Artikel ini membutuhkan penyuntingan lebih lanjut mengenai tata bahasa, gaya penulisan, hubungan antarparagraf, nada penulisan, atau ejaan. Anda dapat membantu untuk menyuntingnya.
Semur jengkol[1] adalah makanan yang sangat popular di kawasan kota Jakarta sehingga telah menyebar ke berbagai wilayah Indonesia. Dalam sistem pembuatan semur jengkol, hal yang perlu diperhatikan adalah ketepatan bumbu untuk menghasilkan rasa semur jengkol yang tepat dan menyatu dengan bahan-bahan bumbu.
Etimologi
Semur berasal dari bahasa Belanda yaitu kata "Smoor" yang artinya masakan yang telah direbus dengan tomat dan bawang secara perlahan-lahan. Kata "Smoor" dalam bahasa Belanda bisa juga diartikan braising atau teknik masak dengan cara merebus lama dengan api kecil hingga daging empuk. Maka semur jengkol adalah teknik masak dengan cara merebus lama dengan api yang kecil hingga jengkol menjadi empuk.
Kegemaran masyarakat Nusantara mengkonsumsi jengkol sudah terjadi sejak lama. Wakil Gubernur Hindia Belanda, Thomas Stamford Raffles, dalam The History of Java (1817), menyebutkan jengkol sebagai bahan makanan di daerah Jawa, selain tumbuhan petai dan komlandingan (lamtoro).
Karel Heyne, seorang ahli botani Belanda, juga menyebutkan jengkol dalam karyanya, De nuttige palnten van Nederlandsch Indie (1913), yang berisi tumbuh-tumbuhan yang banyak digunakan dan memiliki nilai komersial di Hindia Belanda. Di dalam buku yang kemudian diterbitkan Departemen Kehutanan dengan judul "Tumbuhan Berguna Indonesia" (1988), Karel Heyne menulis jengkol dengan tinggi hingga 26 meter tumbuh di bagian barat Nusantara, dibudidayakan penduduk di Pulau Jawa atau tumbuh liar di beberapa daerah. Jengkol bisa tumbuh baik di daerah dengan musim kemarau sedang sampai keras, tetapi tak tahan musim kemarau panjang. Ahli botani Jerman, Justus Karl Hasskarl, sebagaimana dikutip oleh Karel Heyne, mengemukakan bahwa menurut penilaian orang Eropa biji jengkol tidak enak rasanya, tapi penduduk Indonesia menyukai biji jengkol ini.
Seperti penulis lainnya, Justus Karl Hasskarl menyebutkan bahwa kesenangan mengkonsumsi jengkol bisa mengakibatkan bisul dan penyakit kajengkolan (susah dan sakit ketika buang air kecil).
Dokter dan ilmuwan dari Belanda, AG Vorderman, memberikan sebuah keterangan tentang jengkol: “Bijinya, disamping banyak karbohidrat (Zetmeel) mengandung juga minyak atsiri, jika orang makan biji jengkol ini dapat menyebabkan keracunan, dapat menyebabkan hyperaemie ginjal atau pendarahan ginjal dan dapat menyebabkan pengurangan atau penghentian keluarnya air seni serta kejang kandung kemih (Blaaskrampen)”.
Menurut AG Vorderman, di kota Bogor terdapat jenis jengkol bernama jengkol beweh. Jengkol beweh memiliki sifat yang merugikan di kota Bogor disebut jengkol sepi. “Jengkol beweh adalah biji yang telah tua yang ditanam dalam tanah selama 14 hari sampai mulai berkecambah,” kata Vorderman, sebagaimana dikutip Karel Heyne.
Menurut Karel Heyne, keterangan tersebut kurang tepat karena tujuan menanam biji jengkol yang sudah tua justru untuk mengurangi sifat-sifat biji jengkol yang merugikan. Sifat merugikan dari biji jengkol juga dapat berkurang dengan cara diolah menjadi keripik jengkol. Caranya: biji jengkol yang sudah tua direbus, dipukul palu hingga tipis, kemudian dijemur di bawah sinar matahari. Setelah itu digoreng dengan sedikit tambahan garam. “Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa cara tersebut akan mengurangi bahaya karena minyak atsirinya akan menguap sebagai akibat dari cara pengolahan ini”, tulis Karel Heyne.
Olahan dari jengkol yang paling populer di suku Betawi adalah semur jengkol. Caranya biasanya sama seperti membuat keripik jengkol. Mengenai mengapa semur jengkol akhirnya menjadi kuliner khas suku Betawi. Karena dahulu, hampir di setiap kebun rumah penduduk Betawi pasti ditemukan jengkol. Jengkol menjadi bahan panganan lezat yang berharga murah, walaupun sekarang jengkol harganya sudah naik. Dengan demikian orang-orang Betawi lebih suka menggunakan jengkol, tahu, tempe sebagai bahan dasar semur daripada daging karena bahan-bahan tersebut lebih murah. Semur Jengkol kemudian melekat menjadi tradisi khas suku Betawi dan menjadi menu favorit setiap keluarga suku Betawi khususnya di Kota Jakarta.