Soeria Atmadja
Pangeran Adipati Aria Soeria Atmadja atau juga dikenal sebagai Pangeran Mekkah (11 Januari 1851 – 1 Juni 1921) adalah Bupati Sumedang ke-29 yang menjabat dari tahun 1883–1919. Beliau adalah Bupati Sumedang terakhir yang mendapatkan gelar pangeran.[1] Selama menjadi Bupati Sumedang, beliau mendapatkan penghargaan-penghargaan dari Pemerintah Hindia Belanda. Kehidupan awalPangeran Aria Soeria Atmadja dilahirkan di Sumedang, 11 Januari 1851 dengan nama Raden Sadeli. Ayahnya, Suria Kusumah Adinata, adalah seorang Bupati Sumedang.[1] Ketika dia masih anak-anak, ayahnya mengajarkan dia tentang budi pekerti. Menginjak usia ke-delapan tahun, Raden Sadeli belajar agama kepada seorang ulama bernama K.H.Asyrofudin.[2] Menginjak usia remaja, Raden Sadeli mulai mengikuti magang. Beliau juga mempelajari bahasa asing yaitu Inggris, Prancis, dan Belanda.[2] Karier awalSeusai menyelesaikan magang, Raden Sadeli mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai kliwon pada tahun 1869. Dua tahun kemudian, beliau diangkat sebagai wedana di Ciawi pada tanggal 7 Februari 1871. Dia menjabat sebagai Wedana di Ciawi selama empat tahun.[2] Saat menjadi Wedana Ciawi, Raden Sadeli mengubah namanya menjadi Soeria Atmadja. Pergantian nama dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan bahwa Pangeran Soeria Atmadja sudah siap untuk mengemban tugas sebagai seorang birokrat pemerintah.[3] Pada tanggal 29 November 1875, Raden Soeria Atmadja menjabat sebagai patih Kabupaten Sukapura. Selama menjabat sebagai patih di Sukapura, beliau mendapatkan gelar rangga pada tanggal 13 Januari 1879 karena kepeduliannya kepada pengembangan agama Islam dan mewakafkan tanahnya di Tasikmalaya untuk pembangunan Masjid Agung Tasikmalaya dan Pesantren Cigalontang.[2][4] Bupati SumedangSepenininggal Suria Kusumah Adinata, Raden Suria Atmaja diangkat sebagai Bupati Sumedang pada tanggal 30 Desember 1882 karena memenuhi syarat. Beliau diangkat resmi dilantik menjadi bupati pada tanggal 31 Januari 1883. Dengan menjadi bupati, Suria Atmaja mendapatkan gelar tumenggung.[5] Beliau menjabat sebagai bupati Sumedang sampai dengan tahun 1919 ketika dia memutuskan mengundurkan diri karena sudah tua. Jabatan bupati digantikan oleh adiknya, Aria Kusumahdilaga. Selama menjadi bupati, Pangeran Soeria Atmadja terkenal dengan kegiatan blusukannya ke daerah pelosok untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya demi memajukan Sumedang.[5] Pada tanggal 31 Agustus 1898, Raden Soeria Atmadja dinaikkan pangkatnya dari tumenggung menjadi adipati. Selanjutnya, tiga hari setelah mendapatkan penghargaan Songsong Kuning, Raden Adipati Soeria Atmadja mendapatkan gelar jabatan tambahan yaitu aria. Pada tanggal 26 Agustus 1910, Pemerintah kolonial Belanda menaikkan gelar kebangsawanan Soeria Atmadja dari raden menjadi pangeran karena beliau adalah koordinator bupati-bupati di wilayah Priangan.[3] EkonomiPada tahun 1898, Bank Priyayi didirikan di Sumedang atas inisiasi Raden Suria Atmaja untuk membantu masyarakat Sumedang yang terdampak dari praktik buruk lintah darat. Modal bank diperoleh dari pengumpulan sekian persen dari gaji pamong praja yang ada di Sumedang. Tiga tahun kemudian, Bank Priyayi berubah namanya menjadi Afdeeling Bank (Bank Daerah). Dalam pengoprasiannya, Bank Daerah memberikan kredit kepada anggotanya supaya tidak terkena jeratan rentenir. Pada tahun 1915, beliau mendirikan bank desa untuk membantu petani kecil.[6] InfrastrukturPada tahun 1908, Jalan Cadas Pangeran bagian bawah yang menghubungkan Bandung dan Sumedang dibangun. Di samping itu juga, kantor telepon juga dibangun pada masa kepemimpinan beliau untuk mempermudah komunikasi.[4] KeamananUntuk meningkatkan keamanan dan ketertiban, dibangun pos-pos keamanan mulai dari tingkat desa hingga kawedanan. Setiap pos-pos keamanan wajib dilengkapi bambu yang berisikan air, pasir-pasir, dan perlengkapan lainnya untuk antisipasi terjadinya kebakaran. Setiap minggunya, kegiatan-kegiatan pada pos keamanan wajib dilaporkan pada rapat mingguan yang diawasi oleh Pangeran Soeria Atmadja.[7] KesehatanSemasa kepemimpinan Pangeran Soeria Atmadja, vaksinasi cacar diadikan di desa-desa dan anak-anak beserta dengan bayi wajib disuntik vaksin cacar. Beliau juga mengancurkan kepada masyarakat Sumedang untuk menanam obat-obatan di halaman rumah mereka.[8] KesenianPangeran Soeria Atmadja menaruh perhatian yang besar kepada tari tayub (Ibing Tayuub), gamelan degung, dan seni suara. Beliau juga menulis dan menciptakan lagu yang berjudul Lagu Sonteng. Semasa masa kepemimpinnanya, setiap hari minggu pukul 8 pagi, gamelan degung buhun dimainkan.[9] Perlindungan lingkungan dan hewanUntuk mengatasi permasalahan longsor, beliau mengadakan reboisasi di lahan-lahan gundul. Selain itu juga, beliau juga membuat hutan larangan/tertutup agar hutan tersebut dijaga kelestariannya.[7] Selain itu juga, Pangeran Soeria Atmadja meminta kepada rakyat Sumedang yang tinggal di pinggir jalan untuk menamam tanaman yang kayunya bisa digunakan untuk pembangunan jembatan dan bangunan. Tidak hanya tumbuhan saja yang dilindungi, tetapi juga hewan. Untuk meningkatkan produksi tanaman aren, beliau meminta kepada masyarakat untuk melindungi luwak.[10] PertanianMengingat kondisi sumedang yang lereng gunung dan bukitnya curam, Sumedang kurang cocok untuk pertanian. Untuk mengatasi masalah tersebut, Suria Atmaja menginisiasikan pembangunan persawahan terasering di areal perbukitan. Persawahan terasering dibangun di seluruh Sumedang dan inisasi tersebut membuahkan meningkat hasil pertanian di Sumedang.[5] Selain membangun persawahan terasering, Raden Soeria Atmaja juga mengimpor bibit tanaman dari Indramayu dan bibit kelapa dari Jawa Tengah dan Bali guna meningkatkan hasil pertanian. Tidak hanya itu saja, infrastruktur pertanian juga tidak luput dari perhatiannya. Pembangunan irigasi dan lumbung padi juga terjadi pada masa kepemimpinan beliau.[11][7][10] Pada tahun 1886, Raden Soeria Atmadja melobi kepada pemerintahan Hindia Belanda untuk membebaskan beberapa desa miskin untuk dibebaskan dari kewajiban menanam kopi. Permintaan tersebut dikabulkan.[11] Peternakan dan PerikananPeternakan juga diperhatikan oleh Suria Atmaja. Beliau mendatangkan sapi dari Madura dan Benggala ke Sumedang untuk memajukan sektor peternakan. Berkat upaya Raden Suria Atmaja, peternakan mengalami kemajuan terpesat kedua di daerah Priangan selain Kabupaten Bandung dan petani-petani di Sumedang lebih memilih sapi dibandingkan kerbau sebagai hewan kerja mereka.[6] Pangeran Soeria Atmadja membuat regulasi untuk keberlangsungan produksi ikan air tawar. Ia mengeluarkan aturan agar lobang jala tidak digunakan untuk menangkap ikan-ikan berukuran kecil dan juga melarang penggunaan racun untuk menangkap ikan.[4] PendidikanPada masa kepemimpinan Raden Suria Atmaja, sekolah-sekolah mulai berdiri di Sumedang. Pada tahun 1907, sekolah desa dengan lama belajar tiga tahun mulai tersedia di Sumedang. Tujuh tahun berselang, sekolah lanjutan mulai ada di Sumedang untuk murid sekolah desa yang berprestasi. Pada tahun 1915, HIS pertama di Sumedang didirikan.[9] Demi memajukan sektor pertanian, Pangeran Suria Atmaja mendirikan sekolah tani bernama Landbouwschool Bojongseungit pada tahun 1913 di atas tanah yang diwakafkan oleh beliau. Sekolah tani ini sekarang bernama Universitas Winaya Mukti Sumedang.[7][4] Masa pensiunSetelah tidak lagi menjadi bupati, Pangeran Soeria Atmadja memilih untuk menghabiskan masa pensiunnya di Sindang Taman.[10] Pada tahun 1921, Pangeran Soeria Atmadja merilis sebuah buku yang berjudul Ditiung Memeh Hujan.[12] Di tahun yang sama, beliau melaksanakan ibadah haji. Sesampainya di Mekkah, kondisi kesehatan Soeria Atmaja memburuk dan pada tanggal 1 Juni 1921, beliau meninggal dunia. Jasad Pangeran Soeria Atmadja dimakamkan di Ma’la. Meninggalnya Pangeran Soeria Atmadja di Mekkah membuat dia mendapatkan julukan Pangeran Mekkah.[13] PandanganSarekat IslamDalam surat yang dikirimkan kepada Johan Paul van Limburg Stirum, Soeria Atmadja mengungkapkan kekesalannya terhadap pergerakan Sarekat Islam yang menggunakan Islam untuk menipu orang lain dan kelakuannya yang melewati batas. Ia juga mengkritik pemerintah Hindia Belanda yang memperbolehkan H.O.S Tjokroaminoto menjadi anggota Volksraad.[14] Kehidupan pribadiPangeran Soeria Atmadja menikah dengan Raden Ayu Radja Ningrum. Beliau memiliki satu anak perempuan yaitu Raden Ayu Djogdjainten Djoebaedah.[10] PenghargaanBerkat jasanya sebagai Bupati Sumedang, Pangeran Soeria Atmadja mendapatkan penghargaan-penghargaan yaitu:[3]
Untuk mengenang jasa Pangeran Soeria Atmadja, sebuah monumen berbentuk lingga dibangun di tengah kota Sumedang. Monumen tersebut diresmikan pada tanggal 25 April 1922 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dirk Fock.[13] Pada tahun 2021, diadakan haul untuk mengenang seratus tahun kematian Pangeran Soeria Atmadja.[8] Galeri
Referensi
|