Sapi bali (nama ilmiah: Bos javanicus domesticus) adalah jenis sapi peliharaan yang merupakan bentuk domestik dari banteng (Bos javanicus). Sapi bali dimanfaatkan sebagai sapi potong untuk diambil dagingnya dan sapi pekerja untuk membajak sawah. Mereka diperkirakan berasal dari Pulau Bali.
Sejarah dan distribusi
Sapi bali merupakan salah satu dari sedikit spesies sapi yang tidak berasal dari urus yang telah punah.[1] Mereka berasal dari banteng, yang domestikasinya terjadi sekitar 3500 SM.[2]
Sapi bali telah tersebar ke Timor Timur (sekarang Negara Timor Leste), Jawa, Malaysia, dan Australia sebagai hewan ternak dan jumlahnya sekitar seperempat dari total populasi sapi di Indonesia.[3] Di pulau-pulau timur Indonesia, hingga empat per lima dari keseluruhan sapi merupakan sapi bali.[4] Di Wilayah Utara Australia, mereka melarikan diri dari penangkaran dan berkeliaran dalam kawanan besar yang merusak tanaman.
Karakteristik
Sapi bali memiliki punuk, berwarna putih di pantat, kaki bagian bawah, dan di bawah perut.[4][5] Hewan betina berwarna kuning kemerahan, sedangkan jantan berwarna cokelat kemerahan yang kemudian berubah menjadi cokelat tua seiring dengan bertambahnya umur mereka. Dibandingkan dengan banteng, sapi bali berukuran lebih kecil, menunjukkan dimorfisme seksual yang kurang jelas, memiliki tanduk yang lebih kecil, dan wither (tonjolan di sekitar tulang belikat) yang kurang berkembang.[5] Berat badan hewan jantan rata-rata 335 hingga 363 kilogram, sedangkan betina rata-rata dari 211 kilogram sampai 242 kilogram.[4] Sapi bali terkenal karena kemampuannya yang luar biasa untuk tumbuh meskipun mengonsumsi pakan berkualitas rendah dan kesuburan reproduksinya yang tinggi.[2]
Peternakan
Seperti rusa, temperamen sapi bali pada umumnya adalah pemalu sehingga cocok dimanfaatkan untuk membajak sawah, tetapi kuku mereka terlalu lunak untuk menarik barang di jalan beraspal.[2][6] Meskipun demikian, mekanisasi dan urbanisasi membuat ternak sudah tidak relevan lagi digunakan sebagai hewan penarik barang.[7]
Daging dari sapi bali muda terkenal sangat empuk.[2] Masalah yang berhubungan dengan hewan ternak ini di antaranya bobot badan yang rendah saat lahir dan disapih, tingkat kematian anak sapi yang tinggi, tingkat pertumbuhan yang lambat, serta produksi susu yang rendah.[8]
Inseminasi buatan pertama kali dilakukan pada sapi bali di Sulawesi Selatan dan Pulau Timor pada tahun 1975 dan 1976. Metode ini kemudian dilakukan di Bali sejak tahun 1980-an dengan semen dari Balai Inseminasi Buatan Singosari. Semen sapi bali telah diproduksi dan didistribusikan oleh Balai Inseminasi Buatan Provinsi Bali sejak 2001.[8]
Penyakit
Sapi bali domestik terkenal karena ketahanannya yang tinggi terhadap sebagian besar penyakit. Namun, mereka rentan terhadap demam kataral malignan.[2] Sapi bali juga sangat rentan terhadap penyakit Jembrana,[8] yang pertama kali dideskripsikan pada mereka pada tahun 1964.[9]
^Lisson, Shaun; MacLeod, Neil; McDonald, Cam; Corfield, Jeff; Pengelly, Bruce; Wirajaswadi, Lalu; Rahman, Rahmat; Bahar, Syamsu; Padjung, Rusnadi (2010-09-01). "A participatory, farming systems approach to improving Bali cattle production in the smallholder crop–livestock systems of Eastern Indonesia". Agricultural Systems. 103 (7): 486–497. doi:10.1016/j.agsy.2010.05.002. ISSN0308-521X.
^ ab"Bali cattle". My Daily Cow. Kranky Kids. 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 March 2019. Diakses tanggal 5 June 2019.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)