Serat katuranggan kucing (ꦱꦼꦫꦠ꧀ꦏꦠꦸꦫꦁꦒꦤ꧀ꦏꦸꦕꦶꦁ, dapat diterjemahkan sebagai "risalah macam-macam kucing") adalah sebuah teks sastra Jawa berbentuk tembang yang membahas jenis dan rupa kucing. Risalah dengan isi serupa dapat ditemukan dalam sejumlah naskah dengan judul yang berbeda-beda, tetapi utamanya selalu berisi pemaparan mengenai jenis-jenis kucing berdasarkan rupanya dan akibat baik-buruknya bagi manusia. Pembagian ini, meski bersifat taksonomis, tidaklah terlalu spesifik dan umumnya longgar, sehingga berbagai versi dapat memaparkan deskripsi yang sedikit berbeda-beda antar satu sama lainnya.
Genre
Katuranggan adalah salah satu genre teks sastra Jawa yang bertujuan untuk menjabarkan watak suatu benda. Istilah ini berasal dari kata turangga, bahasa Jawa halus untuk "kuda", karena pada awalnya istilah ini digunakan untuk teks yang menjabarkan watak, jenis, dan fisiognomi kuda sebagai tunggangan maupun penarik pedati.[1][2] Pada perkembangannya, istilah ini kemudian dipakai juga untuk teks yang menjabarkan subjek selain kuda, seperti katuranggan perkutut, katuranggan wanita, dan katuranggan kucing.[3][4] Terdapat pula pandangan yang menjabarkan istilah katuranggan sebagai gabungan dari kata katur yang dapat berarti "pemberitahuan" dan angga yang berarti "tubuh", sehingga gabungan kedua istilah tersebut kurang lebih bermakna "pemberitahuan (mengenai jenis-jenis) tubuh."[3] Tulisan dalam genre ini kadang juga dapat ditemukan dengan istilah ngalamat yang bermakna "pertanda."[5]
Isi
Isi dari katuranggan kucing umumnya disusun dalam bentuk bait puisi, hal ini sejalan dengan kecendrungan sastra Jawa tradisional yang sebagian besar teksnya dirancang untuk dilantunkan dalam bentuk tembang.[6] Tiap bait (disebut juga pada) menguraikan satu jenis kucing yang uraiannya meliputi ciri fisik, nama jenis, dan pengaruh baik-buruknya bagi manusia.[7] Ciri fisik tiap jenis kucing hanya dijelaskan secara singkat dan tidak pernah disertai dengan ilustrasi, sehingga gambaran tepat dari tiap jenis kucing bergantung pada bayangan pembaca. Pengaruh dari tiap jenis umumnya juga tidak diurai lebih jauh dari "baik" atau "buruk".
Naskah katuranggan kucing dapat ditemukan beredar di masyarakat Jawa pra-kemerdekaan dalam bentuk salinan tulis tangan maupun buku cetak, namun terdapat sejumlah variasi isi dan judul karena tidak adanya satu versi otoriter yang menjadi rujukan semua salinan. Semisal, Kraton Yogyakarta menyimpan naskah dengan judul Serat Ngalamating Kucing [jv] (ꦱꦼꦫꦠ꧀ꦔꦭꦩꦠ꧀ꦠꦶꦁꦏꦸꦕꦶꦁ)[7][8] sementara versi cetak dari Semarang menggunakan judul Serat Katuranggan ning Kutcing (ꦱꦼꦫꦠ꧀ꦏꦠꦸꦫꦁꦒꦤ꧀ꦤꦶꦁꦏꦸꦠ꧀ꦕꦶꦁ),[9] keduanya memiliki isi yang sebagian besar sama dengan sedikit perbedaan dari segi pengejaan dan susunan.
Sebagai contoh, Serat Katuranggan ning Kutcing yang diterbitkan di Semarang pada tahun 1871 M,[9] menuturkan salah satu kucing yang dianggap baik sebagaimana berikut:
Lamun sira ngingu kucing, awaké ireng sadaya, lambung kiwa tèmbong putih, leksan nira prayoga, aran wulan krahinan, tinekanan sasedyan nira ipun, yèn buṇḍel langkung utama
Kucing yang berwarna hitam semua tetapi perut sebelah kirinya terdapat tèmbong (bercak) putih disebut wulan krahinan. Kucing ini membawa kebaikan berupa tercapainya semua keinginan. Lebih baik jika ekornya buṇḍel (membulat).
Salah satu kucing yang dianggap kurang baik dituturkan sebagaimana berikut:[9]
Aja sira ngingu kucing, lurik ireng buntut panjang, punika awon lamaté, sekelan sring tukaran, aran ḍaḍang sungkawa, pan adoh rijeki nipun, yèn buṇḍel nora ngapa
Kucing dengan bulu lurik hitam berekor panjang jangan dipelihara. Kucing itu disebut ḍaḍang sungkawa. Kehidupanmu akan sering bertengkar dan jauh dari rizki. Apabila ekornya buṇḍel, maka tidak masalah.
Dari keseluruhan bait mengenai jenis kucing, pernyataan mengenai ekor yang membundel (tumpul atau pendek membulat) muncul dengan cukup konsisten: kucing buruk yang ekornya bundel dikatakan tidak akan membawa masalah, sementara kucing baik yang ekornya bundel akan semakin baik pengaruhnya.[7]
Di bagian akhir teks, umumnya juga terdapat pemaparan singkat mengenai tingkah laku kucing yang bertanda baik maupun buruk. Semisal dituturkan bahwa kucing yang tertidur di atas ikat kepala, kopiah, maupun pojok rumah merupakan pertanda baik. Sementara itu, kucing yang mengusap wajahnya "selayaknya orang menyembah" dianggap sebagai pertanda buruk.[7]
Karena teks katuranggan kucing tidak memiliki satu edisi otoriter, antar naskah bisa jadi tidak memiliki daftar jenis kucing yang sama persis. Misal, Serat Katuranggan ning Kutcing tidak menyebutkan jenis kucing udan mas dan sari kuning yang dituturkan dalam Serat Ngalamating Kucing.[7]
Teks serupa
Bali
Sastra Bali memiliki tradisi teks serupa yang disebut carcan kucing (ᬘᬃᬘᬦ᭄ᬓᬸᬘᬶᬂ) atau carcan miyong (ᬘᬃᬘᬦ᭄ᬫᬶᬬᭀᬂ).[10] Salah satu naskah lontarCarcan Kucing dalam koleksi Gedong Kirtya, Singaraja[11] memiliki isi yang garis besarnya sama dengan katuranggan kucing versi Jawa. Baik versi Jawa maupun Bali umumnya menyetujui akan pengaruh baik buruknya suatu jenis kucing, tetapi dengan pengejaan nama dan uraian ciri yang sedikit berbeda. Sebagai contoh, berikut adalah bait mengenai kucing yang sama dalam katuranggan Jawa dan carcan Bali:[9][11]
Sira ngulat ana kucing, kang mawa nyeng-unyengan, ing sirah tanapi ḍaḍané, datannapi gigir ira, iku rekaṭa sura, beciké kabéh, hamengku, aran kucing candra mawa
caṇḍra māwā, nga(ranya), méng ayu yenguyen, ring sirah, ring ḍaḍa, ring gigir, pa(lanya), ka ana ning surwa rahayu
Thailand
Sastra Thailand memiliki tradisi teks serupa yang sering kali disebut sebagai Tamra Maew (ตำราแมว, dibaca tam-raa-méw). Sebagaimana dalam tradisi Jawa dan Bali, tamra maeo memaparkan jenis-jenis kucing dalam bentuk bait-bait pendek yang ditulis dengan aksara Thai (aksara yang hanya digunakan untuk tulisan sekuler dalam masyarakat Thai pra-modern). Namun, berbeda dengan versi Jawa dan Bali, tamra maeo selalu disertai dengan ilustrasi kucing-kucing bersangkutan dalam gaya lukis tradisional Thai. Umumnya, tamra maeo menguraikan tujuh belas jenis kucing yang dianggap berpengaruh baik, kadang diikuti dengan enam jenis yang dianggap buruk.[12][13]
^ abSanjaya, Abda Lucky (2017-11). "Katurangganing Kutut"(PDF). Jurnal Ekspresi Seni. 19 (2): 112–208. ISSN1412-1662.Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Tanggal dan tahun (link)
Serat Katoerangganing Koetjing, diterbitkan oleh Percetakan GCT Van Dorp & Co di Semarang, tahun 1871. Pindaian Google Books dari koleksi Perpustakaan Nasional Belanda, No 859 B33.