Sindrom sernak bayiSindrom sernak bayi, sindrom bimbang bayi atau baby blues adalah kondisi umum yang sering terjadi dimulai setelah melahirkan dan dapat memperlihatkan berbagai gejala seperti perubahan suasana hati, mudah tersinggung, dan sering menangis.[1] Sebanyak 85% ibu baru mengalami baby blues, dengan gejala yang muncul dalam beberapa hari setelah kelahiran dan berlangsung hingga dua minggu. Dukungan lingkungan sangat diperlukan, seperti memastikan tidur yang cukup dan dukungan emosional, penting untuk mengatasi gejala ini. Jika gejala tersebut berat dan memengaruhi aktivitas sehari-hari atau berlangsung lebih dari dua minggu, si ibu harus dievaluasi untuk memastikan tidak terjadi kondisi kejiwaan pasca melahirkan yang lebih serius, seperti depresi pasca melahirkan dan kecemasan pasca melahirkan. Tidak jelas apakah kondisi ini dapat dicegah, namun edukasi dan dukungan penting untuk membantu mengurangi sindrom baby blues.[2][3] Tanda dan gejalaGejala baby blues sangat bervariasi antara individu dan dari satu kehamilan ke kehamilan berikutnya. Banyak gejala baby blues tumpang tindih dengan gejala normal yang dialami oleh orang tua baru dan depresi pascapartum.[4] Gejala baby blues umumnya lebih ringan dan tidak terlalu mengganggu fungsi sehari-hari dibandingkan dengan depresi pascapartum. Gejala baby blues meliputi beberapa hal yaitu:
Penyebab baby bluesPenyebab post partum blues masih belum dipahami dengan pasti. Banyak hipotesis tentang penyebab postpartum blues dan depresi post partum fokus pada interaksi antara perubahan biologis dan psikososial yang signifikan selama proses melahirkan.[6] Penyebab psikososialKehamilan dan masa nifas adalah periode penting dalam kehidupan seorang wanita yang dapat meningkatkan kerentanannya terhadap post partum blues. Bahkan dengan kehamilan yang direncanakan, rasa ragu atau penyesalan adalah hal yang wajar, dan memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan kehadiran bayi baru.[7][8] Perasaan umum yang dilaporkan oleh orang tua baru dan perubahan gaya hidup yang mungkin berkontribusi pada timbulnya gejala suasana hati pasca persalinan awal termasuk:
Faktor risikoSebagian besar faktor risiko yang telah menunjukkan hubungan terjadinya baby blues, meliputi faktor-faktor sosiodemografi, seperti usia dan status perkawinan, serta faktor obstetrik, seperti komplikasi persalinan atau berat badan bayi rendah.[9][10] hal-hal ini menyebabkan stress pada ibu sehingga akan berpengaruh pada psikologi ibu dalam mengurus bayi. Faktor yang paling sering terjadi dalam memprediksi terjadinya baby blues adalah riwayat depresi pribadi dan keluarga.[11] Hal ini menjadi perhatian khusus karena adanya hubungan dua arah antara kesedihan pascapersalinan dan depresi pascapersalinan: riwayat depresi pascapersalinan tampaknya menjadi faktor risiko untuk timbulnya kesedihan pascapersalinan, sementara kesedihan pascapersalinan meningkatkan risiko terjadinya depresi pascapersalinan pada masa mendatang. Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya baby blues pasca melahirkan diantaranya: status ekonomi yang rendah, latar belakang etnis atau ras, perencanaan kehamilan (terencana atau tidak), jenis persalinan (normal atau sesar), sikap keluarga atau riwayat depresi dimasa lalu.[6] PatofisiologisPenelitian belum menemukan korelasi yang konsisten antara tingkat hormon dan perkembangan gangguan mood pasca melahirkan.[5][12] Beberapa peneliti berpendapat bahwa hasil yang bervariasi mungkin disebabkan oleh tingkat sensitivitas yang berbeda terhadap perubahan hormon di antara subkelompok wanita. Oleh karena itu, kemungkinan perkembangan gejala suasana hati terkait dengan tingkat sensitivitas wanita terhadap perubahan hormon, yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan pemicu stres psikososial, bukan hanya tingkat hormon itu sendiri.[13] Pada dasarnya penyebab utama dari perubahan suasana hati pasca melahirkan sebagian besar belum diketahui. Namun, perubahan hormonal telah lama dianggap sebagai faktor yang mungkin bertanggung jawab. Biasanya, terjadi penurunan tajam kadar estradiol, progesteron, dan prolaktin setelah melahirkan. Penurunan hormon-hormon ini juga terkait dengan perubahan suasana hati selama berbagai fase siklus menstruasi, seperti yang terjadi pada gangguan dysphoric premenstrual.[14] Penelitian lain menunjukkan bahwa peningkatan kadar monoamine oksidase atau penurunan aktivitas serotoninergik setelah melahirkan juga dapat menjadi faktor risiko atau karakteristik etiologi yang signifikan yang memengaruhi kemungkinan seorang wanita mengalami postpartum blues.[15][16] PencegahanPenyebab baby blues sangat beragam dan masih belum jelas apakah strategi pencegahan akan efektif dalam mengurangi risiko kondisi ini. Namun, memberikan pendidikan melalui konsultasi dan sosialisasi kepada wanita dan keluarga selama kehamilan tentang postpartum blues dapat membantu calon ibu untuk mengantisipasi gejala yang seringkali tidak terduga dan mengkhawatirkan, sambil berada dalam suasana kegembiraan dan antisipasi menyambut kelahiran bayi. Baby blues dapat dicegah selama periode prenatal, penambahan asupan kepada calon ibu hamil berupa lemak Omega-3, EPA dan DHA dapat menurunkan risiko bayi lahir prematur, dan berdampak pada menurunnya risiko depresi pascapersalinan.[17] Sangat penting untuk calon orang tua baru memahami bahwa suasana hati yang tidak baik setelah melahirkan adalah hal yang normal dan sifatnya sementara. Peran pelayanan kesehatan setempat dapat menyarankan kepada ibu dan keluarga untuk melakukan persiapan-persiapan untuk memastikan ibu mendapat dukungan dan istirahat yang cukup setelah melahirkan. Mendukung ibu hamil merupakan strategi terbaik dalam mengurangi risiko baby blues. Rutin melakukan konseling, konsultasi nifat, dan pengamatan respon emosional yang akurat dapat mengidentifikasi kesedihan pascapersalinan sehingga dapat diberikan diagnosis yang tepat.[18] Seperti halnya dengan gangguan kejiwaan lainnya, pencegahan postpartum blues dapat mengurangi faktor risiko utama. Berbeda dengan sebagian besar gangguan kejiwaan lainnya, banyak faktor risiko postpartum blues seperti jumlah kelahiran, kondisi persalinan, riwayat depresi atau gangguan bipolar, atau riwayat perubahan suasana hati terkait siklus menstruasi. Namun, langkah utama dalam mengatasi postpartum blues adalah mengenali gejalanya secara dini, menyediakan intervensi cepat, mendorong komunikasi terbuka antara pasien dan keluarganya, serta memastikan akses terhadap sumber daya dan profesional kesehatan mental. Penting juga untuk melakukan skrining terhadap risiko bunuh diri, kekerasan terhadap bayi, paranoid, atau tanda-tanda psikotik. Jika gejala muncul dan diidentifikasi, penting bahwa sumber daya tersedia untuk memberikan dukungan yang cukup kepada ibu baru.[19] PengobatanBaby blues merupakan suatu kondisi yang dapat sembuh dengan sendirinya. Tanda dan gejalanya diperkirakan akan menghilang dalam waktu dua minggu setelah timbulnya tanpa perlu pengobatan apa pun. Meskipun demikian, ada beberapa rekomendasi yang dapat membantu meredakan gejala, seperti:
Jika gejala tidak membaik dalam dua minggu atau mengganggu fungsi sehari-hari, disarankan untuk menghubungi penyedia layanan kesehatan. Diagnosis dini dan pengobatan kondisi kejiwaan pascapersalinan yang lebih serius, seperti depresi pascapersalinan, kecemasan pascapersalinan, dan psikosis pascapersalinan, sangat penting untuk meningkatkan hasil baik bagi orang tua dan anak.[20][21] PrognosisSebagian besar ibu yang mengalami kesedihan pasca melahirkan sepenuhnya pulih dalam dua minggu. Tetapi, beberapa penelitian yang telah dilakukan menemukan bahwa tingkat kesedihan yang lebih parah setelah melahirkan dapat meningkatkan risiko depresi pada kelahiran berikutnya. Perlu penelitian lanjut untuk memahami sepenuhnya hubungan antara kesedihan pasca melahirkan dan depresi pada kelahiran berikutnya.[22][23] EpidemiologiKondisi yang dikenal sebagai postpartum blues atau baby blues sangat umum terjadi, memengaruhi sekitar 50-80% ibu baru menurut sebagian besar sumber. Namun, perkiraan prevalensinya bervariasi luas, dari 26 hingga 85%, tergantung pada kriteria kondisi.[20] Referensi
|