Suhu permukaan laut (bahasa Inggris: Sea surface temperature; disingkat SST) adalah suhu perairan yang memiliki jarak dekat dengan permukaan lautan. Arti dari permukaan bisa berbeda, disesuaikan dengan metode pengukuran, tetapi ada di antaranya 1 milimeter (0,04 in) dan 20 meter (70 ft) di bawah permukaan laut. Massa udara di atmosfer bumi dimodifikasi oleh suhu permukaan laut dalam jarak terdekat dari pantai. Suhu permukaan laut yang hangat penyebab terjadinya siklogenesis tropis di samudrabumi, dan topan tropis menyebabkan terjadinya udara dingin, karena adanya gejolak percampuran suhu 30 meter (100 ft) di atas permukaan laut. Variasi suhu permukaan laut akan lebih sedikit ketika arus angin lebih besar dibandingkan keadaan lebih tenang atau angin lebih sedikit. Selain itu, arus laut seperti Atlantic Multidecadal Oscillation (AMO), dapat meengaruhi suhu permukaan laut pada skala waktu multi-dekade.[4] Temperatur laut yang berkaitan dengan kandungan panas laut, topik yang sangat penting dalam studi pemanasan global.
Pengukuran
Teknik yang digunakan dalam mengukur parameter kemungkinan memiliki hasil akhir yang berbeda, merujuk pada apa yang akan diukur. Pengukuruan suhu dengan lokasi yang jauh dari permukaan laut, maka akan menggunakan referensi pengukuran yang sesuai untuk tempat yang akan diukur. Hal ini bisa terjadi karena mengukur suhu permukaan laut dipengaruhi oleh kedalaman laut, kecepatan angin, kondisi sinar matahari, dan juga dipengaruhi oleh kekuatan suhu vertikal (diurnal termoklin).[5] Untuk mengukur suhu permukaan laut, terbatas pada bagian atas lautan saja dan dikenal dengan sebutan dekat-lapisan permukaan.[6]
Termometer
Mengukur suhu permukaan laut menjadi variabel pertama yang diukur dalam bidang oseanografi dan dilakukan pada tahun 1963 oleh Benjamin Franklin. Dalam perjalanan antara Amerika Serikat dan Eropa, Benjamin melakukan survei arus teluk dan mengukur suhu permukaan laut menggunakan termometer merkuri. Pengukuran dilakukan secara manual, dengan mengambil air permukaan laut dan menaruh diwadah ember. Hasil pengukuran ini memiliki bias hangat sekitar 06 °C (10 °F).[7] Dan sejak tahun 2000, bias ini mengalami perubahan persepsi disebabkan oleh pemanasan global.[8] Namun pelampung cuaca masih tetap dapat mengukur suhu pada kedalaman 3 meter (9,8 ft).
Dalam kurun waktu 130 tahun, pengurukan suhu permukaan laut tidak konsisten disebabkan cara pengukuran yang berbeda terkait wadah. Wadah ember yang digunakan pada pengukuran suhu laut di abad 18 berupa ember kayu dan ember kanvas. Ember kanvas lebih cepat dingin dibandingkan ember kayu, dan sampel yang ditaruh di wadah ember yang tidak berinsulasi, sehingga variasi suhu yang dihasilkan sedikit akibat perbedaan wadah.[9]
Rentang tahun 1985 dan 1994, berbagai pelampung cuaca disebar di sepanjang Samudra Pasifik, yang berfungsi untuk memantau dan memprediksi terjadinya fenomena badai El Niño.[10] Saat ini, sudah ada pelampung cuaca dengan kecanggihan dan desain yang berbeda di seluruh dunia, dan lokasi pengukuran juga bisa dilakukan dibanyak tempat, dan sudah terkoneksi otomatis dengan satelit dan informasi suhu dapat diketahui secara otomatis.[11] Sebuah jaringan pelampung pantai terbesar berada di negara Amerika Serikat yang dikelola oleh National Data Buoy Center (NDBC).[12]
Satelit cuaca
Satelit cuaca untuk mendapatkan informasi tentang suhu permukaan laut telah ditemukan sejak tahun 1967, dan dipublikasikan secara global pertama kali pada tahun 1970.[13] Penggunaan satelit untuk mengukur suhu laut semakin diprioritaskan sejak tahun 1982,[14] dan variasi spasial ataupun temporal menjadi lebih lengkap. Penggunaan satelit dalam mengukur suhu permukaan laut sesuai dengan pengukuran suhu in situ.[15] Menggunakan satelit dalam mengukur suhu laut dilakukan dengan memeriksa radiasi lautan dalam dua panjang gelombang atau lebih, dalam bagian inframerah dari spektrum elektromagnetik atau bagian lainnya dari spektrum dan secara empiris terkait dengan suhu permukaan laut.[16]
Suhu permukaan laut yang telah diukur menggunakan satelit, memberikan tampilan sinoptik lautan dan frekuensi tinggi lebih baik untuk ditampilan secara berulang-ulang,[19] dan lebih memungkinkan untuk memeriksa bagian atas cekungan dinamika samudra, dan itu tidak dapat dapat dilakukan menggunakan pelampung cuaca ataupun juga penelitian secara manual di atas kapal.
Meski demikian, ada beberapa kendala yang dihadapi ketika pengukuran suhu dilakukan berbasis satelit, yakni:
Pertama, dalam metodologiinframerah penginderaan jarak jauh, radiasi akan memancar dari lapisan mikro permukaan laut atau permukaan atas samudera, sekitar diatas 0,01 mm atau kurang, dan ini tidak mewakili curah suhu bagian atas utama lautan karena adanya efek panas permukaan sinar matahari di siang hari, radiasi yang dipantulkan, kehilangan panas dan terjadi penguapan di permukaan. Faktor ini menyebabkan kerumitan untuk membandingkan data satelit dengan pelampung atau metode kapal.[20]
Kedua, satelit tidak dapat menghasilkan data jika tertutup awan, dan akan menghasilkan bias dingin di suhu permukaan laut yang didapat dari satelit saat berada di area berawan.[5] Namun kini, ada sebuah teknik gelombang mikro pasif yang dapat mengukur Suhu permukaan laut secara akurat meskipun satelit ditutupi awan.[16]
Variasi lokal
Suhu permukaan laut memiliki kisaran diurnal seperti di atas atmosfer bumi walaupun berada pada tingkat yang lebih rendah, karena adanya spesifik panas yang lebih besar.[21] Pada saat keadaan tenang, variasi suhu berada pada 6 °C (10 °F).[5] Suhu pada kedalaman lautan akan lebih rendah dari suhu atmosfer bumi selama 15 hari per 10 meter (33 ft), yang bisa diartikan dengan contoh untuk lokasi seperti laut Aral, suhu di dekat dasarnya akan mencapai suhu maksimum di bulan Desember dan suhu minimum di bulan Mei dan Juni.[22] Wilayah yang dekat garis pantai, angin lepas pantai akan memindahkan air hangat di dekat permukaan lepas pantai, dan menggantikannya dengan air yang lebih dingin dari bawah, yang disebut dengan proses transportasi Ekman. Hal ini akan meningkatkan nutrisi bagi biota laut di daerah tersebut.[23]
Di lepas pantai sungai Delta, air tawar akan mengalir di atas air laut yang lebih padat, yang memungkinkan terjadinya suhu panas lebih cepat karena adanya pencampuran vertikal terbatas.[24] Penginderaan suhu permukaan laut jarak jauh, dapat difungsikan untuk mendeteksi tanda suhu permukaan akibat siklon tropis. Secara umum, pendinginan suhu permukaan laut dapat diamati setelah dilewati badai terutama akibat dari adanya pendalaman lapisan campuran dan menyebabkan hilangnya panas permukaan laut.[25] Ketika debu mineral menjangkiti wilayah dekat bagian utara samudra Atlantik dalam beberapa hari, suhu permukaan laut menjadi berkurang sekitar 0.2 C hingga 0.4 C (0.3 to 0.7 F).[26]
Osilasi Multidekadal Atlantik
Osilasi Multidekadal Atlantik atau Atlantic Multidecadal Oscillatio (AMO) sangat dibutuhkan sebagai pemancar eksternal dan akan dihubungkan dengan suhu permukaan laut bagian Atlantik Utara.[27]
El Niño ditentukan oleh perbedaan suhu permukaan laut di wilayah Samudera Pasifik yang berkepanjangan jika dibandingkan nilai rata-rata. Definisi yang diterima berupa panas atau dingin yang rata-rata 0.5 °C (0.9 °F) di atas Samudra Pasifik bagian tropis Timur-tengah. Dan biasanya, anomali ini terjadi sekitar 2-7 tahun pada interval yang tidak teratur dan berlangsung selama sembilan bulan hingga dua tahun.[29] Lama rata-rata periode ini sekitar 5 tahunan. Apabila kondisi panas atau dingin hanya terjadi dalam tujuh hingga sembilan bulan, maka akan diartikan sebagai "kondisi" El Niño/La Niña; sementara jika terjadi lebih dari periode tersebut, maka ini diartikan sebagai peristiwa "episode" El Niño/La Niña.[30]
Kondisi El Niño ditandai pada suhu permukaan laut, di mana air hangat mengarah dari kawasan Pasifik Barat dan juga Samudra Hindia menuju kawasan Pasifik Timur. Sehingga terjadi kekeringan di wilayah Pasifik Barat dan curah hujan di wilayah Pasifik Timur biasanya akan sangat sedikit. Jika El Niño terjadi dalam kurun waktu berbulan-bulan, maka suhu panas laut menjadi ekstensif dan terjadi pengurangan nutrisi laut yang berasal dari naiknya suhu dingin, dan akan mengganggu aktifitas nelayan dalam menangkap ikan dan menjadi pengaruh buruk terhadap perekonomian pasar ikan baik lokal maupun internasional.[31]
Pentingnya atmosfer bumi
Suhu permukaan laut memengaruhi perilaku di atas atmosfer bumi. Walaupun suhu permukaan laut penting untuk siklogenesis tropis, namun suhu permukaan laut juga penting dalam menentukan terbentuknya kabut laut dan juga angin laut.[5] Suhu panas yang bersumber dari air hangat secara signifikan dapat mengubah massa udara pada jarak pendek 35 kilometer (22 mi) menjadi 40 kilometer (25 mi).[32]
Sebagai contoh, siklon ekstratropis di wilayah Barat Daya belahan Bumi Utara, aliran siklon akan melengkung dan membawa udara dingin melintasi badan air dengan relatif hangat sehingga menyebabkan penyempitan pada pita efek salju-danau (efek laut). Pita tersebut akan membawa presipitasi lokal yang lebih kuat, dan sering berbentuk salju. Hal ini terjadi karena pada badan air seperti danau, menyimpan panas yang dapt menghasilkan terciptanya perbedaan suhu—lebih besar dari 13 °C (23 °F)- di antara permukaan air dan di atas udara.[33] Dengan adanya perbedaan suhu ini, maka tingkat kehangatan dan kelembapan udara akan terangkat ke atas, kemudian mengembun dan menjadi awan, sehingga kemudian terjadilah hujan salju.[34]
Badai tropis
Rata-rata suhu laut berada pada 26.5°C (79.7°F) mencakup angka minimal di kedalaman 50 - meter adalah satu prekursor yang dubuthkan untuk mempertahankan siklon tropis (sejenis mesocyclone).[35][36] Tingkat kehangatan pada air ini diperlukan untuk mempertahankan inti hangat sebagai bahan bakar pada sistem tropis. Nilai ini jauh di atas 16.1 °C (60.9 °F), suhu rata-rata permukaan lautan global dalam jangka panjang.[37]
^C. M. Kishtawal (2005-08-06). "Meteorological Satellites"(PDF). Satellite Remote Sensing and GIS Applications in Agricultural Meteorology: 73. Diakses tanggal 2011-01-27.
^Robert Harwood (1971-09-16). "Mapping the Atmosphere From Space". New Scientist. 51 (769): 623.
^WW2010 (1998-04-28). "El Niño". University of Illinois at Urbana-Champaign. Diakses tanggal 24 November 2020.
^Jun Inoue, Masayuki Kawashima, Yasushi Fujiyoshi and Masaaki Wakatsuchi (October 2005). "Aircraft Observations of Air-mass Modification Over the Sea of Okhotsk during Sea-ice Growth". Boundary-Layer Meteorology. 117 (1): 111–129. Bibcode:2005BoLMe.117..111I. doi:10.1007/s10546-004-3407-y. ISSN0006-8314.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)