Daerah Kepangeranan Sampanahan (sebelum 1841)[1][2][3]) atau Kerajaan Kepangeranan Sampanahan (1841-1845),[4] setelah bergabung dengan Hindia Belanda sejak 10 April1845 disebut Landschap Sampanahan[5] adalah suatu wilayah pemerintahan swapraja di bawah Hindia Belanda sejak tahun 1841 yang dikepalai seorang bumiputera bagian dari Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda di bawah kekuasaan Asisten Residen GH Dahmen yang berkedudukan di Samarinda. Pemerintah swapraja daerah tersebut dikuasakan kepada seorang kepala bumiputera adalah Pangeran Mangku Bumi (Gusti Ali). Wilayah Sampanahan sebelumnya adalah divisi dari Kerajaan Tanah Bumbu dan sempat pula diduduki Kesultanan Pasir. Wilayah swapraja Sampanahan meliputi Daerah Aliran Sungai Sampanahan, Kota Baru, Kalimantan Selatan. Sekarang wilayah kerajaan ini menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten Kotabaru yaitu kecamatan Sampanahan.
Tahun 1888
Poeloe Laut sekarang [sejak tahun 1888] secara administratif dihitung sebagai milik Tanah Boemboelands, seperti Batoe Litjin, Pagatan dengan Koesan dan Sebamban; Namun pada awalnya, Tanah Bumbu ini hanya berarti lanskap di sekitar Teluk Kloempang (Tjantoeng, Boentar Laut dan Bangkalaän serta di sekitar Teluk Pamoekan, Sampanahan, Menoengoel dan Tjengal).[6]
Dari perbatasan barat daya dengan Tanah Laut (distrik Satoei) sekarang (sejak tahun 1888) dihitung di bawah Tanah Bumbu:
Bentang alam ini, bersama dengan kerajaan Pasir, membentuk divisi terpisah yang disebut: Pasir dan Tanah Boembuland di bawah kendali seorang pengendali yang berbasis di Kota Baroe di Poeloe Laut.
Batas antara negara-negara ini terutama ditentukan oleh daerah tangkapan air di sungai-sungai utama.
Jadi Pagatan dan Kusan menutupi daerah tangkapan air dari sungai dengan nama itu, dan lebih jauh lagi ke wilayah pantai selatan sampai Tanah Laut, dengan pengecualian jalur sempit milik Sebamban.
Bentang alam Batoe Litjin berisi cekungan Sungai Batoe Litjin, sehingga garis pemisah air antara Pagatan dan Koesan dan di utara dengan Sungai Tjantung membentuk batas; Sedangkan di sisi Selat Laut garis batas ini mencapai selat tersebut di sebelah selatan sepanjang sungai kecil Sekoempang dan di sebelah utara sepanjang sungai Saronga.
Tjantoeng disebut daerah Sungai Tjantoeng dan Boentar Laut adalah daerah utara Dewa, bersama-sama dikendalikan oleh satu kepala yang terletak di Tjantoeng.
Bangkalaän berisi daerah tangkapan air sungai Bangkalaän yang menghubungkan di utara dengan daerah tangkapan sungai Sampanahan, membentuk lanskap Sampanahan.
Di sebelah utara Sampanahan terhampar pemandangan Menoengoel, kembali meliputi wilayah Sungai Menoengal, dan terakhir Tjengal yang paling utara, yang selain merupakan daerah tangkapan air Sungai Tjengal yang mengalir ke Teluk Pamoekan. masih memanjang di sepanjang pantai dari Tandjong Merah (seberang Samalantakan di pintu masuk Teluk Pamukan) sampai ke Tandjong Ares (Tanjung Aru), di mana perbatasan dengan Kerajaan Pasir dimulai.
Tiga landschap Bangkalaan, Manunggul dan Tjengal berada di bawah satu kepala, yang biasanya berada di Tanjung Batu di Teluk Kelumpang.
Kampung-kampung
Sampanahan berbatasan dengan Manunggul di utara, yang dipisahkan oleh Sungai Tengarong, di sebelah barat dengan Banjarmasin, di sebelah selatan dengan Bangkalaan dan Teluk Kelumpang, di sebelah timur dengan Selat Makassar dan Teluk Pamukan.
Luasnya adalah 279 persegi geografi. mil.
Sama seperti di Bangkalaan, tidak ada yang ditemukan di sini kecuali hutan belantara.
Sangat sedikit tanah yang telah ditanami dan populasinya sangat kecil dan miskin secara proporsional dengan ukuran negara.
Dalam tahun 1851 Pangeran Mangkoe memerintah tanah dan menemukan kabutnya, kecuali dalam hasil tebing sarang burung walet, yang ia berikan sepertiga untuk putranya, dalam perdagangan rendah yang ia lakukan dengan rakyatnya, pajak-pajak dari orang-orang Dayak, tol pada rotan yang diekspor dan biaya jangkar kapal yang berangkat. Semua ini diatur seperti halnya di Tjantoeng. Namun perdagangan tidak signifikan, dan raja dan rakyatnya berada dalam kemiskinan besar. Selain barang-barang ekspor, yang juga ditemukan di Tjantung dan Bangkalaan, tanah yang dicuci mengandung sejumlah besar emas, yang, karena kurangnya tangan, mengandung sangat sedikit.
Kampung-kampung di Kerajaan Sampanahan:[7]
Pangeran Prabu/Sultan Sepuh bin Pangeran Dipati/Daeng Malewa (1780-1800) sebagai Raja Bangkalaan (meliputi Bangkalaan, Sampanahan, Manunggul dan Cengal). Sultan Sepuh sebenarnya anak selir. Ibu tirinya, Ratu Mas adalah raja Tanah Bumbu (keturunan Pangeran Dipati Tuha). Saudara tirinya, Ratu Intan puteri Ratu Mas menjadi ratu negeri Cantung dan Batulicin. Saudaranya yang lain, Pangeran Layah menjadi Raja Buntar-Laut. Sultan Sepuh memiliki anak: Pangeran Nata (Ratu Agung), Pangeran Seria, Pangeran Muda (Gusti Kamir), Gusti Mas Alim, Gusti Besar, Gusti Lanjong, Gusti Alif, Gusti Redja dan Gusti Ali (Pangeran Mangku Prabu Jaya/Gusti Bajau).
Pangeran Nata (Ratu Agung) bin Pangeran Prabu (1800-1820), sebagai Raja Bangkalaan, Sampanahan dan Manunggul. Pada saat itu Cengal dimiliki oleh Pangeran Seria sebagai sub-raja.
Pangeran Seria bin Pangeran Prabu (1800-?), semula sebagai Raja Cengal, kemudian menjadi raja utama Tanah Bumbu (Raja Cengal, Bangkalaan, Sampanahan, Manunggul) menggantikan Pangeran Nata. Saudarinya, Gusti Besar mewarisi Bangkalaan, Sampanahan, Manunggul dari almarhum Pangeran Nata sebagai sub-raja.
Raja Gusti Besar binti Pangeran Prabu (18xx-1825) sebagai Raja Bangkalaan, Sampanahan, Manunggul, Cengal, Cantung, Batulicin. Negeri Cantung dan Batulicin diwarisinya dari bibinya Ratu Intan (ratu Cantung dan Batulicin). Gusti Besar menikah dengan Aji Raden (Putra dari Pangeran Prabu bin Aji Duwo yang bergelar Panembahan Adam) dari Kesultanan Pasir. Kemudian Sultan Sulaiman II dari Pasir meng-aneksasi Cengal, Manunggul, Bangkalaan, dan Cantung, tetapi kemudian dapat direbut kembali oleh Raja Aji Jawi.
Kepala Cengal, Manunggul, Sampanahan yang diangkat oleh Sultan Pasir.
Raja Aji Jawi/Aji Jawa (1825-1841). Raja Aji Jawi putera dari Raja Gusti Besar. Bulan Juli 1825, Raja Aji Jawi mengadakan kontrak dengan Belanda yang menjadikan Tanah Bumbu sebagai negara dependen Hindia Belanda. Aji Jawi berhasil menyatukan kembali 6 (enam)negeri dari Tanah Bumbu yang sebelumnya di aneksasi/dikuasai kerajaan pasir. Raja Aji Jawi merupakan Raja Bangkalaan, Sampanahan, Manunggul, Cengal, Cantung dan Buntar Laut. Pada mulanya Cengal adalah daerah pertama yang berhasil direbut kembali, kemudian Manunggul dan Sampanahan setelah. Cantung diperolehnya ketika ia menikahi Gusti Katapi puteri Gusti Muso, penguasa Cantung (sub-raja) sebelumnya yang ditunjuk ibunya. Ia menjadi Raja Bangkalaan (1840-1841) karena menikahi Gusti Kamil binti Pangeran Muda (Gusti Kamir). Pangeran Muda adalah penguasa Bangkalaan sebagai sub-Raja yang ditunjuk Raja Gusti Besar. Belakangan Sampanahan diserahkan kepada saudara dari Raja Gusti Besar yaitu Gusti Ali sebagai sub-raja sekitar 1840 sebagai tanda terima kasih.
Periode negara Sampanahan.
Pangeran Mangku (Gusti Ali Akbar) sebagai Raja Sampanahan (1840-186x). Tahun 1840 mula-mulanya Gusti Ali hanya sebagai sub-Raja di bawah keponakannya, Raja Aji Jawi. Dengan mangkatnya Raja Aji Jawi (1841), Gusti Ali menjadi Raja Sampanahan sepenuhnya dengan membuat kontrak politik dengan Hindia Belanda dan ia memerintah sebagai Hoofd van Sampanahan (Raja Sampanahan) mulai tanggal 10 April 1845.[9] Ia masih menjabat raja Sampanahan dalam tahun 1861. Pangeran Mangku memiliki pewaris laki-laki bernama Gusti Hina.[10]
Wilayah Landschap Sampanahan sekarang lebih kurang sama dengan gabungan wilayah kecamatan no. 1 (sebagian), 4, 5, 6, 7, 8 sesuai dengan daftar dan nomor peta adalah sebagai berikut:
^Philosophical magazine, Philosophical magazine (1799). Philosophical magazine. Taylor & Francis.Parameter |alng= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Sebelum tahun 1841 negeri Sampanahan menjadi bawahan Pangeran (Raja) Aji Jawa, namun setelah mangkatnya Pangeran (Raja) Aji Jawa, negeri Sampanahan menjadi Kerajaan Kepangeran yang mandiri, namun bukanlah sebuah Kerajaan Kesultanan.