Siklon Flores 1973 adalah siklon tropis paling mematikan di belahan Bumi selatan yang tercatat sejarah. Bencana ini menewaskan 1.653 jiwa di Indonesia pada April 1973. Siklon pertama kali terbentuk di Laut Banda pada 26 April sebagai sistem tekanan rendah tropis. Sistem tersebut kemudian berkembang dan bergerak ke arah barat daya barat sebelum akhirnya berbelok ke selatan. Pada 29 April, siklon ini mencapai pesisir utara Pulau Flores dan mulai melemah keesokan harinya. Siklon menewaskan 1.500 nelayan di Pulau Palu'e. Curah hujan tinggi akibat siklon ini menyebabkan banjir bandang hingga menghancurkan bangunan dan jalan di Flores.
Riwayat meteorologis
Pada 26 April, sebuah sistem tekanan rendah tropis terbentuk di Laut Banda. Menurut analisis Badan Meteorologi Australia (BoM), sistem tersebut bergerak menuju arah barat daya barat dan berkembang. Karena badai ini di luar wilayah kewenangan badan tersebut, BoM tidak merilis peringatan atas sistem tersebut saat itu. Sistem tersebut mulai menimbulkan angin kencang pada 27 April ketika memasuki Laut Flores. Keesokan harinya, badai berbelok ke barat daya,[1][2] dan menguat sebelum kelak ia melintasi Flores pada 29 April.[3]
BoM memperkirakan intensitas puncak badai terjadi pada 29 April, ketika badai tersebut menjadi Siklon Tropis Kategori 3 pada skala intensitas siklon tropis Australia dengan kecepatan angin maksimum sebesar 120 km/jam dengan pusat tekanan rendah 975 hPa yang memicu badai laut yang sangat besar.[3] Siklon kemudian mendarat di pesisir utara Pulau Flores, melintasinya pada pukul 9 pagi dengan bentuk topan yang mengangkat air laut hingga tinggi dan memecah puluhan meter di darat,[3] hingga kemudian melemah pada 30 April di dekat pesisir selatan Flores.[1][2]
Dampak
Di Laut Flores, siklon ini membalikkan sebuah kapal kargo 500 ton dari Portugis timor bernama O Arbiru yang membawa beras dari Bangkok. Dari 24 awak kapal, hanya satu yang selamat.[4][5][6] Di Pulau Palu'e, siklon ini menewaskan 1.500 nelayan.[7]
Kabar terjadinya bencana di Flores membutuhkan waktu satu bulan untuk mencapai pemerintah pusat akibat komunikasi yang kurang dan wilayah yang terpencil.[8][2] Siklon ini menewaskan 1.653 orang,[7] membuatnya menjadi siklon tropis paling mematikan di belahan Bumi selatan yang tercatat sejarah.[9] Badai ini menyebabkan terjadinya pusuan ribut di daerah pesisir. Di Kabupaten Ngada, ombak tinggi menenggelamkan 24 orang. Sepuluh orang di Kabupaten Manggarai tewas.[8] Selama tiga hari, badai membuat hujan deras di seluruh Flores sehingga menyebabkan banjir bandang yang menyapu persawahan, peternakan, dan perumahan. Siklon juga menghancurkan sekolah, bendungan, jembatan, dan gedung pemerintahan. Kerusakan besar dillaporkan terjadi di ibukota provinsi, Ende.[8] Selain di Pulau Palue, Pulau Pemana, Pulau Permaan, Sikka dan Maumere juga terdampak parah. Di daratan, seperti Dusun Lekebai, yang terletak di Desa Bhera, Kabupaten Sikka mengalami banjir dan longsor.[3] 1800 rumah penduduk rata dengan tanah dan banyak yang rusak berat, di samping perahu yang berlayar hancur berkeping-keping, dan pohon-pohon bertumbangan.[3] Kerugian akibat bencana itu ditaksir mencapai 5 juta dollar USA. Ketika itu, orang-orang tempatan di pantai dan daratan Flores menyebut ini sebagai 'kiamat'.[3]
Setelah banjir terjadi, Pemerintah Indonesia membangun Bendung Sutami yang selesai dibangun pada 1975. Bendung tersebut mengontrol aliran air di pulau tersebut dan membantu irigasi lahan pertanian seluas 6.500 ha (16.000 ekar).[10]
Kelak, sejak 1983 hingga 2019, di sekitar Laut Banda dan Laut Arafura terbentuk 10 siklon dan kawasan Flores ini juga pernah dihantam siklon pula pada April 2002 dan April 2003.[3]
Lihat pula
Siklon Seroja – Siklon tropis mematikan lainnya yang terjadi di kawasan serupa pada 2021