Siti Aisyah We Tenriolle adalah tokoh emansipasi wanita yang berasal dari suku Bugis, di Tanete, Sulawesi Selatan, Indonesia.[1] Siti Aisyah We Tenriolle adalah Datu (Ratu) Kerajaan Tanete (kini Barru), Sulawesi Selatan pada tahun 1855-1910.[2] Selain menguasai Kerajaan Tanete, Siti Aisyah We Tenriolle juga menguasai Kerajaan Bugis.[3] Berkat kontribusi Siti Aisyah We Tenriolle dalam menerjemahkan mahakarya epos La Galigo dari bahasa Bugis kuno ke bahasa Bugis umum, Tanete memperoleh popularitas hingga samudra dan benua Eropa.[4] Waktu kelahiran Siti Aisyah tidak diketahui secara pasti.[1] Namun, Siti Aisyah We Tenriolle wafat pada tahun 1919, di desa Pancana Tanette ri Lau, yang juga kampung kelahirannya.[1]
Sejarah Kepemimpinan
Aisyah adalah anak kedua dari tiga bersaudara.[5] Ayahnya bernama La Tunampare' alias To Apatorang yang bergelar Arung Urung dan ibunya bernama Colliq Poedjie yang bergelar Arung Pancana.[4] Kedua orang tua Aisyah adalah bangsawan, diketahui dari gelar Arung di depan nama. Kakak laki-lakinya bernama La Makkawaru dan adiknya bernama I Gading. Setelah ayahnya meninggal, Aisyah dan keluarganya tinggal di rumah kakeknya yang bernama La Rumpang di Tanete. Pada saat itu sedang terjadi perselisihan antara Belanda dan Raja Tanette yang bernama La Patau. Akibat perselisihan itu, Belanda dengan kekuasaannya menurunkan tahta La Patau dan mengasingkannya keluar dari Sulawesi Selatan pada tahun 1840.. Sebagai pengganti raja yang berikutnya Belanda mengangkat La Rumpang Megga Matinro Eri Moetiara, yakni kakek Aisyah.[5] Kerajaan Tanette merupakan kerajaan Islam.[2] Pengaruh Islam melekat kuat dalam Kerajaan Tanette sebagaimana juga pada Kerajaan Goa, Tallo, dan Bone.[2] Walaupun begitu, La Rumpang tak menutup diri dari asing dan menjalin persahabatan dengan asing, yakni B.F Matthes dan Ida Pfeiffer.[2] B.F Matthes adalah orang Belanda dan Ida Pfeiffer adalah orang Austria yang singgah di Tanette.[2] Saat La Rumpang sudah berusia lanjut, dia memutuskan untuk turun tahta dan menunjuk Siti Aisyah We Tenriolle, cucunya sebagai penggantinya.[5] Usulan tentang Aisyah naik tahta dilaporkan kepada Gouverneur Celebes en Onderhorigheden (Gubernur Sulawesi) pada 1852 dan usulan tersebut diterima.[5]
Saat naik tahta, Aisyah mendapat pertentangan dari ibundanya. Sang Ibunda lebih menghendaki kakak sulung Aisyah, La Makkawaru yang naik tahta. Kemauan Sang Ibunda mereda karena Aisyah naik tahta karena keinginan La Rumpang. Di samping itu, kebiasaan La Makkawaru yang gemar berjudi dan minum minuman keras yang membuat ia tidak naik tahta kerajaan Tanette. Aisyah menikah dengan Arung Bakka Soppeng yang nama aslinya La Sandji Unru. Pernikahan mereka melahirkan tiga orang putri, yang bernama We Pancalktana Bunga Walie, I Pateka Tana, I Hawang, dan seorang putra yang bernama La Sangaji Unru.[1]
Kerajaan Tanette yang dipimpin oleh Aisyah merupakan salah satu kerajaan otonom kecil yang luasnya 61,180 hektar, dengan jumlah penduduknya pada saat itu 13,362 jiwa.[1] Kerajaan Tanette dipersatukan dari empat wilayah, yakni Tanette ri Tennga, Tanette ri Lauq, Tanette ri Aja, dan Gattarang.[4] Saat memerintah Kerajaan Tanette, Aisyah berusaha mempertahankan pola patron-klien dengan penjajah Belanda agar dapat mempertahankan keberlangsungan kehidupan masyarakt Tanette.[4] Aisyah menyadari betapa terhinanya hidup dalam kungkungan penjajahan formal.[4] Namun, hal ini dilakukan untuk kestabilan kerajaan.[4] Menurutnya, tak ada guna melakukan perlawanan bersenjata terhadap Belanda, karena Belanda mempunyai sistem persenjataan dan kekuatan militer yang tak bisa ditaklukan.[4]
Aisyah juga menerapkan konsep Pau-Pauna Sehek Maradang (lima tuntutan Hikayat Syekh Maradang).[5] Hikayat tersebut menyebutkan bahwa kewajiban pemimpin adalah:
- Orang pintar adalah orang yang memikirkan bagaimana menciptakan kesejahteraan suatu negeri dan rakyatnya.[5]
- Orang kaya adalah orang yang memiliki harta benda dan menggunakannya untuk membangun negerinya.[5]
- Orang yang pemberani adalah orang yang dapat melindungi rakyatnya.[5]
- Wali adalah orang yang dimuliakan oleh Allah.[5]
- Fakir adalah orang yang diterima doanya oleh Allah.[5]
Siti Aisyah We Tenriolle memerintah Kerajaan Tanette dengan kondisi politik dan ekonomi yang stabil selama 55 tahun.[1] Siti Aisyah We Tenriolle memanfaatkan masa pemerintahannya dengan berkonsentrasi pada pendidikan dan kesusastraan.[1]
Menggali Epos Sastra I La Galigo
Aisyah sangat menyukai buku-buku sastra dan menguasai epos La Galigo yang berbentuk puisi.[6] Melalui kekuasaanya Aisyah berhasil mengumpulkan naskah-naskah tua La Galigo yang terpisah di kerajaan Goa, Tallo, dan Bone.[2] Bersama ibunya, Aisyah menyelami dan mengumpulkan sastra-sastra kuno, seperti manuskrip I La Galigo yang berbentuk daun-daun Lontar selama 20 tahun.[2] I La Galigo dikeramatkan oleh banyak kalangan Bugis.[2]
Orang Bugis menjadikan La Galigo sebagai keramat karena mereka beranggapan bahwa cerita La Galigo bukan sekadar epos, tapi juga merupakan petuah leluhur (to Riolo) yang mengandung hikmah kehidupan.[2] Ibunda Aisyah sendiri adalah seorang intelek, dia yang mengurusi dokumen-dokumen kerajaan.[5] Aisyah dibantu oleh BF Matthes, peneliti Belanda yang diutus oleh Nederlandsch Bijbelgenootschaap (sebuah lembaga peneliti kitab-kitab kuno) dan ibundanya.[2]
BF Matthes menerbitkan transliterasi La Galigo dalam aksara Bugis dan terjemahan bahasa Belanda dalam buku: Boeginesche Chrestomathie jilid II tahun 1872.[4] Aisyah mempunyai peranan yang sangat dominan, kemampuannya dalam membaca dan memahami bahasa Bugis kuno dalam bait-bait epos La Galigo yang tersusun dalam 300,000 larik telah mempermudah pekerjaan BF Matthes dalam menerbitkan buku.[4] Karya terjemahan Siti Aisyah We Tenriolle kini disimpan di Universitas Leiden, Belanda dan menjadi rujukan penilitian mengenai wiracerita terpanjang di dunia.[4] Hingga kini Siti Aisyah We Tenriolle, BF Matthes dan ibunda Aisyah menjadi pahlawan pelestari sastra lokal Bugis.[4]
Sekolah Rakyat
Dengan kemampuan sastra dan pergaulannya dengan BF Matthes dan Ida Pfeiffer, Siti Aisyah We Tenriolle menyusun langkah strategis untuk memajukan kehidupan bangsa Tanette melalui pendidikan.[1] BF Matthes mendirikan sekolah hanya untuk laki-laki, bangsawan, dan kaum kaya.[1] Aisyah mendirikan sekolah yang memberikan pendidikan modern rakyat yang terbuka untuk semua kalangan masyarakat, baik anak perempuan maupun laki-laki pada tahun 1908.[6] Hal itu dilakukan Aisyah agar masyarakat bawah juga dapat mengikuti pendidikan tanpa diskriminasi ekonomi, sosial, dan gender.[6] Sekolah rakyat yang didirikan oleh Aisyah tak pernah mendapatkan bantuan dari Belanda.[1] Ide Aisyah akan sekolah rakyat ini adalah yang pertama di jazirah Sulawesi Selatan kala itu.[1]