakabusa), serta air dari salju yang meleleh di Pegunungan Kamikōchi bertemu. Gunung Kamikōchi memiliki arti penting bagi orang-orang Azumi karena air yang mengalir di gunung ini digunakan untuk mengairi tanaman mereka.[8] Dengan menggunakan air Kamikōchi, masyarakat Jepang melakukan ritual yang dikenal sebagai Omizu-tori (mengambil air) dan Omizu-gaeshi (mengembalikan air), di mana air yang sudah diambil dianggap berhak untuk kembali ke asalnya di kolam Myojin.[8] Selama perayaan ini, suku Azumi merayakan hubungan mereka yang erat dengan air dan rasa terima kasih mereka kepada air yang senantiasa membantu hidup mereka – baik ketika mereka masih menjadi pelaut andal maupun saat mereka hidup sebagai petani.[2]
Saat ini, kolam Myojin dikunjungi banyak turis karena air yang ada di sana adalah pengingat atas budaya, tradisi, dan sejarah Azumi.[1]
Shikaumi Jinja
Prefektur Fukuoka adalah lokasi bagi apa yang dianggap sebagai kuil nenek moyang Azumi yang disebut Shikaumi Jinja. Kuil ini dipimpin oleh seorang pendeta keturunan klan Azumi, dan upacara gojinkosai digelar setiap dua tahun sekali guna melestarikan budaya asli Fukuoka.[20] Kuil dan ritual banyak menampilkan motif rusa yang identik dengan Azumi.[2]
^Yamada, S. The Spaciality of Awaji Island: An Essay regarding the Place of Gossa-Kaito Archaelogical Site and Environs. Nishiwaki: Gossa Walking Museum.
^Palmer, E (2015). Harima Fudoki: A Record of Ancient Japan Reinterpreted, Translated, Annotated with Commentary. Leiden: Brill. hlm. 144. ISBN978-9004269378.
^ abGrapard, A. G. (1992). The Protocol of the Gods: a study of the Kasuga Cult in Japanese History. Berkeley: University of California Press. hlm. 270. ISBN0520910362.
^Hōga, Toshio; 宝賀寿男 (2012). Wani shi : chūgoku kōnan kara kita watatsumizoku no nagare (dalam bahasa Jepang). Aogakishuppan. ISBN978-4-434-16411-8. OCLC779877582.
^Davis, F. H (1912). Myths and Legends of Japan. New York: Dover Publications. hlm. 331. ISBN1602063699.
^Ito, S (1969). Supernatural Elements in No Drama. London: University of London. hlm. 56–58. ISBN978-0-355-48561-5.
^ abcdGrapard, A. G. (1992). The Protocol of the Gods: a study of the Kasuga Cult in Japanese History. Berkeley: University of California Press. hlm. 32. ISBN0520910362.
^Uehara, T (1960). The Dynamics of The Archetypes in Japanese Shinto Mythology. Los Angeles: University of Southern California. hlm. 210, 472. ISBN9781084372177.