Subsidi ekspor adalah kebijakan pemerintah yang ingin mendorong ekspor barang dan mengurangi penjualan barang di pasar domestik dengan menggunakan pembayaran langsung, pinjaman berbunga rendah, keringanan pajak untuk pengekspor, atau iklan di negara lain yang didanai oleh pemerintah. Subsidi ekspor menurunkan harga yang dibayarkan oleh importir asing, sehingga konsumen domestik akan membayar lebih mahal daripada konsumen asing. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) melarang sebagian besar subsidi yang terkait dengan volume ekspor kecuali untuk negara terbelakang.[1]
Subsidi ekspor juga dapat diberikan ketika bantuan harga internal (seperti jaminan harga minimal untuk suatu komoditas) membuat produksi lebih tinggi daripada konsumsi di suatu negara. Agar komoditas yang berlebih tidak mubazir, pemerintah akan mengekspornya.
Saat ini Perjanjian tentang Pertanian masih mengizinkan subsidi pertanian di Uni Eropa dan Amerika Serikat, tetapi negara-negara anggota WTO yang tergabung dalam Konferensi Kementerian Kesepuluh WTO di Nairobi, Kenya, dari tanggal 15 hingga 19 Desember 2015, telah bersepakat untuk menghapuskan subsidi ekspor untuk produk pertanian; negara-negara terbelakang punya waktu hingga akhir tahun 2018 untuk menghapuskan subsidi ekspor pertanian (hingga 1 Januari 2017 untuk ekspor kapas), sementara negara maju harus menghapusnya segera.
[2][3][4]
Subsidi ekspor dapat mengakibatkan inflasi: pemerintah menyubsidi industri berdasarkan biaya, tetapi peningkatan subsidi akan dihabiskan untuk kenaikan gaji yang diminta oleh karyawan. Kini gaji di dalam industri yang disubsidi lebih tinggi dari tempat lain, yang membuat karyawan lain meminta gaji yang lebih tinggi, yang kemudian membuat harga naik dan memicu inflasi.
Beberapa negara menyediakan subsidi ekspor tidak langsung dengan memberikan keringanan pajak. Di Amerika Serikat, eksportir barang Amerika dapat memperoleh pengurangan pajak dengan menggunakan Interest Charge Domestic International Sales Corporation (IC-DISC).[5]
Referensi
Pranala luar