Sisingamangaraja IXSisingamangaraja IX (gelar: Ompu Sotaronggal) adalah salah satu Raja dari Dinasti Sisingamangaraja yang memerintah di Bakkara, Toba. Raja Si Singamangaraja IX mengadakan hubungan dengan raja Asahan dan daerah-daerah lain di Sumatera Timur. Ia membuka kembali babak baru bagi sejarah Dinasti Si Singamangaraja yang selama beberapa generasi tidak dikaruniai anak perempuan. Ia mempunyai tiga orang anak, seorang di antaranya adalah perempuan yang diberi nama sesuai dengan nama bibi Si Singamangaraja I yang diinjak gajah milik raja Uti, yaitu Nai Hapatihan. Anak laki-lakinya bernama Ompu Tuan na Bolon dan Ompu Raja lhutan. Ketiga anak ini masing-masing mempunyai kesaktian, bahkan Nai Hapatihan memiliki kesaktian yang hampir sejajar dengan saudaranya yang kemudian menjadi Si Singamangaraja X, Ompu Tuan na Bolon. Tetapi sayangnya ia seorang perempuan sehingga ia tidak dapat mengikuti pertandingan atau upacara penarikan piso gajah dompak yang diselenggarakan dalam pemilihan Si Singamangaraja antara kedua anak laki-laki raja Si Singamangaraja IX.[1] Nai Hapatihan hamil, sebagai hasil dari perkawinan incest (istilah Batak, kawin sumbang) dengan saudara laki-lakinya yang bernama Raja Mangalambung. Siapa Raja Mangalambung ini tidak jelas, apakah ia merupakan anak Si Singamangaraja ke-IX, ataukah anak salah seorang saudaranya. Bagi orang Batak perkawinan semarga merkipun bukan satu ayah tetap disebut sebagai perkawinan sumbang, yang sampai sekarang masih dianggap sebagai sesuatu yang pantang dikerjakan. Nai Hapatihan ini segera meninggalkan Bakkara dan pergi ke perbatasan Aceh, dan menurut kabar ia kemudian menikah dengan seorang Fakih dari Singkel. Raja Mangalambung dikatakan juga meninggalkan Bakkara dan pergi ke utara tetapi agak ke Aceh Timur. Sementara itu di Bakkara masih tinggal kedua anak laki-laki Si Singamangaraja ke-IX, yaitu Ompu Tuan Nabolon dan Raja lhutan. Untuk menentukan siapa yang akan menjadi Si Singamangaraja ke-X, maka seperti biasanya diadakan upacara piso Gajah Dompak. Sebagai hasilnya, maka Ompu Tuan Nabolon yang berhasil mengeluarkan piso tersebut dari sarungnya, sehingga ia diresmikan sebagai Si Singamangaraja ke-X. Beberapa tahun kemudian Nai Hapaitan datang kembali ke Bakkara untuk mengantarkan anaknya yang lahir dari perkawinan sumbang tersebut, yang diberi nama Si Pongkinangolngolan atau Si Tangkal Tabu untuk dipelihara oleh pamannya Tuanku Nabolon. Sebenarnya Si Singamangaraja X sangat menyayangi keponakannya ini, pada suatu hari datu-datu (dukun-dukun peramal) diundang untuk meramal nasib Si Pongki Nangolngolan. Hasil ramalan itu sangat menyusahkan hati Si Singamangaraja X, karena datu-datu meramalkan bahwa pada suatu waktu si Pongki Nangolngolan akan menjadi saingan pamannya dan ia akan merebut kekuasaan dari tangan pamannya. Kemungkinan itu harus segera dihindari, karena menurut adat Batak menurut garis ayah, maka tidak dapat diterima putra dari seorang boru (anak perempuan) akan meneruskan kerajaan pamannya. Di samping itu raja Si Singamangaraja X juga mempunyai anak laki-laki, sehingga dikhawatirkan akan timbul perang saudara jika si Pongki tetap berdiam di Bakkara. Para datu menganjurkan kepada Si Singamangaraja X untuk membuang si Pongki dari kerajaannya bahkan membunuhnya. Tetapi Si Singamangaraja X yang sayang kepada keponakannya itu, berkeberatan untuk membunuhnya, tetapi mengingat kepentingan masa depan kerajaannya maka ia setuju untuk membuang Si Pongki ke danau Toba. Si Pongki diikat pada sebuah perahu atau sampan kecil dan dibiarkan terapung sendiri di danau, tetapi tanpa diketahui orang lain, Si Singamangaraja X melepaskan ikatan tali-tali tersebut dan menyisipkan sepundi-pundi uang emas sebagai bekal Si Pongki di negeri orang. Seorang nelayan bermarga Marpaung dari kampung Marpaung jae, menemukan Si Pongki Nangolngolan terapung di danau. Ia menemukan anak tersebut dan memelihara dia sebagai anaknya sendiri. Setelah anak itu besar, ia mengusulkan anak tersebut untuk mencari upah mengikuti pedagang-pedagang garam ke Padang Sidempuan di daerah Selatan Tanah Batak. Dalam perantauannya Si Pongki akhirnya sampai ke Bangkinang, daerah Limapuluh Kota Sumatra Barat dan bergabung dalam pasukan Padri. Bakat-bakatnya yang baik dalam bidang kemiliteran, membuka kesempatan baginya untuk mendapat latihan-latihan perang dalam pasukan pilihan tentara Padri, bahkan ia sampai dikirim ke Turki (lstambul) untuk mendapatkan latihan-latihan bagi perwira-perwira Padri.[1] Daftar Pustaka
|
Portal di Ensiklopedia Dunia