8°35′30″S 115°17′08″E / 8.591750°S 115.285561°E / -8.591750; 115.285561
Desa Sukawati adalah salah satu desa di kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, provinsi Bali, Indonesia.[3]
Demografi
Penduduk desa Sukawati sampai dengan tahun 2014 (proyeksi BPS) berjumlah 14.803 jiwa terdiri dari 7.312 laki-laki dan 7.491 perempuan dengan sex rasio 97,61.[1]
Sejarah
Menurut mithologi Desa Sukawati sebagaimana halnya dengan Desa – desa yang lain, pada mulanya adalah hutan belukar. Desa Ketewel pada mulanya huta nangka, Desa Rangkan pada mulanya hutan angker, Desa Guwang pada mulanya hutan girang, sedangkan Desa Sukawati pada mulanya adalah Hutan Timbul. Menurut Babad Timbul Sukawati, berubanya hutan timbul menjadi Desa Sukawati dituturkan sebagai berikut:
Pada sekitar abad ke-18, sebuah kawasan di bawah kekuasaan Kerajaan Mengwi yang terdiri dari Kelompok – kelompok kantong pedesaan antara lain; Cahu Pegambangan, Abasan, Langge dan Laud diserang wabah “gring grubug” yang menimbulkan korban jiwa tiada terbilang banyaknya. Musibah itu disebabkan oleh “Pangrista” ilmu pengiwanya Ki Balian Batur yang bermukim di hutan teledu nginyah/karang kadangkan, Ki Balian Batur berasal dari keluarga Sengghu Wintang Danu (Lembah Danau Batur).
Mengetahui akan hal itu Raja Mengwi Ki Gusti Agung Ngurah Agung Made Agung alias Tjokorda Sakti Belambangan sangat marah dan mengerahkan semua ahli pengiwa Kerajaan Mengwi untuk menundukkan Ki Balian Batur, namun Ki Balian Batur tidak terkalahkan. Raja Mengwi bertambah geram, diutuslah ahli perang Ki Bendesa Gumyar dengan di bekali keris Pusaka Ki Pupug Jaya, sekali lagi Mengwi harus mengakui keunggulan Ki Balian Batur.
Dalam suasana mabuk kemenangan, terlontarlah kata-kata sesumbar Ki Balian Batur bahwa ia tidak terkalahkan oleh senjata jenis apapun, kecuali Senjata Pusaka Dalem Klungkung yang disebut Ki Sliksik Narantaka. Hal itu dilaporkan oleh Ki Bendesa Gumyar kepada Raja Mengwi, setelah dipertimbangkan dengan semasak- masaknya beliau segera menghadap Dalem.
Dalem berkenan meluluskan permohonan Raja Mengwi, serta mengutus putranda I Dewa Agung Anom untuk menghabisi nyawa Ki Balian Batur dengan Senjata Pusaka Ki Sliksik Narantaka. Singkat Cerita gugurlah Ki Balian Batur bersama Keluarga dan sekalian anak buahnya.
Sebagai balas jasa, Raja Mengwi bermohon kepada Dalem, agar putranda I Dewa Agung Anom diperkenankan untuk diangkat menjadi Raja di Bumi Timbul, atas permohonan itu Dalem berkenan, I Dewa Agung Anom pun menjujung titah ayahanda Dalem.
Sementara itu Dalem wafat, karena usia telah lanjut, kedudukan beliau diganti oleh putra sulung yang bergelar Sri Dalem Dimadiya.
Pada saat mendekatnya I Dewa Agung Anom akan berangkat ke Bumi Timbul, bermohonlah beliau kepada Rakanda Dalem agar diperkenankan membawa keris pusaka Ki Bengawan Tjanggu ke Bumi Timbul. Namun Dalem keberatan karena sesuai “bisama” leluhur beliau, Ki Bengawan Tjanggu harus tetap berada di Keraton Semarapura, karena ia adalah pengikat persatuan Bali Dwipa. Sebagai gantinya Dalem menganugrahkan Senjata Pusaka Keris Ki Maleladawa, Pepatet (ikat pinggang) Ki Sembahjagat, Tombak Ki Barugagak dengan segala senjata pendampingnya, I Dewa Agung Anom pun menerimanya, namun dalam Hati kecil beliau belum “ andel” akan tuah senjata itu untuk membina keamanan di Bumi Timbul.
Pada suatu pagi, tatkala I Dewa Agung Anom turun dari peraduan, beliau dapati seorang berparas tampan agah berwibawa duduk bersila di amben (serambi tengah) gedong peraduan, tamu tak dikenal itu berpakaian serba kuning, tatkala ditanya, dengan sangat hormat sang tamu menyembah dan memperkenalkan diri bernama: Ki Gede Mecaling dari Nusa Penida yang diutus oleh Ida Betara Kasuhun Kidul, untuk menyampaikan anugrah berupa lontar dengan cakepan dibuat dari pada danta (gading), cakepan itu bernama Ki Pengasih Jagat. Akan Ki Bengawan Tjanggu jangan hendaknya dirisaukan karena Ki Bengawan Tjanggu harus tetap berada di Keraton Semarapura (Klungkung).
Selanjutnya Ki Gede Mecaling menyatakan kesediannya untuk menjadi pengamer-amer di Bumi Timbul, tetapi ia memohon dibuatkan (tempat peristirahatan) di Jaba Pura Erjeruk, selesai menyampaikan hal itu Ki Gede Mecaling memohon diri dan seketika itu gaid dari pandangan.
Pada suatu hari yang baik (dewasa ayu) berangkatlah I Dewa Agung Anom menuju arah barat daya ke Bumi Timbul, beliau diiringi oleh teruna-teruni pilihan yang tampan dan cantik, mereka terdiri dari berbagai warga antara lain : Pasek, Bendesa, Palusari, Pande, Sangging, Brahmana, Ksatrya, Wesya, para seniman dari berbagai cabang ahli bangunan dan para ahli lainnya.
Atas bantuan Tjokorda Sakti Belambagan serta kaula Mengwi seluruhnya, maka dibangunlah Puri Agung yang megah dengan sebuah balai penghadapan yang indah, besar dan tinggi berhiaskan patung-patung memukul serba bunyi-bunyian seperti : kendang, kempur, cengceng, kempli, rebab, suling dan lain-lain. Berbarengan dengan itu dibangun pula sebuah parhyangan disebut Pura Penataran Agung tempat pemujaa Bumi Timbul. Di Depan Pura Penataran Agung dibuat sebuah taman dengan telaga yang berair jernih serta pohon bunga yang warna-warni. Hiasan Pura Penataran Agung penuh dengan ukran (relief) dengan cerita tantri, serta patung-patung dengan lakon Arjuna Wiwaha. Jalan-jalan yang membentang di Bumi Timbul dibuat amat lebar dengan kanan-kiri ditanami tanaman yang teratur rapi, nampaknya sebagai orang menjunjung sesajen, berbaris dengan rapinya.
Kemudian I Dewa Agung Anom memperistrikan adik kandung Tjokorda Sakti Belambangan yang berama Ni Gusti Ayu Muter, yang terkenal cantik dan bijaksana.
Beliau “ngelarang” (melakukan) satya pati brata kehadapan I Dewa Agung Anom. Setelah dilakukan Upacara Mabiseka Ratu (penobatan, I Dewa Agung Anom Bergelar Sri Aji Wijayatanu. Adapun permaisuri beliau bergelar Ida Dewa Ayu Mutering Jagat. Sebagai pangubakti Tjokora Sakti Belambangan mempersembahkan daerah-daerah di sebelah barat Sungai Pakerisan, disebelah Timur Sungai Ayung membentang dari tepi Segara Kidul terus ke utara hingga kaki gunung Batur, untuk menjadi wilayah Kerajaan Bumi Timbul.
Pada saat berlangsungnya Karya Agung Ngenteg Linggih dan Pamungkah di Pura Penataran Agung diadakan keramaian selama 1 bulan 7 hari. Banyak para “pengalu” datang dan memilih tinggal menetap di Bumi Timbul Karena amat gemar dan bunyi gamelan yang di tabuh sepanjang hari. Mereka senantiasa merasa gembira, dengan memperhatikan suara hati nurani rakyat banyak.
Dalem berkenan mengubah nama Timbul menjedi sukaadnyana, yang di terjemahkan menjadi Sukaati. Pada perkembangan selanjutnya, pengucapan berubah menjadi Sukawati hingga sekarang.
Dengan berdirinya kerajaan Sukawati, maka di Balipulina itu terdapat 2 (dua) Kerajaan Besar yaitu Kerajaan Klungkung di bagian timur dan Sukawati dibagian barat. Dari pernikahan Baginda Dalem Sukawati dengan Ida Dewa Ayu Mutering Jagat lahirlah 3 (tiga) orang Putra yaitu : I Dewa Agung Jambe menjadi dukun dan bertempat tinggal di Guwang, I Dewa Agung Karna Nyukla Brahmacari bertempat tinggal di Ketewel, sedangkan I Dewa Agung Mayun tinggal bersama ayahanda di Sukawat. Disamping itu tersebut ada 2(dua) putra penawing yaitu : I Dewa Bubun dan I Dewa Canggi.
Kemudian para putra inilah yang membangun Pura Kawitan Dalem Sukawati, yang bertempat di sebelah timur pura Penataran Agung mengahap ke selatan untuk memuliakan roh suci Baginda Dalem Sukawati beserta permaisuri.
Desa Sukawati semula (pada abad ke-18) adalah sebuah Kerajaan besar nomor 2, disamping Kerajaan Klungkung yang merupakan Kerajaan Besar nomor 1 diBali.
Pada masa berikutnya Sukawati pernah terkenal dan termasyur, karena keberhasilan “tiga serangkai” seniman besar yakni: I Dewa Gede Rai Perit, Made Bambang Duadja dan Dewa Ketut Belatjing, mengadakan pembaruan dalam dunia pelegongan(tari dan tabuh legong keraton) yang berkembang dewasa ini.
Pada saat pecahnya revolusi 17 Agustus 1945, yang berlanjut dengan perang kemerdekaan Sukawati tak mau ketinggalan, tidak kurang dari 23 orang pemuda terus bergerilya bergabung dalam pasukan induk Resimen Ngurah Raid an 6 orang diantaranya gugur sebagai pahlawan Perang Kemerdekaan.
Nilai-nilai luhur tersebut, masyarakat Desa Sukawati ingin mewariskan selaras dengan pembangunan Bangsa kepada generasi penerus secara berkesinambungan dalam rangka mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Itu semua adalah tugas suci sebagai umat beragama dalam pengabdiannya kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. (Prasasti Batuan dan Babad Dalem Kerajaan Sukawati).
Referensi
Pranala luar