Salajo, Bontonompo Selatan, Gowa

Salajo
Negara Indonesia
ProvinsiSulawesi Selatan
KabupatenGowa
KecamatanBontonompo Selatan
Kode pos
...
Kode Kemendagri73.06.16.2007 Edit nilai pada Wikidata
Luas... km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²
Peta
PetaKoordinat: 5°26′49.92″S 119°24′47.74″E / 5.4472000°S 119.4132611°E / -5.4472000; 119.4132611


Salajo adalah desa di kecamatan Bontonompo Selatan, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia.

Sejarah

Pemukiman orang-orang Salajo, Bontonompo Selatan adalah migrasi orang Minangkabau pada masa Raja Gowa yang ke-10 Karaeng Tunipallangga (1546- 1565) yang berasal dari Salayo, Kubung, Solok, Sumatera Barat. Kedatangan mereka ini diibawa oleh Anakoda Bonang bersama orang-orang Melayu seperti Pahang, Champa, Siam, Pattani dan Minangkabau. Era Reformasi

ra u di Indonesia telah melahirkan sebuah perubahan besar pada desain administrative dan kepemerintahan wilayah, selain pada sisi politik dan keuangan, perubahan itu berdampak luas juga pada eksistensi desa. Pemekaran daerah merupakan dinamika signifikan yang berlangsung pada fase Indonesia mengubah tatanan pengelolaan wilayah dari ciri sentralistik menjadi desentralistik. Dalam periode 1999-2008 desa dimekarkan dari 69.957 buah menjadi 75.378 buah dan pada awal 2011 bertambah lagi menjadi 78.198 unit.

Dinamika pemekaran desa

Dinamika pemekaran desa di Indonesia yang mengubah tatanan pengelolaan wilayah dan pemerintahan juga terjadi di Desa Jipang yang melahirkan Desa Salajo. Dimana pada tahun 1966, setelah terbentuknya Kecamatan Bontonompo terjadi pertauran pemerintah dimana adanya pembentukan Lingkungan Gabungan antara Daerah Jipang, Salajo, Manjappai, Bate Gulung, dan daerah lain di Kecamatan Bontonompo yang pusat pemerintahannya berada di Daerah Jipang. Kemudian pada tahun 1989 terjadi pemekaran desa sehingga pada tahun tersebut Lingkungan Gabungan ini akhirnya pecah dan memisahkan diri masing-masing, dimana Salajo dan Manjappai berubah status menjadi Desa Persiapan dan pada tahun 1993 Salajo kembali berganti status menjadi Desa Definitif.

Pembentukan sebagai desa definitif

Luas wilayah yang menjadi cakupan Desa Jipang menjadi alasan yang cukup kuat untuk membentuk Desa Salajo menjadi desa definitif. Wilayah Desa Jipang yang terlalu luas secara tidak langsung memberikan dampak yang kurang efektif dalam menentukan program-program pembangunan desa serta besaran anggaran-anggaran yang dialokasikan untuk Desa Jipang kurang memberikan kontribusi bagi masyarakat mengingat luasnya jangkauan wilayah Desa Jipang yang harus dibenahi.

Berdasarkan acuan, proses dan implementasi program pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah melahirkan paradigma pembangunan yang dianggap kurang memperlihatkan aspirasi masyarakat. Paradigma pembangunan ini akan berdampak pada implementasi proyek yang salah sasaran, tidak tepat guna dan ketidak tepatan antara perencanaan dan realisasi maupun sasaran yang hendak dicapai.

Sudah terdapat banyak kasus dan pengalaman yang kita temui, baik ditingkat pusat maupun daerah yang menggambarkan tentang ketimpangan-ketimpangan dari berbagai program dan proyek dalam pembangunan selama ini. Masyarakat yang merupakan salah satu sasaran utama dalam pembangunan, nyatanya tidak merasakan manfaat atas program pembangunan yang digalakkan. Dengan demikian maka pembangunan yang dilakukan selama belum memberikan hasil yang optimal sebagaimana yang diharapkan. Hal ini dengan mudah dipahami sebagai akibat dari satu bentuk paradigma pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat secara aktif baik dari segi perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan sehingga aspirasi dan kepentingan mereka tidak terwakilkan.

Kurang bijaksana jika diabaikan beberapa daerah atau wilayah, khususnya ditingkat pedesaan yang cukup potensial untuk menyokong program pembangunan tertentu, baik dari sumber daya alam (SDA) maupun kualitas sumber daya manusia (SDM). Potensi sumber daya alam misalnya, masih banyak yang bisa dikelola dan dikembangkan sehingga dapat bermanfaat bagi kesejahteraan hidup masyarakat. Banyak jenis tanaman atau pohon yang punya nilai ekonomis tinggi adalah salah satu potensi di daerah pedesaan yang dapat dikembangkan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi. Dalam konteks ini mereka hanyalah membutuhkan sentuhan-sentuhan sedikit saja dari pihak pengambil kebijakan dengan memberikan modal usaha atau bantuan teknologi sederhana, misalnya dengan begitu masyarakat sudah bisa mengembangkannya secara sendiri, tanpa intervensi lebih jauh lagi dari pihak luar.

Demikian halnya dari segi sumber daya manusia, masyarakat di wilayah pedesaan memiliki keterampilan tekhnis pada pekerjaan yang digelutinya secara turun temurun yang terkait dengan pertanian, perkebunan, perikanan, kerajinan dan pertukangan serta sektor informal lain di wilayahnya. Tradisi gotong royong, kebersamaan dan solidaritas yang masih kental di pedesaan juga merupakan satu kekuatan dan potensi utama di pedesaan yang dapat dimanfaatkan untuk program-program pembangunan, khususnya untuk pemberdayaan dan pengembangan diri mereka sendiri yang mengarah pada kesejahteraan hidupnya, baik dari segi ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.

Beranjak dari asumsi-asumsi diatas, maka perlu dirancang dan diwujudkan suatu model pembangunan masyarakat desa yang lebih partisipatif, sehingga secara komprehensif pembangunan tersebut mampu memberi solusi dan jawaban atas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Walhasil dibutuhkan suatu model intensif program yang terpadu, terencana, terintegrasi dan berkesinambungan. Untuk itu diperlukan adanya wilayah pedesaan yang dapat dijadikan tempat pengembangan model pembangunan ini. Hal ini harus dilakukan melalui suatu studi secara intensif dengan metode partisipatif, sehingga memungkinkan terkajinya secara rinci, mendetail dan menyeluruh baik masalah maupun potensi yang tersedia di wilayah/desa sasaran.

Pranala luar