Snap mor adalah tradisi menyebar jaring atau menangkap ikan di Biak, Papua. Kegiatan snap mor bisa dilakukan pada saat air surut, yang ditandai oleh angin timur dan curah hujan yang dominan, serta dilakukan di daerah yang dangkal. Snap mor berasal dari bahasa Biak, yaitu Snap dan mor. Snap adalah koral atau batu kecil yang terhampar dimuara sungai, kali, dan kanal, sedangkan kata mor berarti timbunan laut atau ikan sebagai butir-butir rejeki. Hingga secara umum orang Biak menyebut Snap mor sebagai sebuah kegiatan menangkap ikan bersama-sama di waktu air surut dengan menggunakan jaring ataupun tombak atau kalawai,[1][2] dilakukan di area kampung sendiri dan biasanya juga mengundang kampung yang lain.[3]
Waktu pelaksanan Snap mor yang terbaik biasanya pada musim meti (bulan mati) saat bulan tidak purnama, atau masa air surut lebih panjang, siang hingga malam hari, atau biasa disebut air tidak pasang, biasanya antara bulan Maret hingga Agustus, namun di bulan lain juga dapat dilakukan tetapi biasanya air baru akan surut pada waktu malam, sehingga Snap mor hanya bisa dilakukan pada malam hari.
Ritual adat dilakukan oleh orang tua yang dianggap pemimpin di kampung tersebut, diawali dengan membakar daun kelapa dan memasang lampu gas sebagai penerang di lokasi kegiatan. Masyarakat kemudian berkumpul membentuk lingkaran dan pemimpin kegiatan Snap mor berdoa untuk kelancaran dan keselamatan kegiatan Snap mor. Setelah ritual adat selesai, maka masyarakat beramai-ramai mencari ikan dengan suka cita, kegiatan ini boleh dilakukan oleh segala umur baik laki-laki maupun perempuan.
Sebagai upaya untuk melestarikan budaya snap mor, maka sejak tahun 2012 Pemda kabupaten Biak, Provinsi Papua menyelenggarakan Festival Biak Munara Wampasi [4] yang biasanya diadakan pada bulan Juli, beragam acara budaya ditampilkan, antara lain tari pancar, apen bayeren[5] dan tentunya Snap mor di pantai Samber. Sejak 2018 Festival Biak Munara Wampasi akhirnya menjadi agenda tahunan wisata kabupaten Biak.[6]