SOCFIN GroupSOCFIN Group, atau juga dikenal sebagai Société Financière des Caoutchoucs, adalah sebuah perusahaan induk yang melantai di Luxembourg Stock Exchange. Perusahaan ini menjadi pemegang saham secara langsung maupun tidak langsung pada perusahaan perkebunan kelapa sawit dan karet, serta perusahaan pemasaran benih kelapa sawit di Asia dan Afrika. Mayoritas saham perusahaan ini dipegang oleh Bollore Group asal Prancis dan keluarga Hubert Fabri asal Luxembourg.[1] Perusahaan ini beroperasi di berbagai negara melalui anak usahanya yang menjalin joint venture dengan pemerintah dan pengusaha setempat. Pada tahun 2018, perusahaan ini menghasilkan pendapatan dari sekitar 130.000 hektar kebun kelapa sawit dan 64.000 hektar kebun karet.[1] Di Afrika, perusahaan ini mengelola aset di Nigeria, Ghana, Sierra Leone, Kamerun, dan delapan negara lain, sementara di Asia, perusahaan ini terutama beroperasi di Indonesia dan Kamboja. SejarahSocfin memulai sejarahnya saat agronom asal Belgia, Adrien Hallet, mulai berdagang di Kongo, Sumatra, dan Malaya. Pada awal abad ke-20, penanaman karet dari Amazon di Asia Tenggara membuat para petani dan investor bersemangat. Hallet kemudian juga berinvestasi pada sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan karet. Hallet lalu tiba di Asia setelah dari Kongo Belgia, dan telah mendapat pengetahuan mengenai pohon kelapa sawit di Afrika, saat masyarakat Asia masih sangat tertarik untuk menanam karet. Hallet lalu memutuskan bahwa kelapa sawit cocok untuk ditanam di Asia. Tenaga kerja dan infrastruktur yang sudah ada juga dapat membantu proses distribusi hasil panen.[2] Ia kemudian mendirikan sebuah kebun di Aceh Timur, Sumatra pada tahun 1911, dan antara tahun 1909 hingga 1917, ia juga mengembangkan bisnisnya melalui kemitraan dengan dua orang petani asal Prancis, yakni Franck Posth dan Henri Fauconnier, untuk mengembangkan kebun di Kuala Selangor, Malaysia.[3][2] Perang kemudian menghambat perusahaan ini, dan pasca perang, Fauconnier menjadi yang paling terlibat dalam mengelola perusahaan ini. Pada tahun 1921, bankir asal Prancis, Rene de Rivaud, yang merupakan seorang investor di perusahaan ini, membentuk sebuah kemitraan dengan Group Hallet untuk mengakuisisi sejumlah kebun milik Bunge dan Griser asal Belgia. Investasi pada riset dan pengembangan, serta kerja sama dengan perusahaan lain seperti United Plantations asal Denmark, lalu menghasilkan perbaikan pada teknik pemilihan benih dan pasokan kebun.[2] Investasi dari Rivaud dan pengenalan metode pasokan baru, seperti pasokan curah ke Eropa melalui tangki penyimpanan, dan pembangunan infrastruktur pengapalan di Port Klang, juga membantu perusahaan ini berkembang pada dekade 1920-an dan awal dekade 1930-an.[3] Pada dekade 1920-an dan awal dekade 1930-an, perusahaan ini meluncurkan strategi ekspansi berupa pembersihan dan penanaman benih kelapa sawit dan karet di Asia Tenggara. Kebun kemudian didirikan di Labis, Johore, Pahang, dsb. Pada pertengahan dekade 1930-an, perusahaan ini telah mengoperasikan 16 kebun di Asia, tetapi kemudian direstrukturisasi menjadi hanya 9 kebun yang dikelola oleh 8 orang manajer.[3] Pada periode ini, perusahaan ini juga mengelola perusahaan yang sahamnya dipegang oleh Rivaud dan Hallet Group, seperti Compagnie du Combodge, Plantations des Terres Rouges, Compagnie du Selango, dan Groupe Hallet.[2] Pada tahun 1996, Bollore Group mengakuisisi saham perusahaan ini yang dipegang oleh keluarga Rivaud,[4] dan pada tahun 2004, perusahaan ini menjual kebunnya di Singapura dan Malaysia. Investasi di AfrikaSOCFIN dan anak usahanya beroperasi di 12 negara di Afrika dan mengelola konsesi tanah seluas sekitar 175.000 hektar.[5] Anak usaha di Afrika[6]
Bisnis di AsiaMelalui Socfinasia, Socfin memegang saham Socfindo, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit dan karet asal Indonesia.[8] Socfindo didirikan pada tahun 1930 dan telah direstrukturisasi beberapa kali. Pada tahun 1968, Socfindo menjadi sebuah joint venture antara Socfin dan pemerintah Indonesia. Di Kamboja, Socfin mengoperasikan kebun karet di Mondulkiri melalui dua perusahaan, yakni SOCFIN-KCD dan Covipharma.[9] Konsesi tanahnya di Bousra, Kamboja adalah sebuah kemitraan dengan Khaou Chuly Development.[10] IsuKonflik dengan masyarakat lokalDi sejumlah daerah di Afrika, kelapa sawit ditanam oleh petani berskala kecil, sehingga Socfinaf yang mengoperasikan kebun kelapa sawit berskala besar pun menimbulkan konflik dengan petani lokal. Sebagian konflik tersebut berkaitan dengan konsesi tanah dan pemindahan petani penyewa berskala kecil.[11] Di Kamerun, produksi minyak sawit didominasi oleh anak usaha Socfinaf, yakni Socapalm, yang memproduksi 70% dari total produksi Kamerun. Penggunaan agen keamanan oleh Socapalm pun menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal, karena para agen keamanan dituduh mencegah para petani lokal untuk mengakses kebunnya sendiri. Para agen keamanan beralasan bahwa para petani lokal tersebut mengganggu konsesi Socapalm.[11] Di Sierra Leone, perjanjian SOCFIN dengan pemerintah dan akuisisi tanah di Malen, Pujehun menimbulkan ketegangan di kalangan masyarakat, karena para petani merasa tidak terlalu mengerti mengenai perjanjian penyewaan antara kepala daerah, SOCFIN, dan pemerintah Sierra Leone.[12] Laporan pada tahun 2019 oleh LSM Bread for All asal Swiss menyimpulkan bahwa perusahaan perkebunan milik Socfin di Liberia telah melanggar adat dan dalam beberapa kasus, juga melanggar hak atas tanah dari masyarakat lokal saat melakukan pengembangan kebun.[13] Berdasarkan laporan tersebut, LSM Green Advocates lalu mengajukan keluhan kepada International Finance Corporation (IFC).[14] Sebagai respon, Socfin mengklaim bahwa tuduhan tersebut “berlebihan, jika memang benar-benar terjadi”.[15] Referensi
|