Sesilia, Gymnophiona atau Apoda adalah ordo amfibia yang bertubuh serupa cacing besar atau ular[2]. Hewan ini amat langka. Selain karena hanya ditemukan di daerah hutan-hutan yang masih baik, sesilia hidup di dalam tanah yang gembur, di dekat sungai atau rawa-rawa; sehingga jarang sekali didapati oleh manusia. Dalam bahasa Jawa mereka disebut ulo duwel.[3]
Anatomi
Sesilia sama sekali tidak mempunyai kaki, sehingga jenis kecil mirip cacing dan yang besar sepanjang 1,5 m mirip ular. Ekornya pendek atau tidak ada, dan kloakanya dekat ujung badan.
Kulitnya lembut, berlendir, dan berwarna gelap tidak mengkilap,tetapi beberapa jenis berwarna-warni. Di dalam kulit ada sisik dari kalsit. Karena sisik inilah, sesilia pernah dianggap berkerabat dengan Stegocephalia fosil, tetapi sekarang hal itu dipercaya karena perkembangan sekunder dan kedua kelompok itu tidak mungkin berkerabat.
Kulitnya juga memiliki banyak lipatan berbentuk cincin, yang sebagian menutupi tubuhnya sehingga mereka tampak beruas-ruas. Seperti amfibia lain, di kulitnya ada kelenjar yang mensekresikan racun untuk mengusir pemangsa.[1] Sekresi kulit Siphonops paulensis telah ditunjukkan memiliki sifat hemolisis.[4]
Anatomi sesilia sangat teradaptasi pada kehidupan dalam tanah. tengkoraknya kuat dengan moncong meruncing untuk mendesak jalan melalui tanah atau lumpur. Pada banyak spesies, jumlah tulang di tengkorak tereduksi dan berpadu bersama, mulutnya berada di bagian bawah kepala. Ototnya teradaptasi untuk mendesak jalan mereak melalui tanah, dengan kerangka dan otot dalam bertindak sebagai piston dalam kulit dan otot luar. Hal ini memungkinkan binatang ini menambatkan ujung belakangnya di tempat, dan mendesak kepala ke depan, lalu menarik bagian tubuh lain untuk mencapainya dalam gelombang. Di air atau lumpur sangat cair, sesilia berenang mirip belut.[1] Sesilia famili Typhlonectidae hidup di air dan juga sesili terbesar. Wakil famili ini punya sirip berdaging di sepanjang bagian belakang tubuhnya, yang menambah kemampuan mendorong di air.[5]
Semua sesilia, kecuali yang paling primitif, mempunyai dua perangkat otot untuk menutup rahang yang pada vertebrata lain ada sepasang. Hal ini lebih berkembang lagi pada sesilia penghuni tanah efisien, dan tampaknya membantu tengkorak dan rahangnya tetap kaku.[1]
Karena kehidupan bawah tanahnya, mata sesilia berukuran kecil dan ditutupi kulit yang melindunginya dimana hal ini membuat salah pengertian bahwa sesilia buta. Hal ini tidak mesti benar, meskipun penglihatannya terbatas pada persepsi gelap-terang sederhana. Semua sesilia memiliki sepasang tentakel yang berada di anatra mata dan lubang hidung. tentakel ini mungkin digunakan untuk kemampuan penciuman kedua, selain indra penciuman normal di hidungnya.[1]
Kecuali spesies tak berparu-paru Atretochoana eiselti yang hanya diketahui dari dua spesimen yang dikumpulkan di Amerika Selatan, semua sesilia mempunyai paru-paru, tetapi juga menggunakan kulit dan mulutnya, untuk untuk menyerap oksigen. Seringkali paru-paru kiri lebih kecil daripada paru-paru kanan, suatu adapatsi kepada bentuk tubuh yang juga ditemukan pada ular.
Penyebaran
Sesilia ditemukan pada kebanyakan wilayah tropis di Asia tenggara, Afrika, kepulauan Seychelles dan Amerika Selatan, kecuali daerah kering dan pegunungan tinggi. Di Amerika Selatan penyeebaran mereka juga meluas ke daerah sejuk di utara Argentina. Mereka dapat ditemukan ke selatan hingga sejauh Buenos Aires, saat mereka terbawa banjir sungai Parana jauh di utara. Tidak ada studi tentang mereka di Afrika tengah, tetapi sesilia mungkin ada di hutan tropis di sana. Sebaran paling utara adalah spesies Ichthyophis sikkimensis di India utara. Di Afrika, sesilia ditemukan dari Guinea Bissau (Geotrypetes) hingga Zambia Utara (Scolecomorphus). Di Asia Tenggara, penyebarannya tidak menyeberangi garis Wallace, mereka juga tidak ditemukan di Australia atau pulau-pulau di antaranya. Ichthyophis juga ditemukan di Cina Selatan dan Vietnam Utara. Mereka juga ditemukan di Selandia Baru.[6]
Menurut Djoko T. Iskandar dalam bukunya Amfibi Jawa dan Bali (1998), sesilia yang ditemukan di Indonesia tergolong ke dalam dua marga (genus). Ialah marga Caudacaecilia yang menyebar di Kalimantan dan Sumatra, dan marga Ichthyophis yang didapati di Kalimantan, Sumatra dan Jawa.[7]
Reproduksi
Sesilia merupakan satu-satunya ordo amfibi yang pembuahannya internal. Sesilia jantan memiliki organ mirip penis, disebut phallodeum, yang dimasukkan ke kloaka betina selama 2 sampai 3 jam. Sekitar 25% spesies sesilia ovipar (bertelur); telurnya itu dijaga oleh betina. Pada beberapa spesies, sesilia sudah bermetamorfosis saat menetas; yang lain menetas menjadi larva. Larvanya tidak sepenuhnya hidup di air, tetapi menghabiskan waktunya di tanah dekat air.[1]
75% spesies vivipar, yang artinya mereka melahirkan anak yang sudah berkembang. Janinnya diberi makan dalam tubuh betina dari sel-sel oviduk, yang mereka makan dengan gigi pemegang khusus.
Spesies Boulengerula taitanus yang bertelur memberi makan anaknya dengan mengembangkan lapisan luar kulit yang kaya akan lemak dan nutrisi yang dikuliti anaknya dengan gigi yang serupa. hal ini memungkinkan mereka tumbuh sepuluh kali lipat beratnya dalam seminggu. Kulit itu dimakan tiap tiga hari, waktu yang diperlukan lapisan baru untuk tumbuh, dan anak itu diamati hanya makan pada malam hari. Dulu anak muda itu dianggap hidup dari caiarn sekresi dari ibunya.[8]
Beberapa larva seperti larva Typhlonectes, lahir dengan insang luar yang besar yang hampir segera tanggal. Ichthyophis bertelur dan diketahui menunjukkan sifat merawat anak dengan ibu menjaga telur-telurnya hingga menetas.
Habitat dan Makanan
Sesilia menyukai tempat-tempat yang basah atau lembap. Tepi-tepi sungai atau parit, di bawah tumpukan batu, kayu atau serasah yang bertimbun; dan di dekat kolam atau rawa. Makanan sesilia tidak begitu diketahui, meskipun tampaknya terdiri atas serangga dan invertebrata yang ditemukan di habitat masing-masing spesies. Isi perut 14 spesimen Afrocaecilia taitana terdiri dari bahan organik dan tetumbuhan yang tak dapat ditentukan. Dimana sisa-sisa yang dapat dikenal paling banyak, yang ditemukan adalah kepala rayap.[9] Meski diperkirakan bahwa bahan organik tak tentu itu menunjukkan bahwa sesilia makan detritus, yang lain percaya bahwa ini merupakan sisa-sisa cacing tanah.
Makanannya berupa serangga, cacing dan ular kawat (Typhlops). Di dalam tangkaran, sesilia mau memakan lalat yang dimatikan atau yang dilumpuhkan dan ditaburkan ke dalam kandangnya.
Nama
Nama sesilia berasal dari bahasa Latincaecus = buta, merujuk pada matanya yang kecil atau tidak ada. Nama itu berasal dari nama taksonomis dari spesies pertaa yangdideskripsikan Carolus Linnaeus, yang diberi nama Caecilia tentaculata. Nama taksonomis ordo ini berasal dari bahasa Yunani γυμνος (gymnos, telanjang) dan οφις (ophis, ular), karena mulanya sesilia dianggap berkerabat dengan ular.
Taksonomi
Secara taksonomis sesilia dibagi menjadi 6 familia. Jumlah spesies adalah rata-rata dan banyak dari spesies ini diidentifikasi hanya berdasarkan satu spesimen. Hampir pasti bahwa tidak semua spesies telah dideskripsikan, dan bahwa beberapa spesies yang dideskripsikan di bawah sebagai spesies berbeda mungkin dipadukan menjadi satu spesies pada pengklasifikasian ulang nanti.
Sesilia Umum (Caeciliidae) - 26 genera, 99 spesies
Dari tiga jenis sesilia yang pernah dilaporkan dari Jawa, yakni Ichthyophis hypocyaneus Boie (1827), I. javanicus Taylor (1960) dan I. bernisi Salvador (1975), Iskandar (1998) menyebutkan bahwa hanya I. hypocyaneus yang meyakinkan, dan dianggap sebagai satu-satunya jenis sesilia di Jawa.
Evolusi
Sedikit yang diketahui tentang sejarah evolusi sesilia, yang hampir tidak meninggalkan catatan fosil. Yang diperkirakan dari sedikit fosil adalah bahwa mereka hanya sedikit berubah selama jutaan tahun. Fosil paling awal yang diketahui berasal dari periode Jurasik. Genus primitif ini, Eocaecilia, memiliki kaki kecil dan mata yang berkembang baik.
^Elisabeth N. Ferroni Schwartz, Carlos A. Schwartz, Antonio Sebben (1998). "Occurrence of hemolytic activity in the skin secretion of the caecilian Siphonops paulensis". Natural Toxins. 6 (5): 179–182. doi:10.1002/(SICI)1522-7189(199809/10)6:5<179::AID-NT20>3.0.CO;2-M.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Piper, Ross (2007), Extraordinary Animals: An Encyclopedia of Curious and Unusual Animals, Greenwood Press.
^Iskandar, Djoko T (1998). Amfibi Jawa dan Bali. Bogor, Indonesia: Puslitbang Biologi - LIPI. ISBN9795790153.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
^Kupfer, Alex;Muller, Hendrik;Antoniazzi, Marta M.;Jared, Carlos;Greven, Hartmut; Nussbaum, Ronald A.;Wilkinson, Mark (2006). "Parental investment by skin feeding in a caecilian amphibian". Nature. 440issue=7086: 926–929. doi:10.1038/nature04403.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Hebrard, J.J. (1992). "Notes on the habitat and diet of Afrocaecilia taitana". J. Herpetol. 26: 513–515. doi:10.2307/1565136.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
San Mauro, Diego (2004). "Phylogeny of caecilian amphibians (Gymnophiona) based on complete mitochondrial genomes and nuclear RAG1". Molecular Phylogenetics and Evolution. 33: 413–427. doi:10.1016/j.ympev.2004.05.014.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan); Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)