Mekong Raya memiliki kekayaan alam serta budaya yang tak tergantikan dan dianggap sebagai salah satu hotspot keanekaragaman hayati yang paling signifikan di dunia. Wilayah ini merupakan penyedia sumber pangan yang sangat penting dan merupakan lokasi berpagai proyek konstruksi berskala besar dengan implikasi sosial dan ekonomi.[2]
Kerjasama Regional
Selama lebih dari dua dekade, enam negara dari Subwilayah Mekong Raya telah bekerja bersama-sama di bawah sebuah program kerjasama ekonomi[3] untuk mewujudkan visi mereka: wilayah yang sejahtera, terintegrasi, dan harmonis.
Program GMS telah mengadopsi tiga cabang strategi (3C):
Menguatkan konektivitas (connectivity) melalui infrastruktur fisik dan pengembangan koridor ekonomi.
Meningkatkan daya saing (competitiveness) melalui integrasi pasar dan fasilitasi perdagangan dan perjalanan lintas batas.
Membangun rasa komunitas (community) dengan mengatasi masalah sosial dan lingkungan bersama-sama.
Program GMS, dengan dukungan dari mitra-mitra pembangunan, membantu mengidentifikasi dan mengimplementasikan proyek subwilayah prioritas tinggi di berbagai sektor: pertanian, energi, lingkungan, kesehatan, telekomunikasi dan teknologi informasi, pariwisata, transportasi, perdagangan, pembangunan perkotaan, dan multisektor lain serta zona ekonomi perbatasan.
Sejak tahun 1998, program GMS telah menggunakan koridor ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Koridor ekonomi merupakan area investasi, biasanya membentang di sepanjang jalan raya utama yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan ekonomi.
Tiga koridor ekonomi utama sedang dikembangkan di Subwilayah Mekong Raya — Koridor Ekonomi Utara-Selatan, Koridor Ekonomi Selatan, dan Koridor ekonomi Timur-Barat.[4]
Di bawah program GMS, proyek-proyek investasi senilai sekitar $19 miliar telah dilakukan sejak tahun 1992. Konferensi Tingkat Menteri ke-22 yang diselenggarakan di Hanoi, Vietnam pada bulan September 2017, menyetujui rencana jangka menengah dari proyek-proyek prioritas tahun 2018 hingga 2022. Perencanaan yang tengah berjalan terdiri atas lebih dari 200 investasi dan proyek-proyek bantuan teknis, yang akan membutuhkan pembiayaan lebih dari $60 miliar.[5]
Ragam geografis wilayah dan berbagai zona iklim mendukung keanekaragaman hayati yang signifikan, dengan lebih dari seribu spesies baru ditemukan pada dekade pertama tahun 2000-an. Wilayah geografis ini merangkum 16 dari 200kawasan ekologi global WWF, dan merupakan habitat bagi sekitar 20.000 jenis tumbuhan, 1.300 spesies ikan, 1.200 spesies burung, 800 spesies reptil dan amfibi, serta 430 spesies mamalia. Spesies penting di wilayah ini termasuk badak jawa, pesut dan patin raksasa mekong (salah satu ikan air tawar terbesar).
Keanenaragaman hayati kawasan ini masuk dalam daftar lima besar hotspot biodiversitas yang terancam punah oleh Conservation International. WWF mengutip bahwa perccepatan pembangunan ekonomi, pertumbuhan populasi dan peningkatan pola konsumsi sebagai penyebab utama kerusakan kawasan, termasuk juga penggundulan hutan untuk pertanian, penebangan kayu dan perdagangan kayu ilegal, perdagangan satwa liar, penangkapan ikan berlebih, pembangunan bendungan dan jalan besar, serta pertambangan. WWF juga menyatakan bahwa wilayah ini sangat rentan terhadap perubahan iklim global.
Konservasi
Dengan pesatnya perkembangan di kawasan ini, upaya konservasi untuk melindungi sumberdaya alam, habitat, keanegaragaman hayati dan budaya lokal di GMS menjadi sangat mendesak. Ancaman terkini yang paling mendesak adalah pengembangan PLTA, perubahan iklim, perdagangan satwa liar, dan pengrusakan habitat.
Konstruksi dan industri
Pemanenan dan produksi sumber daya alam di wilayah GMS memiliki kepentingan ekonomi yang signifikan, dengan nilai ritel perikanan dari Sungai Mekong saja diperkirakan mencapai lebih dari US$4 miliar per tahun.[7]
Dalam dasawarsa terakhir, GMS juga menjadi lokasi utama proyek konstruksi berskala besar serta wilayah pembangunan ekonomi yang pesat, termasuk PLTA, pertambangan, kehutanan serta industri produksi.
Kombinasi faktor-faktor ini telah menimbulkan masalah lingkungan secara internasional sejak pertengahan tahun 2000-an. Saat ini telah dihasilkan perumusan program lingkungan dan usulan strategi serta pengembangan strategi pertumbuhan ekonomi ramah lingkungan yang berkelanjutan untuk wilayah ini. Kesepakatan ini dicapai oleh organisasi berpengaruh seperti Perserikatan bangsa-Bangsa (UNEP dan FAO), WWF, PROFOR dan lainnya, dalam kolaborasi tingkat tinggi antar-kementerian pemerintah negara-negara GMS.
[8][9][10]
Organisasi
Organisasi penting yang terlibat dalam GMS meliputi: