Salim Kancil
Salim Kancil (22 April 1969 – 26 September 2015) adalah warga Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Lumajang yang menjadi korban pembunuhan menyusul protesnya bersama beberapa kawannya terhadap penambangan pasir di desa setempat.[1][2][3][4][5] Latar belakangSebelum Salim Kancil dibungkam dengan dibunuh, dia dikenal sebagai sosok yang keras dan tak kenal menyerah. Perjuangannya baru berhenti saat dia dibunuh oleh sekelompok orang di Balai Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, pada Sabtu, 26 September 2015. Aksi Salim sebenarnya sudah dihalangi termasuk oleh istrinya sendiri, tetapi dia bersikeras menentang penambangan pasir yang dikhawatirkan merusak kelestarian alam. Sehari-hari, Salim adalah petani yang sekaligus menjadi pemilik lahan sekitar lokasi penambangan di pesisir pantai selatan Watu Pecak. Hingga pada suatu hari, Salim mendapati 8 petak lahannya hancur akibat tambang pasir ilegal. Salim menduga, tambang tersebut diduga dikelola oleh tim 12, yang merupakan mantan tim kampanye kepala desa mereka, Haryono, yang di kemudian hari terseret dalam perkara ini. Salim yang menjadi tulang punggung keluarga kebingungan, lantaran lahan pertanian sebagai mata pencaharian sudah tidak dapat diharapkan kembali untuk menghidupi keluarganya, sehingga penghasilannya semakin menurun drastis. Untuk memenuhi kebutuhan, akhirnya Salim memutuskan beralih profesi menjadi nelayan. Sadar bahwa ia tak mungkin bertahan hanya dengan menjadi nelayan dadakan, Salim pun mulai mengunjungi rumah teman-temannya di malam hari dan berhasil merekrut lima orang warga. Dari situlah perlawanan dimulai secara diam-diam karena khawatir aktivitas mereka diketahui oleh Tim 12. Salim mulai aktif, dan rajin surat-menyurat dengan pihak keamanan, pemerintah kabupaten, provinsi, sampai ke Jakarta. Tujuannya bulat, dirinya memperjuangan hak hidup sebagai warga negara Indonesia, apalagi apa yang menimpa dirinya juga sama dengan warga pemilih lahan di lokasi tambang ilegal. Perlawanan Salim yang semakin nyata membuat penambang ilegal yang ‘diamankan' oleh tim 12 mulai gusar. Ancaman dan intimidasi pada Salim pun mulai berdatangan. Bahkan di pertengahan bulan Ramadhan tahun itu, salah satu pimpinan mantan tim 12 yang juga Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan, Desir, mendatangi rumah Salim. Khawatir dengan keselematan suaminya, istrinya kemudian meminta Salim untuk berhenti untuk memperjuangkan lahan pertanian yang dirusak tambang. Namun, semangat memperjuangkan untuk hak hidup dan menolak tambang justru semakin membesar. Kemudian Salim Kancil melaporkan intimidasi dan ancaman pada petani yang menolak tambang ke Kepolisian Sektor Pasirian, yang kemudian diteruskan ke Kepolisian Resor Lumajang, tetapi tidak ada tindakan. Kronologi
ReaksiSetelah peristiwa itu, banyak gerakan solidaritas yang mengatasnamakan keadilan untuk Salim Kancil, melalui petisi, gerakan massa, dan penyebaran poster melalui berbagai media, menuntut diadilinya orang-orang yang harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Salim Kancil. [6][7] Putusan hukumDua orang pelaku utama pembunuhan Salim Kancil telah divonis bersalah dan hukuman 20 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis 23 Juni 2016. Mantan Kepala Desa Selok Awar-awar di kota Lumajang, Jatim, Hariyono dan Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) setempat, Mat Dasir dinyatakan terbukti bersalah melakukan pembunuhan secara berencana. Atas putusan tersebut, tim kuasa hukum dari Salim Kancil menilai ada upaya untuk menyederhanakan kasus pembunuhan terhadap Salim dan penganiayaan terhadap rekannya, Tosan. Hal ini dibuktikan melalui dakwaan yang dikenakan terhadap para tersangka hanya dijerat dengan pembunuhan biasa, bukan pembunuhan berencana. Padahal pembunuhan terhadap Salim dan penganiayaan terhadap Tosan harus dilihat sebagai rangkaian panjang perlawanan keduanya terhadap praktik mafia tambang pasir ilegal di Lumajang. Selain itu, jika dilihat dari jumlah terdakwa yang ditetapkan oleh Polda Jawa Timur hanya 35 orang yang dibagi dalam 15 berkas perkara sidang. Pihak tim kuasa hukum juga sudah melaporkan keterlibatan 13 orang yang masih bebas kepada Polda Jawa Timur bahkan ke Mabes Polri.[8][9] Lihat pulaReferensi
|